BELAJAR KEARIFAN DAN MENJADI ARIF

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku, Allah telah banyak melimpahkan anugrah dan nikmat-Nya pada kita. Mari kita syukuri dengan meningkatkan amal dan ibadah kita, seperti Rasulullah saw, yang terus menghabiskan sepertiga malamnya hingga shubuh, dan itu beliau lakukan hingga akhir hayat beliau. Ketika ditanya oleh istri beliau tercinta, Sayyidatina ‘Aisyah ra, mengapa masih menghabiskan waktu malam sampai kaki bengkak, Beliau pun menjawab, “aku ingin menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur”.
       Shalawat dan salam mair kita senandungkan pada Rauslullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau, semoga kita menjadi umat beliau yang mau terus belajar tentang kearifan dan mampu bersikap, bertutur kata, dan berprilaku arif.
        Kearifan sesungguhnya berasal dari bahasa Arab, عرف – يعرف – عارف  artinya memahami dan mengenali dengan baik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan disebut kebijaksanaan atau kecendekiaan. Arif adalah orang yang bijaksana, memahami, dan cerdik cendekia. Jika dikaitkan dengan kearifan lokal, menurut UU no 32 Tahun 2009 adalah adalah nilai-nilai luhur yang berlaku di dalam tata kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi sekaligus mengelola lingkungan hidup secara lestari.
       Dalam perspektif tasawuf, al-‘arif bi Allah digambarkan sebagai berikut:
العارف لا يزول إضطراره ولا يكون مع غير الله قراره
“Al ‘arif billah itu tidak akan hilang keadaan dlaruratnya (kesulitan dan selalu butuh kepada Allah), dan akhir dari semua cita-cita atau harapannya selalu bersama Allah tidak yang lain-Nya” (Wafi).
Seorang hamba bisa dikatakan ‘arif billah apabila tauhidnya sudah sampai kepada Allah, kepercayaan, tawakkal dan pasrahnya hanya kepada Allah. ini adalah derajat yang mana kehendak seorang yang ‘arif sudah sirna didalamnya dan hanya memandang pada kehendak Allah, serta dihadapannya semua sebab-sebab menjadi hilang dibawah kekuasaan-Nya dan hilang juga semua makhluk (selain Allah) dikarenakan ia sedang menyaksikan-Nya.
      Seseorang menjadi arif pada tataran yang lebih sederhana, didasari oleh ilmu atau berilmu (عالم), mengamalkan ilmunya (عامل), menghamba secara baik (عابد), belajar dan mengamalkan fiqh (فقيه), dan baru pada tahapan arif (عارف بالله).  Karena itu, dalam ilmu tasawuf, seseorang yang ingin menjadi orang yang ingin belajar kearifan dan menjadi orang yang arif dan bijaksana, maka ia harus melewati proses dan perjalanan panjang (سلوك) dari tahalan tersebut.
       Orang yang arif, dia merasa terus menerus butuh kepada Allah, dan karena itu, ia menjaga dirinya untuk memiliki perasaan mampu, apalagi sampai timbul rasa sombong dan angkuh. Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandary menggambarkan sifat sang ‘arif bi Allah sebagai “sesungguhnya termasuk dari sifat-sifat orang yang ‘arif adalah semua sebab, sirna di hadapannya, karena ia selalu memandang kepada Dzat yang membuat sebab dan semua makhluk menjadi hilang darinya karena ia selalu menyaksikan Allah. Di hadapannya tidak ada orang yang membuat tenang dan merasa nikmat dengannya serta bisa diharapkan dan ditakuti kecuali hanya Allah Swt.
