QUO VADIS PENEGAKAN HUKUM

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
     Mari kita mensyukuri karunia dan pertolongan Allah, kita dalam sehat afiat dapat memulai tugas kita di pagi yang cerah sebagai hamba dan khalifah-Nya di muka bumi ini. Shalawat dan salam terus kita wiridkan untuk Rasulullah saw, keluarga bekiau, dan para sahabat. Semoga syafaat beliau akan memayungi kita, di saat tidak ada perlindungan di hari akhir nanti.
     Saudaraku sebagai warga NKRI yang sangat mencintai negerinya yang diamanatkan oleh UUD 1945 sebagai negara hukum, pasti sangat merindukan hukum dapat ditegakkan secara adil dan berkeadilan. Artinya, semua orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law). Itulah prinsip hukum universal yang harus dijunjung tinggi oleh warga negara Indonesia, terlebih para pejabatnya baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
     Islam memerintahkan kita semua sebagai hamba Allah untuk memenuhi amanat kepada yang berhak dan memutuskan hukum secara adil kepada manusia sebagai subyek hukum (QS. Ali ‘Imran: 58). Dalam perspektif munasabah al-ayat, ayat berikutnya menjelaskan tentang seruan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan Ulil amri dari kamu. Maka apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya apabila kamu beriman kepada Allah” (QS. Ali ‘Imran: 59). Ini menunjukkan bahwa rakyat boleh taat kepada Ulil amri, apabila yang dilakukan sejalan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Termasuk di dalamnya, menegakkan hukum secara adil. Karena apabila Ulil amri sudah tidak adil, maka berarti sudah tidak sejalan dengan ajaran agama.
     Adil dan keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya (وضع الشيء في محله) artinya siapapun yang benar diperlakukan sesuai haknya, dan yang salah diperlakukan atau dijatuhi sanksi menurut aturan hukum yang berlaku, tanpa memandang agama, etnis, suku, budaya, partai politiknya, status, dan jabatannya. Adil juga berarti memberikan hak kepada orang yang berhak (اعطاء كل ذي حق حقه). Islam bahkan wanti-wanti: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa…” (QS. Al-Maidah: 8).
     Khatib Jumat bahkan dalam mengakhiri atau menutup khutbahnya, selalu mengutip QS. Al-Nahl: 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan..”. Maksudnya adalah, kita sebagai hamba Allah apapun posisinya, untuk berbuat adil sekaligus berbuat kebajikan.
     Rasulullah saw mengingatkan, kalau pemerintah atau ulil amri sudah tidak adil maka manusia akan saling memakan atau memangsa satu atas yang lain (لولا عدل الأمراء لأكل الناس بعضهم بعضا). Implikasi ikutannya jika keadilan tidak ditegakkan, perlakuan hukum sudah tebang pilih, pisau hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka apa yang dikhawatirkan Rasulullah saw pasti akan terjadi. Bahkan dalam skala kecil, sudah nampak di depan mata, ketika ada lembaga swadaya maayarakat (LSM) tertentu yang memukuli dengan batangan kayu terhadap anggota ormas Islam tertentu. Anehnya, peristiwa itu terjadi di depan aparat, tetapi seakan ada pembiaran terhadap aksi kekerasan tersebut.
     Rasulullah saw dalam hadits riwayat al-Bukhary dan Muslim, meriwayatkan tentang seorang perempuan dari Bani Mahzum, yang termasuk komunitas terpandang di kalangan masyarakat Quraisy. Usamah bertanya kepada Rasulullah saw, “apakah Anda akan memberi pertolongan dalam menetapkan hukuman dari hukuman Allah? Mendapat pertanyaan tersebut, beliau berdiri dan berkhutbah. Beliau bersabda: “Sesungguhnya rusaknya orang-orang (umat) sebelum kalian, karena sesungguhnya mereka jika ada orang bangsawan (الشريف) yang mencuri, mereka meninggalkan (membiarkannya), dan apabila orang yang mencuri orang yang lemah, mereka menegakkan hukuman had. ” وأيم الله لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها ” artinya “Dan demi Allah, seandainya Fathimah anak perempuan Muhammad mencuri, sungguh aku potong tangannya”.
     Belakangan ini sebagai warga yang merindukan terwujudnya keadilan di negeri ini, rasanya menyimpan kegalauan, dan bertanya-tanya “Quo Vadis Penegakan Hukum”? Hendak dibawa ke mana penegakan hukum ini?
     Kegalauan hati dan kegundahan perasaan kita, masih bisa ditambah lagi, dengan kabar plesiran oleh para napi di lembaga pemasyarakatan (LP). Peredaran narkoba yang menewaskan 57 nyawa manusia tiap hari secara  sia-sia, bahkan menjadikan negara, sebagaimana kata Prediden, darurat narkoba, dan konon dikendalikan dari LP, adalah cermin retak bagi dunia dan wajah penegakan hukum. Mudah-mudahan berita tersebut, tidak terjadi di negeri Indonesia yang dikenal religius dan berkesadaran hukum tinggi, tetapi di negara lain.
     Semoga saudara-saudara kita yang sedang mendapat amanat sebagai pejabat di NKRI ini, dibukakan pintu hatinya kesadaran untuk dapat menjalankan jabatannya sebagai amanat atau kepercayaan masyarakat yang tidak disia-siakan, dan mampu menegakkan hukum secara adil dan berkeadilan. Penegakan hukum yang tidak adil, akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat (distrust) dan anomaly hukum. Kalau situasi ini berlangsung terus, maka dikhawatirkan, masyarakat akan main hakim sendiri. Ini yang sama-sama kita takutkan.
     Dengan penegakan hukum yang adil dan berkeadilan, masyarakat akan merasakan ketenangan, kenyamanan, ketenteraman, dan kebahagiaan. Keadaan kondusif demikian merupakan modal penting untuk meningkatkan bekal dan investasi masa depan generasi muda Indonesia yang memiliki skill, kompetensi, dan keunggulan kompetitif (competitive advantage), sehingga mampu bersaing dengan negara maju yang lain. Dan yang lebih penting adalah bahwa pemimpin negeri ini telah mewariskan kejujuran yang akan direkam dalam sejarah, telah menjaga martabat dan marwah NKRI sebagai negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan semata-mata (maachtstaat). Akan tetapi jika pemimpin justru yang memberi contoh dengan penegakan hukum yang tidak adil dan mementingkan golongan atau kelompok tertentu, berarti sudah mengajarkan pada generasi bangsa ini, bercermin pada kaca yang retak, tinggal menunggu kehancurannya. Kalau ini benar-benar terjadi, ongkos sosial politiknya sangat mahal. Na’udzu bi Allah.
    Quo vadis NKRI,  Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 11/2/2017.

Silahkan Hubungi Kami