SYA’BAN BULAN INTROSPEKSI

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku, marilah kita senantiasa bersyukur ke hadirat Allah swt. yang telah melimpahkan karunia dan nikmat iman, Islam, dan kesehatan kepada kita. Banyak saudara-saudara kita yang pada saat ini sedang berbaring di rumah sakit, berjuang karena ingin sembuh dan ingin menambah amalan mereka yang baik-baik. Shalawat dan salam kita haturkan kepada Nabi Agung Muhammad saw, nabi akhir zaman dan teladan kita dalam mengisi dan membangun jati diri kita sebagai hamba Allah yang beriman dan beragama.
Marilah kita berikhtiar untuk senantiasa terus menerus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT sebagai bekal paling berharga pada kehidupan di masa depan. Karena iman menurut Abu al-Hasan al-Asya’ari dapat bertambah dan berkurang seiring dengan amal shalih kita sehari-hari. Karena itu, kita musti berusaha keras untuk beramal shalih.
       Saudaraku, QS. asy-Syura, 42:19-20 dikutip dalam Kitab Durrah al-Nashihin yang membahas tentang Fadlilah Bulan Sya’ban (hal.207-208).
اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ وَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ.  مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ.
Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia”
memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat”.
       Para Ulama memahami kata “لطيف بعباد”dengan “يرحم التائبين والمستغفرين” artinya “memberi rahmat kepada orang-orang yang bertaubat dan memohon ampunan”. Rasulullah saw bersabda :
ما من صوت أحب الى الله تعالى من صوت عبد مذنب تاب الى الله تعالى فيـقول : لبيك يا عبدى سل ما تري
“Aku penuhi permohonanmu wahai hamba-Ku ajukanlah permohonanmu apa yang kamu kehendaki”.
       Saudaraku, sebagai manusia biasa, dalam perjalanan hidup kita, nyaris tiada hari atau bahkan saat yang kita lalui tanpa melakukan kesalahan, menambah dosa, dosa kecil hingga yang besar, mulai dari dosa hati, dosa sikap, dan dosa ucapan serta perbuatan. Karena salah satu tabiat manusia, adalah selalu berbuat kekeliruan dan kesalahan. Dalam kaitan inilah, Rasulullah saw menyatakan : ”Setiap anak keturunan Adam adalah sering berbuat keliru dan salah, dan sebaik-baik orang yang keliru/salah adalah yang mau memperbaiki diri” (كل بني ادم خطاؤون وخير الخطائين التوابون). Penegasan Rasulullah saw tersebut, tentu tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai legitimasi kita dalam berbuat kekeliruan dan kesalahan.
       Allah SWT memberikan kesitimewaan kepada manusia dengan akal dan hatinya. Dengan akal kita bisa berpikir dan menimbang sesuatu perbuatan itu benar-salah, baik-buruk, bermanfaat ataukah menimbulkan madharat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Ini karena keimanan dan amal shalih adalah dua hal yang merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan. Jika Abu al-Hasan al-Asy’ary perintis tradisi pemikiran Sunny menyatakan bahwa ”al-Iman yazidu wa yanqushu” artinya ”iman itu bertambah dan berkurang”, adalah karena iman itu bertambah manakala amal shalih mengalami peningkatan. Sebaliknya, iman akan berkurang dan melemah, manakala amal shalihnya berkurang. Ketika seseorang amal shalihnya bertambah, maka inilah yang dalam bahasa sehari-hari dinamakan dengan prestasi. Seseorang yang ingin berprestasi, tentu dia selalu berusaha mendayagunakan akal dan hatinya, untuk melakukan yang terbaik untuk dirinya dan bagi orang lain. Di sinilah terletak peluang terjadinya kekeliruan dan kesalahan sebagai konsekuensi atau risiko sebuah perbuatan itu dilakukan.
Karena itulah, Allah memberikan ruang dan kesempatan untuk memperbaiki keslalahan. Dalam tataran kekeliruan dan kesalahan yang bersifat horizontal dengan sesama manusia, media untuk memutihkannya adalah dengan permintaan dan pemberian maaf kepada sesama. Dalam konteks inilah, indikator penting ketaqwaan seseorang adalah manakala dia dengan senang hati meminta dan memberi maaf kepada orang lain atas kemungkinan kekeliruan dan kesalahan yang dilakukannya.
       Sementara dalam tataran kekeliruan atau kesalahan yang bersifat vertikal, sebagai hubungan antara hamba dengan Khaliq (Pencipta)-Nya, maka ruang dan waktu untuk memutihkannya, adalah dengan beristighfar memohon ampunan dan bertaubat atas semua dosa dan kesalahan dengan taubatan nashuhah. Rasulullah saw sendiri meskipun boleh dikatakan sebagai manusia suci (ma’shum), beliau selalu memohon ampunan dan bertaubat yang setiap malam menghabiskan sepertiga malam untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
       Dalam diri manusia, sebenarnya telah dibekali instrumen kontrol yang secara mekanistik dapat bekerja tanpa perintah. Inilah yang oleh Rasulullah saw diingatkan, bahwa dalam diri kita ada segumpal darah, yang apabila ini baik, maka yang lain akan baik, dan apabila segumpal darah ini kerjanya tidak baik, maka yang lain akan tidak baik juga. Inilah yang dinamakan qalbu (hati). Qalbu secara harfiah artinya berubah. Disebut qalbu karena sifatnya yang selalu berubah-ubah. Ketika hati sedang gelap disebut dengan qalbu dhulmani, yang penampilannya akan membawa kegelapan dirinya dan menimpa orang lain, seperti: dengki, hasud, sombong, takabur, pamer atau riya, dan lain-lain. Manakala hati itu terang, disebut dengan qalbu nurani, yang menerangi dirinya sendiri dan menjadi suluh terang bagi orang lain, seperti: sikap ramah, berkata baik dan indah, dan suka menolong orang lain. Dalam kenyataannya, godaan duniawi dan dorongan nafsu, menjadikan hati yang terang itu terkalahkan dengan kegelapan yang menimpanya.
Instrumen penting untuk mengasah hati dan pikiran manusia, adalah oleh-oleh Rasulullah saw dalam peristiwa isra’ dan mi’raj di bulan Rajab yang baru beberapa hari lalu kita lewati, yakni mendirikan shalat lima waktu secara khusyu’ dan istiqamah.
      Allah SWT menyediakan ruang waktu dalam bulan Sya’ban ini sebagai bulan untuk memutihkan yang hitam, menerangkan yang gelap, dan membersihkan yang kotor. Sya’ban artinya bercabang-cabang, dan oleh karena itu, kita dianjurkan untuk membersihkan diri dengan bertaubat kepada-Nya.
Suatu saat Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat :
أتدرون لم سمى شعبان ؟ قالوا الله ورسوله أعلم قال لأنه يتشعب فيه خير كثير (روضة العلماء)
“Apakah kalian  tahu mengapa disebut dengan “sya’ban” ? Mereka menjawab : “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. “Karena di dalam bulan tersebut, kebaikan yang banyak itu bercabang-cabang” (Raudhah al-Ulama’).
       Allah Swt Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya yang mau dengan sadar berusaha memperbaiki dirinya. Dalam satu riwayat Rasulullah saw menyatakan :
يؤتى بعبد يوم القيامة وتعرض سيئاته فيقول الله تعالى أما استحييت منى اذ عصيتني ؟ فيرفع العبد صوته ببكاء شديد فيقول الله : احفظ صوتك حتى لا يسمع محمد صلى الله عليه وسلم ولا يعرف أنى سترتها فى الدنيا وأنا أغفرها اليوم فيبكى أشد منه من فرحه فيسمع محمد صلى اله عليه وسلم فيقول الله تعالى : وهبته لك ولا تحزن يا حبيبي (زهرة الرياض)
Artinya : “Pada hari kiamat seorang hamba dihadapkan dan ditunjukkan kejelekan-kejelekannya, maka Allah berfirman : “Apakah kamu malu kepadaku karena kamu maksiyat kepadaku ?” Maka hamba itu meninggikan suaranya karena menangis yang sungguh-sungguh. Maka Allah berfirman : “Jagalah suaramu sehingga Muhammad saw tidak mendengar dan tidak mengetahui bahwa aku telah menutupi kejelekan kamu di dunia dan Aku akan mengampuninya pada hari ini”, maka si hamba tersebut menangis sekuat-kuatnya karena saking bahagianya, diampuni oleh Allah.
Maka setelah Nabi Muhammad saw. mendengar, beliau berkata : “Wahai Tuhanku, Engkaulah Dzat yang paling Penyayang dari yang penyayang, limpahkanlah ampunan itu kepadaku, maka Allah berfirman : “Aku akan limpahkan itu kepadamu dan jangan bersedih wahai kekasih-Ku” (Zuhrah al-Riyadh).
       Saudaraku, dalam bulan Sya’ban, banyak kemurahan dan kemudahan diberikan Allah kepada kita. Karena itu marilah kesempatan ini kita gunakan untuk mempersiapkan diri sebagai bagian usaha dalam memasuki bulan Ramadhan dengan penuh kekhusyu’an dan kepasrahan diri kepada Allah swt. Rasulullah saw sendiri senantiasa puasa satu bulan penuh, dan bersabda : “Allah meningkatkan amalan hamba-hamba-Nya dalam bulan ini”. Karena itu, para Ulama dan masyarakat menyambut dan mengisi bulan Sya’ban ini dengan serangkaian ibadah. Sebagaimana riwayat Imam Muslim, “Rasulullah saw bersabda : “Datang kepadaku malaikat Jibril pada malam nishfu Sya’ban, dan berkata : “Wahai Muhammad, malam ini dibuka pintu-pintu langit dan pintu-pintu rahmat maka berdirilah dan shalatlah kamu, angkat kepalamu dan tengadahkan kedua tanganmu ke langit ! Aku berkata : “Wahai Jibril, apa artinya malam ini ? Jibril berkata : “Pada malam ini dibuka tiga ratus pintu rahmat, Allah mengampuni semua orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun kecuali orang yang menyihir, dukun, pecandu, peminum khamar, atau mengulangi zina, memakan riba, menyakiti kedua orang tua, menghasut orang lain, dan memutus tali silaturrahim. Mereka itu tidak diampuni oleh Allah sehingga mereka bertaubat dan meninggalkannya”. Maka Nabi saw keluar, shalat dan menangis dalam sujud beliau, seraya berdo’a : “Ya Allah sesungguhnya kami memohon perlindungan kepada-Mu dari siksa dan kemarahan-Mu, kami tidak mampu menghitung keni’matan-Mu sebagaimana kami memuji kepada-Mu, maka hanya bagi-Mu lah segala puji sehingga Engkau meridhainya” (Zubdah al-Wa’idhin).
       Mengakhiri renungan ini, marilah kita cermati Firman Allah SWT :
من كان يريد حرث الأخرة نزد له فى حرثه ومن كان يريد حرث الدنيا نؤته منها وما له فى الأخرة من نصيب   الشورى (42) 19-20
Artinya : “Barangsiapa menghendaki keberhasilan kehidupan akhirat, maka Kami (Allah) akan menambah keberhasilannya, dan barangsiapa menghendaki keberhasilan kehidupan dunia, Kami akan memberinya, dan dia tidak mendapatkan bagian pada kehidupan akhirat” (QS. Al-Syura: 19-20).
       Semoga dalam bulan Sya’ban ini, kita semua dikarunia kekuatan dan kesabaran untuk dapat meningkatkan keimanan, mengamalkan perbuatan yang baik dan meninggalkan segala bentuk kemaksiyatan kepada-Nya. Amin. Allah a’lam bi al-shawab.
Ngaliyan, Semarang, 11/5/2017.