     Orang yang arif, akan membuang jauh-jauh perasaan ‘ujub dan sum’ah pada dirinya. Ia hindari sifat mengagumi pada dirinya, apalagi ingin terkenal atau didengar orang lain. Ia akan terus berusaha berbuat yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat, dengan senantiasa menyadari bahwa hanya Allah sebagai tempat bergantung dirinya. Dengan penuh kerendah-hatian (tawadlu’) Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany pada saat berada di Multazam memohon kepada Allah sebagai berikut :
اللهم ان كان في قضائك ان لا تستر قبائحي عن الناس يوم القيامة فاحشرني اعمى، كي لا افتضح بين الخلائق الذين يحسنون الظن بي اليوم
“Ya Allah, apabila di dalam qadla’-Mu bahwa besok di hari kiamat Engkau akan tidak menutup kejelekan-kejelekanku di hadapan manusia, maka giringlah aku dalam keadaan buta, supaya kejelekanku tidak terlihat di hadapan mereka yang mana hari ini mereka sedang berprasangka baik padaku”.
       Saudaraku, marilah kita belajar dan menjadi pembelajar yang rendah hati (tawadlu’). Ilmu yang kita dapat, meskipun berderet gelar dan jabatan akademik, bahkan yang sepanjang karir pekerjaannya menjadi pejabat secara terus menerus, atau yang oleh masyarakat pengikutnya dianggap sebagai ulama, atau tokoh panutan, apalagi masih sering berurusan dengan materi duaniawi, bahwa ilmu kita tidak ada apa-apanya, diri kita adalah faqir di hadapan Allah. Sungguh sangat tidak pantas dan tidak sepantasnya, kita menunjukkan kehebatan kita, egoisme (ananiyah) kita, apalagi ibadah juga masih tidak seberapa. Menjadi hamba yang mau dan pandai bersyukur saja, masih sering lupa, tetapi kita sering lupa, bahwa kita sedang diuji oleh Allah Swt. Kita juga tidak sadar bahwa seandainya Allah menampakkan aib kita, gambaran sesungguhnya hati dan pikiran kita seperti apa, bagaimana serakahnya kita, bagaimana kita punya niat buruk dan busuk akan mengalahkan semua orang, bagaimana kita akan merasa menjadi manusia paling hebat, bahkan dengan menghalalkan segala macam cara. Bahkan sangat mungkin, kita merasa dan mengaku cinta kepada Allah, tetapi tidak  bisa memuliakan makhluk dan hamba-hamba-Nya.
       Saudaraku, doa Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jilany kepada Allah sebagaimana dikutip di atas, kiranya cukup untuk menyadarkan kita untuk mau berusaha dan belajar kearifan dan bersikap secara arif, menjadi hamba Allah yang taat dan tawadlu’. Dalam kearifan leluhur kita, kita bisa belajar dengan ilmu padi, yang kian berisi kian merunduk. Seseorang yang bertambah ilmunya, ia akan bertambah rendah hati. Kerendah hatian tidak akan mengurangi derajat dan martabat seseorang, akan tetapi justru di situlah Allah akan mengangkat derajat dan kemuliaan sebagai hamba-Nya.
       Semoga kita senantiasa dilindungi oleh Allah Swt, dijadikan sebagai hamba yang senantiasa mau dan pandai bersyukur, mau belajar kearifan dan berusaha menjadi hamba yang arif dan bijaksana. Karena kebijaksanaan itulah sesungguhnya di situ tersimpan berbagai kemuliaan Allah yang memancar pada hamba-Nya. Mengakhiri tulisan ini, mati kita simak dan renungkan sabda Rasulullah saw berikut.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة ومن يسر على معسر يسر الله عليه في الدنيا والآخرة ومن ستر مسلمًا ستره الله في الدنيا والآخرة والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه ومن سلك طريقا يلتمس فيه علمًا سهل الله له به طريقا إلى الجنة وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده ومن أبطأ به عمله لم يسرع به نسبهم رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra. Nabi saw bersabda: “Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan di hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan orang lain dalam kesulitan, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menikong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama Muslim. Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Al-Qur’an melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa ketinggalan amalnya maka nasabnya tidak meninggikannya” (Riwayat Muslim).
       Allah a’lam bi al-Shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Tadarrus Bakda Shubuh, Regency Hotel, Amman Yordania, 27/4/2017.

Silahkan Hubungi Kami