BERILMU DAN TAHU DIRI

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku yang dirahmati Allah, mari kita syukuri anugrah dan nikmat Allah yang tak terhingga, karena hanya karena kebesaran dan masih sayang-Nya, kita dalam keadaan sehat afiat dan dapat memulai aktifitas kita. Jangan lupa kita niatkan untuk ibadah, karena dari niat itulah, pekerjaan kita menjadi bermakna dan bermanfaat bagi orang lain. Shalawat dan salam mari kita senandungkan untuk Baginda Rasulullah saw, keluarga, dan para sahabat. Semoga hati kita menjadi bersih, semua urusan dimudahkan oleh Allah, dan syafaat beliau kelak akan memayungi kita di akhirat.
       Kata ulama, manusia ini dalam soal mengenali dirinya sendiri, ada empat katagori:
رجل يدري ويدري انه يدري ورجل يدري ولا يدري انه يدري ورجل لا يدري ويدري انه لا يدري ورجل لا يدري ولا يدري انه لا يدري
“Seseorang yang tahu dan tahu bahwa dirinya tahu, seseorang yang tahu tetapi tidak mengetahui bahwa dirinya tahu, seseorang yang tidak tahu dan mengetahui bahwa dirinya tidak tahu, dan seseorag yang tidak tahu, dan tidak mengetahui, bahwa dirinya tidak tahu”.
       Dari katagori tersebut, yang pertama, secara lahiriyah adalah katagori yang terbaik, yakni seseorang yang tahu dan mengetahui bahwa diirnya tahu. Biasanya orang yang katagori ini, dia akan bersikap rendah hati (tawadlu’), laksana padi yang kian berisi kian merunduk. Karena orang yang tawadlu’, dia memahami bahwa ilmu yang dikaruniakan Allah kepadanya, sungguhlah tidak seberapa. Ibarat air yang membasahi jari yang kita celupkan ke samudra. Dan orang yang demikian inilah, kiranya yang dijanjikan oleh Allah dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.  المجادلة ١١
Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadjlah:11).
       Orang-orang tua kita membuat peribahasa, “tong kosong berbunyi nyaring” artinya “orang yang ilmunya sedikit, biasanya ngomongnya banyak dan apa yang diomongkan juga tidak banyak arti dan manfaatnya”.
Orang yang berilmu, diharapkan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik, agar memberi manfaat kepada banyak orang. Dalam konteks inilah, Rasulullah saw mengingatkan:
بلغوا عني ولو اية
“Sampaikankah olehmu (kepada orang lain) meskipun hanya satu ayat”.
Sudah barang tentu orang yang berilmu, dia diharapkan mengamalkannya terlebih dahulu, baru menyampaikannya kepada orang lain. Karena ilmu yang tidak diamalkan asalah laksana pohon yang tidak berbuah, atau laksana lebah tak bermadu. Ia bisa membahayakan, ketika tidak memberi manfaat kepada orang lain.
       Saudataku, jika Anda belum bisa menjadi orang yang tahu dan mengetahui bahwa Anda tahu, maka berusahalah menjadi orang yang tidak tahu tetapi mengetahui bahwa Anda tidak tahu. Dan karena itu, Anda membuka diri untuk belajar dan mencari tahu. Hindarilah sifat dan sikap menjadi orang yang tahu, tetapi tidak mengetahui bahwa Anda orang yang tahu. Demikian juga, hindari jauh-jauh menjadi orang yang tidak tahu, dan tidak mengetahui bahwa Anda orang yang tidak tahu. Ini tingkatan orang yang paling menyedihkan, karena orang semacam ini bisa disebut dengan jahil murakkab, dan menutup diri untuk belajar dna belajar. Padahal belajar itu, diperintahkan sejak dari buaian hingga di liang lahat.
      Saudaraku, mari kita berusaha sebisa mungkin bahwa ilmu yang kita dapat dari Allah, seberapapun yang kita dapat, dapat bermanfaat bagi orang lain. Karena ini akan menjadi tabungan atau investasi kita ketika kita sudah berada di alam penantian (alam barzakh). Karena ilmu yang bermanfaat bagi orang lain  ketika ilmu yang kita sampaikan itu diamalkan oleh orang lain, maka kita akan mendapatkan pahala dari amalan yang dikerjakan, tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya itu. SubhanaLlah.
       Saudaraku, orang yang berilmu rawan terjebak untuk menjadi sombong dan angkuh. Karena itu, pelajaran ilmu padi, yang kian berisi kian merunduk, dapat kita hayati secara seksama dan diamalkan, agar selain kita harus berusaha untuk belajar terus menerus, juga makin bertambah ilmu makin tawadlu’ atau rendah hati. Apalagi jika kita kemudian tidak bisa mengamalkannya, bisa-bisa dimasukkan pada kelompok orang yang berdosa karena ilmu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. Al-Shaff:2-3).
      Saudaraku, semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang senantiasa semangat untuk terus menuntut ilmu, berusaha mengamalkannya dengan sebaik-baiknya. Kita tularkan kepada orang lain sebisa mungkin, meskipun hanya satu ayat, karena akan menjadi investasi di alam barzakh dan di akhirat nanti. Dan yang lebih penting lagi adalah, kita makin rendah hati dan tawadlu’ karena dengan kerendahharian itulah, tanpa harus mengaku sebagai orang yang tawadlu’. Ketawadlu’an atau kerendahhatian adalah sikap dan ekspresi serta prilaku, bukan hanya kata-kata dan dikatakan saja.
Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Susur Sungai Kahayan Palangkaraya, 5/5/2017.

FORDIPAS DAN KOMITMEN KEBANGSAAN

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku yang dirahmati Allah, mari kita syukuri anugrah Allah Swt, hari ini kita sehat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita tanpa ada halangan. Itu semua semata karena pertolongan-Nya. Jangan lupa kita niatkan untuk beribadah karena misi hidup kita diciptakan oleh Allah di dunia ini hanyalah untuk mengabdi kepada-Nya. Semoga kesyukuran kita Allah makin sayang pada kita dan menambah kenikmatan-Nya pada kita. Shalawat dan salam mari kita senandungkan untuk Baginda Rasulullah saw, keluarga, dan para sahabat. Dengan shalawat dan salam, semua kesulitan akan diberi jalan keluarnya dengan kemudahan oleh Allah Swt.
       Saudaraku, fordipas adalah singkatan dari Forum Direktur Pascasarjana Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Insyaa Allah hari ini 3-5/5/2017 menggelar acara rapat kerja bersama di IAIN Palangkaraya Kalimantan Tengah. Insya Allah akan hadir Direktur PTKI Prof. Dr. nizar, MA, Direktur Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Kemristek dikti RI, Prof. Dr. Aris Djunaidi, MA, dan Kabiro Keuangan Kementerian Agama RI.
       Agenda yang dibahas adalah membahas tentang pertama, soal pola rekruitmen beasiswa 5.000 doktor yang difasilitasi oleh Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Selama ini rekruitmen dilakukan secara terbuka dan online dengan berbagai distingsi pasa masing-masing pascasarjana PYKIN. UIN Walisongo Semarang misalnya dipercaya menjadi distingsi mengelola program doktor (S3) Ilmu Falak, UIN Yogya tentang Kajian Islam Interdisipliner, UIN Sumatra Utara tentang Ekonomi Islam, UIN Malang tentang Bahasa Arab, dlsb.
       Gagasan yang pernah saya sampaikan kepada Dirjen Pendidikan Islam cq Direktur PTKI, agar mendapatkan raw input dan lulusan yang berkualitas, adalah dengan membuat skema baru, yaitu merekruit calon mahasiswa Pascasarjana dengan mengambil lulusan freshgraduate yang ber-IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) 3,5 ke atas, dengan skema kontrak selesai program S2 langsung S3. Alasannya, selama tiga tahun program 5.000 doktor ini, setelah dievaluasi, ternyata belum sesuai dengan yang diharapkan. Baik kualitas raw input, proses, maupun hasilnya, terutama dari target waktu penyelesaian, dirasakan kurang maksimal. Diharapkan dengan skema baru tersebut, kualitas calon secara kasat mata, dapat dihitung dan dikalkulasi secara lebih cepat dengan hasil yang maksimal.  Sebagai direktur pascasarjana UIN Walisongo, sudah tiga kali wisuda melakukan special treatment dengan mengirimi ucapan selamat by name by IPK kepada wisudawan yang ber-IPK 3,5 ke atas, agar mereka tertarik langsung meneruskan program S2. Ternyata hasilnya, mereka yang langsung meneruskan hanya wisudawan terbaik yang memang sudah menjadi tradisi sebagai penghargaan dan apresiasi UIN Walisongo kepada mereka, mereka diberi beasiswa sampai selesai S2.
       Ketika mereka ditanya, jawaban mereka rata-rata ingin mencari pekerjaan terlebih dahulu. Akan tetapi jika ada fasilitas beasiswa S2 pasti mereka akan langsung melanjutkan. Apalagi jika ada beasiswa lanjut ke S3 mereka akan semangat untuk melanjutkan ke jenjang doktor, yang menjadi impian banyak orang. Ini persis seperti zaman saya mendapat fasilitas beasiswa S2 langsung S3 jika rata-rata nilai A. Alhamdulillah proses penyelesaiannya pun bisa lebjh cepat. Yang masih menjadi persoalan adalah bagaimana Kementerian Agama dapat “mengikat” lulusan doktor ini supaya juga dapat mengabdikan ilmunya di Kampus PTKIN atau PTKI lainnya. Saya berharap pihak Ditjen Pendidikan Islam dapat menindaklanjuti usulan fordipas yang hemat saya cukup strategis dalam menyiapkan Doktor yang berkualitas tersebut.
       Kedua, soal Struktur Organisasi dan Tata Kelola (SOTK) Pascasarjana masing-masing PTKIN yang belum sama. Ada pascasarjana yang masih hanya memiliki “dirjen” atau “direktur ijen” karena tidak ada wakil direktur dan tidak ada kasubag tata usaha. Demikian juga nomenklatur masing-masing UIN atau IAIN/STAIN masih berbeda-beda, ada Program Pascasarjana (PPs), ada Sekolah Pascasarjana (SPs), dan Fakultas Pascasarjana ( FPs). Saya pernah mengusulkan langsung ke Prof Dr Phil Kamarudin Amin, MA, kalau bisa SOTK dibuat standar UIN dan IAIN, dan STAIN ditarget segera bertransformasi ke IAIN semua. Tentu SOTK Pascasarjana setidaknya ada Direktur, Wakil Direktur, dan Kasubag TU. Antara beban kerja dan SDM-nya berimbang, agar kualitas layanan dan penyelenggaraan pascasarjana bisa berjalan lebih baik lagi.
       Ketiga, komitmen kebangsaan. PTKIN dan PTKI sebagai wadah pengejawantahan dan candradimuka penyiapan SDM yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlakul karimah dan berkualitas, berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan kompetitif, diarahkan agar menjadi lulusan yang memiliki faham keagamaan Islam yang moderat, komitmen nasionalisme atau kebangsaan yang tinggi secara inklusif. Di tengah maraknya gagasan yang mencoba dan berusaha mengganti NKRI dan Pancasila, kiranya Fordipas perlu melakukan deklarasi komitmen tentang Islam moderat dan kebangsaan dalam upaya mempertahankan NKRI. Pengalaman kesejarahan Indonesia kiranya menjadi pembelajaran yang sangat penting, agar bangsa ini tidak terjebak dalam kubangan sejarah hitam masa lalu, dan jangan sampai terpecah belah, hanya oleh karena keinginan beberapa kelompok yang bermimpi dan berspekulasi ingin membelokkan NKRI. Selagi dengan NKRI kita bisa mengamalkan syariah Islam dengan nyaman dan tenteram, kitanya NKRI perlu dirawat, dijaga, dan dipertahankan dengan segala potensi dan kemampuan kita.
       Selamat bermusyawarah para direktur pascasarjana PTKIN, selamat kepada Pascasarjana IAIN Palangkaraya, yang menjadi tuan rumah. Semoga Fordipas 2017 ini akan menghasilman rumusan strategis bagi peningkatan mutu Pascasarjana PTKIN di Indonesia ini.
Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.

AMMAN MESSAGE DAN ISLAMOPHOBIA

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku, mari kita syukuri anugrah dan nikmat Allah yang kita terima. Sesuai dengan usaha keras kita, seberapapun rizqi dan kenikmatan yang kita bisa rasakan, hanya akan mendatangkan kebahagiaan, jika kota pandai bersyukur. Shalawat dan salam kita selalu senandungkan untuk Rasulullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya, semoga hati kita makin lembut, ceria, dan selalu berhusnudhan tanpa mengurangi kewaspadaan kita. Insyaa Allah syafaat beliau akan memayungi kita di akhirat kelak.
       Saudaraku yang disayangi Allah. Kehendak Allah dan tugas dari Rektor UIN Walisongo, saya berkesempatan diamanati menjadi salah satu pembicara dan peserta pada acara Muktamar Internasional tentang Islam dan Tantangan Kontemporer 27-29/4/2017 di kota Amman, ibukota Yordania. Negara kerajaan Hasyimiyah yang dipimpin oleh Raja Abdullah II. Muktamar ini diikuti 400 peserta dari 15 Negara, Timur Tengah, Afrika, dan Asia yang diwakili oleh 12 Pimpinan dan utusan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Dari Indonesia hadir juga oleh Dubes RI untuk Yordania dan Palestina Andy Rachmianto. Muktamar dibuka oleh Menteri Wakaf Yordania dan Dirjen Pendidikan Islam Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA. mewakili Menteri Agama.
       Muktamar internasional ini sebagai tindak lanjut Amman Message yang dirumuskan pada tanggal 26 Ramadhan 1425 H/09 November 2004 M di Amman, merupakan yang kedua, setelah Konferensi Internasional yang pertama digelar di Jakarta 23-24/4/2013 tentang Islam, Peradaban, dan Perdamaian yang melahirkan 9 poin Jakarta Message atau Risalah Jakarta.
      Isu sentral Muktamar ini adalah untuk memformulasikan solusi dan tindakan masing-masing negara adalah mempromosikan pesan suci Islam yang rahmatan lil ‘alamin (QS. Al-Anbiya’:107) yang meniscayakan keberagamaan secara moderat, toleran, perdamaian, dalam membangun peradaban dan kemanusiaan. Islam yang ramah, tidak mengedepankan kekerasan, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Munculnya Islamic State for Irak and Syria (ISIS) yang menggunakan idiom Islam – yang menurut beberapa informasi adalah buatan Amerika dan Israel – adalah fakta politik untuk merusak citra Islam dari dalam, yang ini sangat-sangat mengerikan dan memprihatinkan. Karena dari citra dan tampilan ISIS yang sempat diikuti juga oleh beberapa gelintir orang dari Indonesia ini, tampaknya berhasil membangun ketakutan sebagian orang terhadap Islam (Islamophobia). Kita yang mengaku Muslim dan pasti siapapun melihat cara-cara ISIS melakukan perjuangan yang katanya untuk mendirikan negara Islam (daulah Islamiyah) dengan kekerasan, pembunuhan, dan peperangan, sesungguhnya sangat jauh dari nilai, spirit, dan tatanan Islam yang damai, toleran, penuh persaudaraan, dan prikemanusiaan.
      Seluruh negara aislam atau muslim sepakat merefer pada QS. Al-Hujurat 13, bahwa Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dijadikan-Nya hidup berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, adalah untuk saling mengenal (تعارف), saling menghormati (تراحم), dan saling tolong menolong (تعاون). Hidup bersama berdampingan dan bersaing secara terbuka dan jujur, menjadi hamba-hamba Allah yang bertaqwa, menyayangi sesama, membangun keshalihan pribadi dan keshalihan sosial bersama. Meskipun harus diakui bersama, bahwa “perumpamaan orang-orang yang beriman dalam kasih sayang dan saling menghirmati, laksana jasad yang satu, jika anggota tubuh yang satu sakit, maka anggota tubuh yang lainnya juga ikut merasakannya” ternyata tidak mudah dilakukan.
       Islam sebagai  jalan hidup lurus, moderat, tidak ekstrem kanan atau kiri, penuh kedamaian, persaudaraan, tolong menolong, dan saling menghormati, ternyata tidak mudah direalisaikan. Tentu tidak hanya dimaksudkan untuk mengatur dan memandu urusan personal saja, akan tetapi ketika Islam ditampilkan dalam kontek  kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, juga musti bisa menjadi teladan bagi siapa saja. Hanya karena perbedaan madzhab, atau kepentingan politik tertentu, bisa terjadi saling memusuhi dan saling merusak, demi egoisme atau ananiyah yang mendominasi diri mereka. Bahkan yang lebih mengerikan lagi adalah, jika kemudian negara Islam tertentu bersekutu atau berkoalisi dengan negara yang sesungguhnya mengidap penyakit Islamophobia akut, kemudian menghancurkan sesama negara Islam/Muslim lainnya.
       Karena itu, melalui utusan masing-masing negara yang rata-rata pasa level menteri atau pejabat setingkat dengan itu, bisa mengampanyekan hasil muktamar internasional ini secara jujur dan bertanggung jawab dalam membangun kemanusiaan, peradaban, dan perdamaian di dunia ini. Masih banyak saudara-saudara Muslim kita seperti di Palestina, terus menerus dijajah oleh Israel, bahkan Masjidil Aqsha di Palestina yang menjadi kiblat pertama umat Islam, dan menjadi transit perjalanan Isra’ dan Mi’raj Rasulullah saw, berusaha dikuasai, karena diklaim menjadi kota suci mereka. Saudara kita Muslim di Rohingnya Miyanmar yang menjadi korban genocida oleh para tokoh agama Budha, juga tidak atau belum mendapatkan solusi yang baik.
      Saudaraku, kata kuncinya adalah pertama, Islam moderat, sebagaimana digariskan dan dituntun melalui teladan Rasulullah saw. Beliau menganjurkan umat beliau beragamalah secara moderat, jangan terjebak pada ekstremisme, baik kanan atau kiri, karena itu bertentangan dengan semangat dan nilai substansi ajaran Islam itu sendiri. Islam yang ditampilkan dengan kasar dan kekerasan, akan menjauhkan orang lain pada agama Islam itu sendiri. Boleh jadi, nilai dan substansi ini yang kemudianjustru dimanfaatkan oleh pihak lain, merusak dari dalam, dengan menciptakan kelompok-kelompok Islam yang radikal, ekstrem, dan intoleran untuk memusuhi dan memerangi saudaranya sendiri, seperti prilaku ISIS yang sama-sama kita saksikan. Bagi orang awam, yang tidak memahami bahwa ISIS atau aliran radikal lainnya, itu adalah misi intelegen untuk menghancurkan Islam, akan melahirkan sindrom akut Islamophobia itu makin menjadi-jadi.
       Karena itu, mari kita terus perjuangkan dan kampanyekan  Islam yang moderat, Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw melalui Piagam atau Mitsaq Madinah, yang lebih mengedepankan nilai, prinsip, dan tatanan universal, seperti persamaan di depan hukum, persaudaraan dalam keragaman, toleran, memiliki rasa kebangsaan atau nasionalisme yang inklusif, saling menghormati dan tolong menolong. Inilah pesan penting Firman Allah :
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللهِ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ.  ال عمران ٦٤.
“Katakanlah : “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS. Ali ‘Imran:64).
       Saudaraku, mengakhiri tulisan ini, semua kaum Muslim di dunia ini, dan kita yang di Indonesia, berkewajiban untuk menjalankan keberagamaan kita secara moderat, memiliki komitmen kebangsaan atau nasionalisme yang inklusif, hidup bertetangga dengan penuh persaudaraan, menjadi pemaaf dan bahkan memohonkan ampunan kepada saudara kita, agar secara perlahan namun pasti Islam yang rahmatan lil alamin dan Islam yang mampu berdialog dengan tuntutan ruang dan waktu, akan mampu mengikis dan menghapus Islamophobia yang boleh jadi sengaja dipelihara oleh negara atau siapapun yang tidak suka jika Islam akan menjadi agama yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban dan mampu menjadi agama terdepan di dunia ini.
Firman Allah berikut penting untuk kita renungkan dan hayati bersama:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarhlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian alabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imran:159).
       Semoga kita dan kaum Muslimin di dunia ini, khususnya kita di Indonesia, mampu dan memiliki kesadaran untuk menjalankan Islam dan keberagamaan kita secara moderat, memiliki rasa kebangsaan yang inklusif, mengedepankan toleransi dan persaudaraan sejati, karena kita sadar, bahwa bentuk negara dan negara itu sendiri hanyalah instrumen untuk hidup bersama dengan damai, dapat menjalankan syariat agama kota dengan tenteram dan nyaman. Memang ini membutuhkan pemimpin yang adil dan keteladanan nyata, agar kita tidak berlebihan berharap terujudnya baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Waffaqana Allah wa iyyakum ila sabil al-haqq wa shirat al-mustaqim.
      Wa Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Regency Hotel, Amman Yordania, 30/4/2017.

PEMIMPIN YANG MEMBAHAGIAKAN RAKYAT

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku yang disayangi Allah. Mari kita syukuri karunia dan nikmat-Nya yang tak berbatas, tanpa biaya kita bernafas,  tanpa bayar kita hirup udara segar. Semoga Allah menjaga, meringankan, dan memudahkan segala urusan kita. Tidak rekadaya dan kekuatan kecuali hanya milik Allah.
Shalawat dan salam mari terus kita senandungkan pada Rasulullah saw, keluarga, sahabat,  dan para pengikutnya. Semoga hati kita bertambah bersih, dan cinta kita kepada beliau makin membuncah, insyaa Allah syafaat beliau akan menyapa kita di akhirat nanti.
       Ada teman saya, saudara Nuryadi menulis, “ketika harga beras melambung engkau bilang, beras bukan satu-satunya makanan pokok……Ketika harga daging melambung engkau bilang berlebaran idul fitri tidak harus makan daging….Ketika harga cabai tak terjangkau ibu-ibu engkau bilang cabe bukan makanan pokok….. Kini giliran ketika harga harga bawang melambung engkau bilang bawang bisa diganti penyedap rasa lainnya……. inilah jawabanmu ketika engkau tidak mampu menghadirkan  bahan kebutuhan masyarakat….. dan anak kecilpun bisa menjawab seperti itu tanpa solusi apapun.  Aku ingat betul ketika engkau bertahta kami berharap engkau adalah harapan,  karena janji-janji manismu”.
       Minta ijin Saudaraku Nuryadi, karena sudah di FB, tulisannya itu menginspirasi saya untuk menulis sedikit lebih panjang. Memang tidak lugas menyebut kepada siapa tulisan tersebut disampaikan. Tetapi itulah pendekatan Jawa, “ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake” yang digunakan, meskipun orang yang “cerdas” tentu mengetahui yang dimaksud kepada siapa tulisan tersebut ditujukan.
       Pemimpin secara umum dalam bahasa arab disebut راع  yang lebih tepat artinya “penggembala” atau “pemiara”, yang secara sederhana digambarkan sebagai orang yang menggembala. Seorang penggembala tentu ingin gembalaannya bisa makan kenyang, hidup nyaman, bekerja dengan tenang, penghasilannya lumayan, bisa menabung untuk masa depan, kebutuhannya berkecukupan, hidup damai tanpa ada permusuhan, masing-masing mendapatkan hak-haknya secara berkeadilan. Seorang penggembala, juga tidak bisa menghindar dari tanggung jawab, karena penggembala bukan pecundang. Penggembala adalah yang bertanggung jawab atas hidup dan matinya yang digembalakan. Penggembala yang menjamin keamanan dan kebahagiaan serta kemakmuran gembalaannya.
       Saudaraku, pemimpin agama atau politik disebut imam, amir, atau khalifah pada masa khulafa’ ar-rasyidun. Imam adalah jabatan untuk diikuti dan diteladani. Karena itu, akan menjadi bahan candaan dan ketawaan rakyatnya, apabila sampai terjadi ada pemimpin yang memilih kalimat dalam membuat pernyataan saja, justru menyakitkan rakyatnya. Apabila kata amir yang digunakan, artinya orang yang diserahi tugas untuk menyelesaikan semua urusan rakyat. Bukan orang yang memposisikan dirinya sebagai penguasa. Dalam ungkapan bijak berbahasa Arab disebutkan, امير القوم هو خادمهم واخرهم شربا. Artinya “pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka dan giliran paling akhir minumnya”. Itu nasihat bijak yang sangat dalam maknanya. Sungguh indah dan hebatnya, jika ada pemimpin di negeri ini bisa belajar dan mempraktikkannya dalam melayani dan membahagiakan rakyatnya. Segala kebutuhan sandang, pangan, dan papannya terpenuhi, dan suasananya aman, nyaman, dan menyenangkan. Tentu karena tersedia lapangan pekerjaan, iklim kerja kondusif, dan penghasilannya mencukupi. Kalau perlu melakukan monitoring untuk memantau jangan sampai ada warga dan rakyatnya yang tidak bisa makan dan minum, seperti yang dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab.
       Dalam terminologi khalifah, artinya adalah pengganti. Istilah ini muncul ketika sepeninggal wafat Rasulullah saw. Para sahabat terlibat pembahasan yang cukup alot dan seru untuk memilih pengganti (khalifah) beliau. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq terpilih, maka disebut sebagai khalifatu Rasulillah. Ketika Umar bin al-Khaththab dipilih oleh Abu Bakar menjadi khalifah, disebut dengan khalifatu-khalifati Rasulillah saw.
       Makna dan pesan pentingnya adalah, bahwa khalifah itu sebagai pengganti Rasulullah saw, yang memiliki kewajiban, tugas, dan tanggung jawab menjaga urusan agama dan mengatur urusan dunia, agar warganya mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Meminjam bahasa Abu al-Hasan al-Mawardy dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, “pemimpin itu diletakkan sebagai pengganti tugas kenabian (profetik) dalam menjaga agama (حراسة الدين) dan mengatur urusan dunia (سياسة الدنيا).
       Umar bin Abdul Aziz yang juga cucu Umar bin al-Khaththab ra., dicatat sejarah sebagai khalifah yang bersih, bahkan layak diteladani. Umar bin Abdul-Aziz (bahasa Arab: عمر بن عبد العزيز, diberi gelar Umar II, (682 – 720 M) khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717-720 M. selama 2–3 tahun (wikipedia.org).
       Jabatan khalifah, dirasakan oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai beban yang luar biasa berat. Suatu saat Umar sedang di rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis?” Ia mejawab : “Wahai isteriku, aku diuji oleh Allah dengan jabatan ini dan aku dibayangi orang-orang miskin, ibu-ibu janda yang anaknya banyak, rezekinya sedikit, orang-orang dalam tawanan, dan para fuqara’ kaum muslimin. Aku sadar mereka akan menuntutku di akhirat kelak. Aku bimbang dan tidak dapat menjawab tuntutan mereka. Aku sadar, yang menjadi pembela mereka adalah Rasulullah saw. Isterinya pun akhirnya turut meneteskan air mata (ibid.).
      Saudaraku, suatu saat Umar bin Abdul-Aziz mengumpulkan semua anaknya. Kepada mereka Umar menyampaikan: “Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk surga (karena tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga”. Satu sumber menyebutkan pada awal menjabat kekayaan Umar bin Abdul Aziz adalah 400.000 dinar, akan tetapi pada saat menjelang wafatnya, hartanya tinggal 40.000 dinar. Jadi berkurang 90% selama menduduki jabatan.
       Saudaraku, tentu kita tidak berharap pemimpin di negeri yang tanahnya adalah irisan surga, kekayaan alamnya banyak, tetapi hanya dikuasai oleh sebagian kecil warganya. Sementara masih banyak yang hidupnya susah, termasuk para petani kecil, benih, pupuk, dan tenaga kerja mahal, ketika saatnya panen, harganya jeblok. Giliran stok panen sudah dijual murah, harga brambang melambung. Demikian juga barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
       Kita doakan siapapun yang sudah memberanikan diri menjadi pemimpin dibukakan pintu hati dan pikirannya, untuk lebih berempati pada rakyatnya. Pemimpin hakikatnya adalah pelayan rakyatnya. Tidak semestinya pemimpin berbicara dalam situasi sulit dan resah, mengeluarkan kata-kata yang justru menyakitkan hati rakyatnya. Demikian juga pemimpin dalam bidang apapun, termasuk pemimpin agama dan masyarakat. Kalau pun misalnya apa yang dikatakan teman saya Nuryadi benar adanya, semoga diampuni oleh Allah dan dimaafkan oleh rakyat yang kecewa. Menjadi pemimpin tujuannya adalah membahagiakan rakyatnya. Kalau pun belum bisa dan belum mampu membahagiakan mereka, hendaknya janganlah kecewakan dan sakiti hati dan perasaan mereka dengan ucapan dan perkataan Anda.
Semoga Allah menunjukkan jalan yang benar dan lurus pada kita dan para pemimpin kita.
       Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Regency Hotel, Amman Yordania, 29/4/2017.

BELAJAR KEARIFAN DAN MENJADI ARIF

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku, Allah telah banyak melimpahkan anugrah dan nikmat-Nya pada kita. Mari kita syukuri dengan meningkatkan amal dan ibadah kita, seperti Rasulullah saw, yang terus menghabiskan sepertiga malamnya hingga shubuh, dan itu beliau lakukan hingga akhir hayat beliau. Ketika ditanya oleh istri beliau tercinta, Sayyidatina ‘Aisyah ra, mengapa masih menghabiskan waktu malam sampai kaki bengkak, Beliau pun menjawab, “aku ingin menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur”.
       Shalawat dan salam mair kita senandungkan pada Rauslullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau, semoga kita menjadi umat beliau yang mau terus belajar tentang kearifan dan mampu bersikap, bertutur kata, dan berprilaku arif.
        Kearifan sesungguhnya berasal dari bahasa Arab, عرف – يعرف – عارف  artinya memahami dan mengenali dengan baik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan disebut kebijaksanaan atau kecendekiaan. Arif adalah orang yang bijaksana, memahami, dan cerdik cendekia. Jika dikaitkan dengan kearifan lokal, menurut UU no 32 Tahun 2009 adalah adalah nilai-nilai luhur yang berlaku di dalam tata kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi sekaligus mengelola lingkungan hidup secara lestari.
       Dalam perspektif tasawuf, al-‘arif bi Allah digambarkan sebagai berikut:
العارف لا يزول إضطراره ولا يكون مع غير الله قراره
“Al ‘arif billah itu tidak akan hilang keadaan dlaruratnya (kesulitan dan selalu butuh kepada Allah), dan akhir dari semua cita-cita atau harapannya selalu bersama Allah tidak yang lain-Nya” (Wafi).
Seorang hamba bisa dikatakan ‘arif billah apabila tauhidnya sudah sampai kepada Allah, kepercayaan, tawakkal dan pasrahnya hanya kepada Allah. ini adalah derajat yang mana kehendak seorang yang ‘arif sudah sirna didalamnya dan hanya memandang pada kehendak Allah, serta dihadapannya semua sebab-sebab menjadi hilang dibawah kekuasaan-Nya dan hilang juga semua makhluk (selain Allah) dikarenakan ia sedang menyaksikan-Nya.
      Seseorang menjadi arif pada tataran yang lebih sederhana, didasari oleh ilmu atau berilmu (عالم), mengamalkan ilmunya (عامل), menghamba secara baik (عابد), belajar dan mengamalkan fiqh (فقيه), dan baru pada tahapan arif (عارف بالله).  Karena itu, dalam ilmu tasawuf, seseorang yang ingin menjadi orang yang ingin belajar kearifan dan menjadi orang yang arif dan bijaksana, maka ia harus melewati proses dan perjalanan panjang (سلوك) dari tahalan tersebut.
       Orang yang arif, dia merasa terus menerus butuh kepada Allah, dan karena itu, ia menjaga dirinya untuk memiliki perasaan mampu, apalagi sampai timbul rasa sombong dan angkuh. Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandary menggambarkan sifat sang ‘arif bi Allah sebagai “sesungguhnya termasuk dari sifat-sifat orang yang ‘arif adalah semua sebab, sirna di hadapannya, karena ia selalu memandang kepada Dzat yang membuat sebab dan semua makhluk menjadi hilang darinya karena ia selalu menyaksikan Allah. Di hadapannya tidak ada orang yang membuat tenang dan merasa nikmat dengannya serta bisa diharapkan dan ditakuti kecuali hanya Allah Swt.
     Orang yang arif, akan membuang jauh-jauh perasaan ‘ujub dan sum’ah pada dirinya. Ia hindari sifat mengagumi pada dirinya, apalagi ingin terkenal atau didengar orang lain. Ia akan terus berusaha berbuat yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat, dengan senantiasa menyadari bahwa hanya Allah sebagai tempat bergantung dirinya. Dengan penuh kerendah-hatian (tawadlu’) Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany pada saat berada di Multazam memohon kepada Allah sebagai berikut :
اللهم ان كان في قضائك ان لا تستر قبائحي عن الناس يوم القيامة فاحشرني اعمى، كي لا افتضح بين الخلائق الذين يحسنون الظن بي اليوم
“Ya Allah, apabila di dalam qadla’-Mu bahwa besok di hari kiamat Engkau akan tidak menutup kejelekan-kejelekanku di hadapan manusia, maka giringlah aku dalam keadaan buta, supaya kejelekanku tidak terlihat di hadapan mereka yang mana hari ini mereka sedang berprasangka baik padaku”.
       Saudaraku, marilah kita belajar dan menjadi pembelajar yang rendah hati (tawadlu’). Ilmu yang kita dapat, meskipun berderet gelar dan jabatan akademik, bahkan yang sepanjang karir pekerjaannya menjadi pejabat secara terus menerus, atau yang oleh masyarakat pengikutnya dianggap sebagai ulama, atau tokoh panutan, apalagi masih sering berurusan dengan materi duaniawi, bahwa ilmu kita tidak ada apa-apanya, diri kita adalah faqir di hadapan Allah. Sungguh sangat tidak pantas dan tidak sepantasnya, kita menunjukkan kehebatan kita, egoisme (ananiyah) kita, apalagi ibadah juga masih tidak seberapa. Menjadi hamba yang mau dan pandai bersyukur saja, masih sering lupa, tetapi kita sering lupa, bahwa kita sedang diuji oleh Allah Swt. Kita juga tidak sadar bahwa seandainya Allah menampakkan aib kita, gambaran sesungguhnya hati dan pikiran kita seperti apa, bagaimana serakahnya kita, bagaimana kita punya niat buruk dan busuk akan mengalahkan semua orang, bagaimana kita akan merasa menjadi manusia paling hebat, bahkan dengan menghalalkan segala macam cara. Bahkan sangat mungkin, kita merasa dan mengaku cinta kepada Allah, tetapi tidak  bisa memuliakan makhluk dan hamba-hamba-Nya.
       Saudaraku, doa Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jilany kepada Allah sebagaimana dikutip di atas, kiranya cukup untuk menyadarkan kita untuk mau berusaha dan belajar kearifan dan bersikap secara arif, menjadi hamba Allah yang taat dan tawadlu’. Dalam kearifan leluhur kita, kita bisa belajar dengan ilmu padi, yang kian berisi kian merunduk. Seseorang yang bertambah ilmunya, ia akan bertambah rendah hati. Kerendah hatian tidak akan mengurangi derajat dan martabat seseorang, akan tetapi justru di situlah Allah akan mengangkat derajat dan kemuliaan sebagai hamba-Nya.
       Semoga kita senantiasa dilindungi oleh Allah Swt, dijadikan sebagai hamba yang senantiasa mau dan pandai bersyukur, mau belajar kearifan dan berusaha menjadi hamba yang arif dan bijaksana. Karena kebijaksanaan itulah sesungguhnya di situ tersimpan berbagai kemuliaan Allah yang memancar pada hamba-Nya. Mengakhiri tulisan ini, mati kita simak dan renungkan sabda Rasulullah saw berikut.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة ومن يسر على معسر يسر الله عليه في الدنيا والآخرة ومن ستر مسلمًا ستره الله في الدنيا والآخرة والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه ومن سلك طريقا يلتمس فيه علمًا سهل الله له به طريقا إلى الجنة وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده ومن أبطأ به عمله لم يسرع به نسبهم رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra. Nabi saw bersabda: “Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan di hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan orang lain dalam kesulitan, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menikong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama Muslim. Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Al-Qur’an melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa ketinggalan amalnya maka nasabnya tidak meninggikannya” (Riwayat Muslim).
       Allah a’lam bi al-Shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Tadarrus Bakda Shubuh, Regency Hotel, Amman Yordania, 27/4/2017.

MENYEMAI GENERASI ANTI JUDI

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku, mari kita syukuri anugrah Allah. Hanya dengan anugrah-Nya, kita sehat afiat tanpa halangan apapun. Semoga Allah menambah taufiq dan inayah-Nya, dan kita bisa menjalani hidup ini sesuai dengan petunjuk-Nya. Shalawat dan salam kita wiridkan untuk Rasulullah saw, keluarga, dan para sahabat. Semoga syafaat beliau kelak akan memayungi kita di saat tidak ada perlindungan lagi.
      Kemarin pagi bersamaan liburan memperingati Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw, saya diminta on air via telpon oleh radio Elsinta, untuk menanggapi soal maraknya judi online di beberapa kota besar, termasuk Semarang. Aparat kepolisian tampaknya sudah mengambil langkah. Kalau benar sudah ada yang ditangkap bandarnya, tentu harus diapresiasi. Meskipun kalau pemberantasan judi dengan segala macam bentuknya, ingin efektif, harus diberantas semua pengedar hingga bandarnya.
       Mengapa? Karena judi ini ingkat merusaknya juga, hamlir sama dengan narkoba yang membawa efek adiktif atau kecanduan. Apalagi sudah model digital ini pasti sudah menasional atau bahkan menginternasional, maka portal yang menjual atau melayani judi apapun namanya, harus ditutup oleh kemenkominfo. Ini kalau mau serius dan ingin menghapus perjudian. Ibarat penyakit cancer, kalau hanya membunuh cabangnya, pasti akan menyebar lagi, karena akarnya sudah ke mana-mana.
     Penyakit masyarakat yang namanya judi, tampaknya memang setua umur manusia. Bahkan tidak tanggung-tanggung pada masyarakat Mekah Jahiliyah pun sudah keranjingan judi waktu itu. Al-Qur’an pun menyebut bahwa dalam judi (ميسر) itu ada dosa besar dan manfaatnya bagi manusia (QS. ). Akan tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya. Dalam buku al-Rahiq al-Mahtum disebutkan bahwa ayat yang menjelaskan bahwa dalam judi itu ada manfaatnya, karena waktu itu di masa Jahiliyah, apabila orang Arab menang judi, sebagiannya digunakan untuk membeli makanan dan minuman untuk menjamu jamaah haji.
       Tentu, setelah ada larangan tegas bahwa judi itu adalah perbuatan syaithan, maka harus dijauhi atau ditinggalkan. Tetapi mengapa masih saja selalu ada perjudian di muka bumi ini. Bahkan suatu kejadian apa saja bisa dijudikan. Pada masa-masa suburnya judi togel di negeri ini, banyak kejadian-kejadian yang memilukan hati dan menguras keprihatinan yang mendalam terjadi. Dari istri-istri para pekerja kasar yang tidak kebagian nafkah, karena habis untuk pasang judi, ada yang bunuh diri, hingga banyak juga yang gila dan harus memenuhi rumah sakit jiwa. Banyak orang yang tidak lagi berfikir secara rasional. Ada mobil atau motor kecelakaan, tidak ditolong orangnya, tetapi dicatat plat nomor polisinya, untuk diramal. Mimpi apapun dalam tidur, diramal, dan pasang nomor judi. Kerusakan akal dan jiwa sudah demikian parah.
      Untung saja di Jawa Tengah waktu itu ada seorang Kapolda yang memiliki komitmen dan kesungguhan untuk menghapus dan memberantas segala macam bentuk perjudian di Jawa Tengah, Irjenpol (purn) Khoirul Rasyid. Meskipun awalnya sangat berat, akhirnya dampak positifnya cukup besar. Judi togel sempat bersih beberapa tahun, dan masyarakat pun kembali hidup normal tanpa ada gangguan ekonomi akibat togel dan ketenteraman pun dapat dirasakan. Saya berharap Kapolda yang sekarang, Irjenpol Condro Kirono, juga memiliki komitmen yang sama. Karena yang saya gahu, beliau ini Kapolda “santri” yang pasti tidak ingin warga Jateng rusak gara-gara judi online ini.
       Bagaimana upaya mengatasinya? Ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan: pertama, bangun kembali fondasi agama, meliputi iman, Islam, dan akhlak yang kuat. Kalau dasarnya kuat, tidak akan mudah tergoda atau terjebak oleh iming-iming hidup mewah dan hidup enak. Tidak ada ceritanya, orang akan banyak harta dengan bermain judi. Kalau bandarnya ya, pasti. Tetapi bagi pelanggan atau pasang judi, dapat diprediksi tidak akan pernah kaya raya.
       Kedua, karena itu, tanamkan pada anak-anak kita shalat pada usia tujuh tahun dan “beri pelajaran” mereka jika masih belum mau mengerjakan shalat ketika berusia sepuluh tahun. Karena anak-anak kita akan menjadi pemimpin kelak. Ketiga, bangun komunikasi secara harmonis dan berkualitas, agar ketika anak-anak menghadapi masalah, segera dapat dicarikan solusinya.
       Keempat, perhatikan baik-baik, apabila anak-anak kita sudah menunjukkan tanda-tanda mengisolasi diri, harus ada pendekatan atau treatment khusus. Jangan menggunakan pendekatan kekerasan tetapi perlakukan mereka dengan hati-hati dan baik, agar akar masalahnya bisa diurai dan diberikan solusi yang smart.
       Kelima, waspadai juga, biasanya kalau sudah terindikasi judi, biasanya merembet ke minuman keras, narkoba, dan penyakit sosial lainnya. Indonesia, negara yang seharusnya kaya raya, banyak sumber daya alam, bahkan minyak, tambang, emas, batu bara, dan lain-lain, tetapi tampaknya kita tidak punya nyali dan keberanian untuk mengelola sendiri kekayaan alam kita. Akibatnya banyak saudara kita paksa mengalami kemiskinan di negeri sendiri, ibarat yang tidak enak, “ayam mati “kelaparan” di lumbung padi”.
       Saudaraku, mumpung kita masih dalam spirit memperingati Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw, mari kita tingkatkan kualitas shalat kita, agar mampu menjadi barometer ibadah yang lainnya. Yang belum shalat mari kita mukai sekarang. Anak-anak kita, kita biasakan mereka ketika usia tujuh tahun. Bahkan kalau perlu masih usia 3-4 tahun kita ajak mereka ke Masjid atau Mushala, agar mereka terbiasa dengan lingkungan ibadah.
       Menurut pesona.co.id, otak para penjudi itu terendam dopamine. Otak pecandu judi, sama seperti kecanduan zat adiktif, ketika kecanduan judi itu terjadi, otak mengalami perubahan. Di bagian tengah otak yang disebut cranium, terdapat  serangkaian sirkuit otak yang disebut system reward, yang menghubungkan berbagai bagian otak yang tersebar -termasuk memori, gerakan, motivasi dan kenyamanan. Ketika dopamine itu dirangsang dengan amphetamine, kokain atau zat adiktif lainnya, sistem reward itu menebar dopamine sebanyak 10 kali lipat dari jumlah biasanya. Artinya, sel saraf otak penghasil dopamine melakukan kerja paksa.
       Sebuah penelitian di Jerman (2005) masih kata pesona.co.id, sama seperti pecandu zat adiktif, penjudi akan kehilangan kepekaannya terhadap kondisi ‘high’ ( fly pada pengguna zat adiktif). Ketika menang, penjudi mengalami aktivitas kelistrikan yang lebih rendah pada bagian pusat sistem reward di otaknya. Itu sebabnya seorang penjudi akan ketagihan melakukan judi terus menerus untuk memperoleh kondisi high yang diinginkan.
       Lebih buruk lagi, kabarnya 2–7 % penderita penyakit Parkinson adalah penjudi. Meskipun kecil, tapi para penjudi ini bila tidak menghentikan kecanduannya, bisa punya penyakit yang sama dengan pecandu zat adiktif, mereka  akan mengalami kematian pada sel saraf otak penghasil dopamine. Tentu masih banyak dampak negatif lainnya, yang merusak kebahagiaan dan ketenteraman hidup.
       Semoga dengan spirit Isra’ dan Mi’raj Rasulullah saw, kita bisa berhijrah atau move on dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang sudah baik menjadi lebih baik, dan yang sudah lebjh baik menjadi lebih baik lagi. Generasi muda ini harus diselamatkan, agar bangsa besar Indonesia ini, tidak kehilangan generasi. Merekalah para pemimpin masa depan.
      Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Shubuh, Bandara Internasional Abu Dhabi, 25/4/2017.

MENGEVALUASI SHALAT KITA

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku, mari kita terus mensyukuri anugrah dan kenikmatan Allah hang dilimpahkan kepada kita. Hingga saat ini kita sehat afiat dan dapat menikmati hari libur, bagi yang linur, sambil merenungi dan mengevaluasi diri kita. Shalawat san salam mari kita senandungkan untuk Rasulullah Muhammad saw, keluarga, para sahabat, dan pengikutnya. Semoga hati kita makin cinta dan bertekad untuk menekadani beliau. Allah memposisikan beliau sebagai uswatun hasanah, agar kita mengikuti dan meneladani, semoga kita termasuk hamba-Nya yang diridhai-Nya dan akan diijinkan masuk di surga-Nya.
       Saudaraku, hari ini, 27 Rajab, adalah peristiwa untuk me genang, mengingat, dan merenungkan peristiwa besar bersejarah Rasulullah saw, yakni Isra’ dan Mi’raj. Isra’ adalah perjalanan di waktu malam dari Masjid al-Haram di Mekah al-Mukarramah ke Masjid al-Aqsha Palestina (QS. Al-Isra’:1). Mi’raj adalah naiknya Rasulullah saw dari Masjid al-Aqsha Palestina ke Sidratul Muntaha.
       Sidratul Muntaha [Arab: سدرة المنتهى], arti secara bahasa adalah sebuah pohon bidara yang menandai akhir dari langit/surga ke tujuh sebagai sebuah batas, yang menurut keyakinan Ialam,  makhluk tidak dapat melewatinya.
Allah sebutkan makhluk istimewa ini dalam Al-Quran:
أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى  وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى  عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى  عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى  إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى  مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى  لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?  Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,  yaitu  di Sidratil muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.  penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.  Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS. An-Najm: 12 – 18)
       Dalam banyak riwayat tentang isra’ dan mi’raj Rasulullah saw mendapatkan wahyu secara langsung dari Allah Swt, berupa perintah shalat wajib lima waktu, yang disebut shalat maktubat, isya’, shubuh, dhuhur, ‘ashar, dan maghrib (QS. Al-Nisa’:103. Al-Isra’:78). Tulisan ini tidak bermaksud membahas tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu, karena sudah selesai. Saya yakin Anda termasuk orang yang percaya, bahwa ini peristiwa supra-rasional, yang tidak perlu dipersoalkan lagi, karena pendekatannya imani dan tauqify (taken for granted). Bagi yang tidak percaya, apalagi dia kafir, tentu tidak mudah percaya.
       Saudaraku, pertanyaannya adalah, shalat lima waktu yang oleh Rasulullah saw diposisikan sebagai barometer (kunci) ibadah yang menjadi garansi atau jaminan bagi kualitas ibadah yang lain, sudah kita laksanakan dengan baik dan hasilnya sesuai dengan tujuan disyariatkannya atau belum? Rasulullahnsaw menegaskan:
رَوى الطبرانِيُّ عن النبِيِّ صلى الله عليه وسلم أنهُ قال:”أَوَّل ما يُحَاسَبُ بهِ العبدُ يومَ القيامةِ الصلاة، فإنْ صَلحَتْ صَلحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وإِنْ فسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ”
Riwayat al-Thabrany, Nabi saw bersabda : “Pertama kali amalan seorang hamba yang dihitung di hari kiamat adalah shalat. Maka apabila baik (shalatnya) maka baik (pula) amalannya yang lain, dan apabila rusak (shalatnya) maka rusak luka amalan lainnya”.
      Mengapa banyak prilaku yang bertentangan dengan agama dan kepatutan masih sering terjadi? Mengapa di negeri Indonesia yang seharusnya kaya raya dan mayoritas Muslim ini, utangnya sangat besar. Bahkan menurut menteri keuangan, Sri Mulyani, setiap bayi lahir harus menanggung utang Rp 13 juta,-? Mengapa para pejabat yang disumpah dengan menyebut Asma Allah, masih pada melakukan korupsi? Mengapa korupsi makin merajalela? Mengapa yang katanya Ulama dan ditokohkan oleh para pengikutnya, menunjukkan prilaku sombong dan angkuhnya? Mengapa orang-orang yang secara fisik atau casingnya tampak sangat agamis, akan tetapi tutur katanya menimbulkan ketakutan orang lain? Mengapa orang-orang yang makin banyak hartanya, makin bertambah ilmunya, makin berderet jabatannya, makin angkuh, makin tidak mudah senyum, dan makin minta diperlakukan istimewa? Mengapa aparat penegak hukum cenderung mempermainkan hukum? Mengapa katanya negara hukum, akan tetapi politik yang menjadi supremasinya?
       Saudaraku, masih banyak deretan tambahan pertanyaan yang menunjukkan bahwa shalat yang kita jalankan, tampaknya masih hanya sebatas ritual semata. Atau maaf bahkan hanya “basa-basi” kita untuk sekedar menggugurkan kewajiban kita? Itu pun kita lakukan di sisa-sisa waktu, karena kita sibuk dengan rutinitas kita. Kita memang shalat, tetapi tidak atau belum mampu menghadirkan makna shalat itu sendiri. Jangankan mewujudkan makna dalam kehidupan sehari-hari. Apakah ketika kita mengikrarkan diri di hadapan Allah, “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya semata-mata untuk Allah Tuhan Sekalian Alam” sudah sampai ke hati dan prilaku keseharian kita.
       Sahabat Ibnu Abbas meriwayatkan, لا صلاة لمن لا تنهى صلاته عن الفخشاء والمنكر  artinya “tidaklah (berarti) shalat(nya) bagi orang yang shalatnya tidak mampu mencegah dirinya dari berbuat keji dan munkar”. Ini berarti bahwa manfaat dan dampak positif shalat, dilihat hasilnya, manakala seseorang yang shalat itu, dia mampu membuktikan dari kebesaran Allah melalui kerendah-hatian (ketawadluan) dan kesungguhannya mewujudkan kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan orang lain dalam ritual salam sebagai penutup shalat.
       Adalah omong kosong apabila ada seseorang yang ditokohkan oleh para pengikutnya, atau dianggap sebagai Ulama, akan tetapi omongannya selalu menyengat, menyakitkan telinga dan memanaskan hati orang lain, merendahkan orang lain, dan hari-harinya dipenuhi dengan caci maki dan menghasut orang lain. Na’udzu bi Allah.
      Saudaraku, mari kita sisihkan hati, pikiran, dan nurani kita, untuk melalukan evaluasi, muhasabah, introsepksi diri, apakah shalat yang kita laksanakan sehari-hari ini masih sebatas ritual saja? Mari kita tingkatkan kualitasnya, yang bekum khusyu’ kita upayaka bisa lebih khusyu’. Mungkin ada yang lebih senang “wirid” dengan mencela dan mencaci orang lain, “wirid”-nya diganti dengan mendoakan orang lain. Yang masih sombong dan angkuh, mari dibuka sedikit supaya berkurang. Mari kita bangun ibadah sosial kita menjadi lebih shalih, supaya kehadiran kita di bumi, memberi manfaat pada sesama. Kita buang jauh-jauh kesombongan, keangkuhan, dan segala karat hati dan fikiran, yang telah lama memasung kita dengan merasa jumawa. Sebentar lagi kota memasuki usia renta, sebentar lagi kita akan hanya berbusana kain kafan, tidak lama lagi kita tidak mampu mandi sendiri, tidak lama lagi kita tidak bisa shalat, tetapi dishalati, itu pun kalau orang lain mau menolong kita. Tidak lama lagi, kita akan dipikul rame-rame oleh saudara kita yang mungkin seumur hidup kita tidak pernah kita sapa. SubhanaLlah.
       Semoga di sisa umur kita ini, kita bisa merubahnha menjadi lebih baik. Dan kalau pun Allah swt akan mengakhiri hayat kita, Allah memberi kita husnul khatimah, Amin.
Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 23/4/2017.

KARTINI DAN ISLAM JAWA PEGON

Assalamualaikum wrwb.
       Sadaraku, mari kita syukuri anugrah Allah yang tak mampu kita menghitungnya. Hanya dengan anugrah-Nya, kita sehat afiat, dapat melakukan aktifitas hari ini, mengisi kegiatan ibadah kita melalui berbagai kegiatan. Semoga aktifitas kita bermakna dan kita niatkan sebagai pengabdian kita kepada Allah, dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Shalawat dan salam mari kita senandungkan pada Baginda Rasulillah saw, keluarga, dan para sahabat. Semoga syafaat beliau, akan memayungi kita di saat kita membutuhkannya.
       Saudaraku, khususnya para kaum Perempuan, selamat memperingati hati Kartini. “Habis gelap terbitlah terang”. Muncul di pikiran saya, ini pemahaman atau “tafsir” model Kartini, dari ayat : فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا  dan إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا yaitu surat al-Insyirah ayat 5-6. Semoga negeri ini mampu melahirkan “Kartini” baru, yang dengan segala keberaniannya, ketika berguru kepada KH Sholeh Darat, mengusulkan agar supaya Al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan bahasa Jawa. Dari sinilah, KH Sholeh Darat menulis tafsir bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab. Inilah yang disebut huruf Arab Pegon.
        Raden Ajeng (RA) Kartini lahir di Jepara, 21/4/1879 M bertepatan dengan 28 Rabi’ul Akhir 1297 H, dan meninggal 17 September 1904 dalam usia 25 tahun. Satu tahun setelah menikah pada usia 24 tahun. Anda bisa membayangkan, umurnya hanya sampai 25 tahun, akan tetapi sejarah mencatat dengan tinta mas dan harum namanya. Hingga sekarang, pemerintah Indonesia menempatkan tanggal 21/4 sebagai tanggal penting, memperingati hari Kartini. Bahkan ada lagu khusus Ibu Kita Kartini, ciptaan WR. Supratman, yang ditetapkan sebagai lagu wajib nasional.
       Banyak tulisan mengungkap tentang pertemuan “santriwati” Kartini dengan KH Muhammad Sholeh Darat. Tampaknya atas permohonan Kartini, KH Sholeh Darat menyiapkan tafsir Al-Qur’an dengan menggunakan huruf Arab pegon. RA Kartini galau dan gelisah secara intelektual, sebagai seorang Muslimah disuruh mempelajari Al-Qur’an akan tetapi tidak tahu maksudnya.
       Penelusuran Amirul Ulum yang diikuti Rikza, menjelaskan bahwa Kartini menulis surat kepada Abendanon tanggal 15/8/1902 yang menyebut gurunya adalah seorang tua. Kartini menyebut bahwa orang Jawa menulis naskah dengan menggunakan huruf Arab pegon atau huruf Jawi. Dalam surat tertanggal 17/8/1902 juga kepada Abendanon, Kartini menulis: “Kami merasa senang, KH Muhammad Sholeh Darat telah menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa yang kebanyakan mentgunakan huruf Arab. Karena itu kini kami ingin belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab”.
       Saudaraku, mengapa Kartini, yang maish sangat muda tetapi pemberani, dan yang terpenting adalah intellectual curiosity-nya atau semangat pembelajarnya itu yang perlu sihidupkan lagi oleh para “Kartini” modern sekarang ini. Simbol busana Kartini dengan kebaya dan jarit, tentu memiliki makna identitas nasional ke-Indonesiaan — atau lebih tepatnya Kejawaan — yang hingga kini masih menjadi busana resmi nasional. Yang lebih penting adalah keberaniannya untuk “meminta” kepada Kyai Sholeh Darat untuk menyiapkan tafsir Arab pegon itu.
       Melihat sosok Kartini dalam perspektif emansipasi wanita di NKRI yang kita cintai tampaknya sudah selesai. Karena kultur dan regulasi sudah sangat afirmatif dalam memposisikan kaum perempuan dalam berbagai posisi dan jabagan publik. Presiden sudah pernah. Gubernur, Walikota, Bupati perempuan juga sudah. Hakim perempuan juga sudah. Rektor perempuan sudah banyak. Apalagi melihat kuantitas, banyak mahasiswa perguruan tinggi yang mahasiswanya didominasi perempuan.
       Saudaraku, banyak hal yang justru perlu perenungan kembali, ketika banyak lapangan pekerjaan yang notabene lebih mengandalkan kekuatan fisik, di situ para pekerja perempuan juga banyak. Atau kalau pun masih ada pekerjaan yang kemudian di situ terjadi eksploitasi terhadap “penampilan fisik” kaum perempuan, yang tentu berdampak kurang pas. Meskipun pas dan tidaknya bisa kontroversial, tergantung perspektif apa yang digunakan.
       Pelajaran yang sangat berharga adalah pesan Kartini dan direspon KH Sholeh Darat, bagaimana Al-Qur’an difahami, ditafsirkan, dan diedukasikan kepada masyarakat dengan menggunakan kearifan lokal Ke-Jawaan melalui tulisan peton, atau huruf Jawi. Di sisi lain juga, menunjukkan adanya kolaborasi antara huruf Arab dan Jawa. Dan ini tentu sangat genuine dan original. Sekarang ini pun, tadisi dan budaya menulis Arab pegon, masih digunakan oleh santri-santri pondok pesantren khususnya yang mengkaji kitab-kitab kuning yang pada umumnya bermadzhab Syafi’i(yah). Bahkan hingga pulpen dan tintanya disiapkan secara khusus, agar hasil “sah-sahan” atau “ngesahi” atau mengartikan kitab gundul (tanpa syakal/harakat) ketika santri menimba ilmu langsung kepada para Kyai atau pengajar di pesantren, ditulis dengan rapi dan tahan lama.
       Irmawati menyebutkan, “penamaan huruf Pegon sangat banyak. Di Malaysia disebut huruf Jawi. Di pesantren dinamai huruf Arab Pegon. Huruf Arab Pegon dikenal dengan istilah huruf Arab Melayu karena ternyata huruf Arab berbahasa Indonesia ini telah digunakan secara luas di kawasan Melayu mulai dari Terengganu (Malaysia), Aceh, Riau, Sumatera, Jawa (Indonesia), Brunei, hingga Thailand bagian Selatan. Maka tidak mengherankan, jika kita membeli produk-produk makanan di kawasan dunia Melayu (Malaysia, Thailand Selatan, Brunei, dan beberapa wilayah di Indonesia) dapat dipastikan terdapat tulisan Arab Pegon dalam kemasannya walaupun dengan bahasa yang berbeda. Bahasa tersebut disesuaikan dengan tempat atau Negara yang mengeluarkan produk-produk tersebut.
      Mengenai siapa yang menemukan huruf Arab Pegon ada beberapa pendapat. Menurut suatu catatan, huruf Arab Pegon muncul sekitar tahun 1400 M yang digagas oleh RM. Rahmat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel di Pesantren Ampel Dentha Surabaya. Sedangkan menurut pendapat lain, penggagas huruf Arab Pegon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Ada juga yang mengatakan bahwa huruf Arab Pegon ini ditemukan oleh Imam Nawawi Al-Bantani (Irawati).
       Saudaraku, illustrasi di atas menunjukkan bahwa Islam menunjukkan fleksibilitasnya untuk berkolaborasi dengan nilai kearifan lokal. Karena Islam yang rahmatan lil alamin, akan senantiasa mampu beradaptasi dengan budaya pemeluknya, agar Islam bisa difahami dengan baik. Semoga kita yang hidup di masa, tinggal merawat, menikmati, jerih payah para Ulama terdahulu untuk bisa menjadi lebih kreatif, semangat belajar, dan mampu mewarisi spirit dan keseriusan untuk belajar agama seperti Kartini. Meskipun hanya singkat usia Kartini, tetapi perjuangan, keberanian, kesungguhan untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu umum dan agama demi memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di bumi nusantara ini, akan terus dikenang dan diperingati.
       Semoga bermanfaat. In uridu illa al-ishlah ma istatha’tu wa ma taufiqi illa bi Allah. Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 22/4/2017.

BELAJAR PADA SAUDARAKU YANG TUNA NETRA

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku, mari kita syukuri anugrah dan karunia Allah yang sungguh kita tidak mampu menghitungnya. Itu pun kita sering nggrundel, suudhan, dan bahkan tidak mampu memanfaatkan pemberian Allah, khususnya penglihatan atau netra. Sementara banyak saudara kita yang secara fisik lahiriyah, tidak bisa melihat, bisa karena bawaan dari lahir, atau karena sebab tertentu, yang justru “mata hati”-nya lebih tajam dari kita, dan bahkan lebih awas, terutama dalam menjaga diri dari hal-hal yang oleh agama dan kepatutan tidak seharusnya dilakukan.
       Shalawat dan salam, mari terus kita wiridkan untuk Baginda Rasulullah saw, keluarga, dan para sahabat. Semoga kita yang menjadi pengikut atau ummat beliau, senantiasa berhati baik, dan hanya mampu menerima kebaikan semata.
       Alkisah, suatu malam, seorang tuna netra berjalan dengan membawa tongkat di tangan kanan dan lampu di tangan kirinya. Ada seorang laki-laki normal netranya, dengan lugu bertanya: “Mengapa Anda yang tidak melihat, membawa lampu? Bukankah akan lebih nyaman sekiranya, hanya membawa tongkat saja, toh Anda juga tidak melihat? Saudaraku yang tuna netra ini dengan kelembutan menjawab: “Saya memang tidak bisa melihat, tetapi dengan lampu ini, orang lain yang sama-sama dalam gelap, bisa melihat saya. Dengan lampu ini jalan menjadi terang, dan dapat menghindarkan orang lain untuk menabrak saya. Dengan kalimat yang lebih mengharukan lagi, “lampu ini adalah untuk menerangi jalan yang aku lalui”.
       Saudaraku, dialog dua saudara kita tadi, mengandung pelajaran yang sangat berharga. Terkadang karena “kedangkalan” atau “keluguan” kita sering melihat, memahami, menikmati, dan merasakan betapa besar Allah menunjukkan kebesaran-Nya melalui saudara kita yang tuna netra tadi. Akan tetapi ternyata “mata hati dan mata batinnya” lebih cerdas atau lebih tajam penglihatan akalnya dari pada kita yang secara fisik sempurna. SubhanaLlah.
Bayangkan, di tengah tertutupnya penglihatan, ternyata saudaraku itu memikirkan membantu dan menyelematkan orang lain yang semestinya tidak perlu pertolongan. Ia berfikir untuk memberi kepada kita yang melihat, supaya kita yang secara lahir melihat, tidak sampai menabrak dirinya yang tidak melihat dengan wasilah lampu tersebut.
       Saudaraku, apabila kita berbuat baik, meskipun kita sendiri tidak secara langsung membutuhkannya, tetapi itu bermanfaat bagi orang lain, maka sebaiknya kita lakukan. Kalaulah nanti manfaatnya menolong orang lain, maka sesungguhnya di situlah kita menolong diri kita sendiri. Kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain, pada hakikatnya adalah kebaikan untuk diri kita sendiri. Karena itu pula, Rasulullah saw mengajarkan kepada kita, kita memulai kebaikan itu dari diri kita sendiri.
عن أبي هريرة : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  أفضل الصدقة ما كان عن ظهر غنى ، واليد العليا خير من اليد السفلى ، وابدأ بمن تعول رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Paling utamanya sadaqah adalah apa yang berasal dari posisi orang kaya, tangan di atas itu lebih utama dari pada tangan di bawah” dan mulailah dengan orang yang lebih tinggi. (Riwayat al-Bukhary dan Muslim).
     Peribahasa leluhur kita, “becik ketitik olo ketoro”. Kebaikan yang kita semai, kita rawat, dan kita jaga, maka pasti hasilnya akan lebih baik. Allah mengingatkan kepada kita:
منْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ. غافر ٤٠).
“Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka diatidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barang siapa mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga. Mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab” (QS. Ghafir: 40).
       Karena itu, mari kita terus berusaha menyemai kebaikan, meskipun kita tidak menikmatinya sendiri. Riwayat dari Anas bun Malik: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan burung, manusia, atau binatang ternak, melainkan hal itu sudah termasuk sedekah darinya” (Imam Bukhari). Dalam versi Imam Muslim, Rasulullah saw bersabda : “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman kecuali yang dimakan darinya merupakan sedekah, apa yang dicuri darinya adalah sedekah, apa yang dimakan binatang buas adalah sedekah, apa yang dimakan oleh burung adalah sedekah, dan apa diambil oleh orang lain juga adalah sedekah”. Dan ini akan berkelanjutan hingga akhir kiamat”.
       Saudaraku, rasanya kita malu dan harus meningkatkan kualitas bersyukur kita kepada Allah. Kita boleh iri dalam soal bersyukur pada saudara kita yang secara fisik tidak bisa melihat atau tuna netra. Akan tetapi ketulusan hatinya membawa lampu di tangan kirinya, karena tangan kanannya memegang tongkat, ternyata memberikan pelajaran yang sangat berharga dan mahal bagi kita yang semoga masih memiliki sisa ketajaman mata hati. Boleh jadi kita memang memiliki penglihatan yang bagus secara fisik, akan tetapi mata hati dan batin kita, sering tertutup oleh kabut keangkuhan, kesombongan, dan egoisme (ananiyah). Kelebihan sedikit ilmu, sedikit kekayaan, dan sedikit jabatan, sering berakibat membutakan mata hati dan batin kita, dan lupa berbuat kebaikan meskipun itu sangat kecil. Sudah saatnya kita buang jauh-jauh, segala macam sifat dan sikap yang menjadi kabut dan menutupi mata hati dan batin kita itu, dengan memperbanyak istighfar dan mohon ampunan kepada Allah. Kita memulai sekarang juga untuk berbuat kebaikan, Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman akan melihat dan menyaksikannya.
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ. التوبة ١٠٥
Dan katakanlah: “Berbuatlah kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat perbuatanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
       Saudaraku, tidak seharusnya kita malu untuk belajar kepada siapapun, termasuk saudara kita yang tuna netra, atau tuna lainnya, karena kebajikan atau hikmah bisa datang dan ditemukan di mana saja. Ibarat berlian, didapatkan di mana saja, jatuh di kubangan sekalipunm ia tetap berlian. Jika itu bermanfaat, harus diambil sebelum terlambat. Semoga Allah makin sayang pada kita semua, dan mata hati dan batin kita, makin terbuka, semoga sinar inayah dan hidayah-Nya semoga akan menyejukkan sisa hidup kita. Wa ila Allah turja’u al-umur.
       Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Garuda Lounge Bandara Soekarno Hatta, 21/4/2017.