PENDIDIKAN DAN KEKERASAN

Published by achmad dharmawan on

Oleh Ahmad Rofiq
Assalamu’alaikum wrwb. 
     Puji dan syukur hanya untuk Allah, Tuhan Yang Maha Lembut pada hamba-Nya. Yang taat dan yang maksiyat diberi rizqi, bahkan yang bergelimang dosa, tampak harta dan kekayaannya berlimpah. Syukurilah rizqi yang ada, agar bahagia. Biasanya yang bahagia lupa bersyukur kepada Allah.
     Shalawat dan salam buat manusia teladan Muhammad saw utusan Allah, untuk menyelamatkan kita, dengan bahagia dunia dan sejahtera di akhirat.
     Saudaraku, belum hilang dari ingatan kita, kekerasan yang menewaskan seorang mahasiswa di STIP Jakarta, muncul lagi korban mahasiswa UII Yogyakarta. Apakah ini fenomena gunung es? Itu yang terungkap di media, karena terendus awak media? Dan yang sesungguhnya terjadi lebih dari itu? Bahkan suatu saat saya diundang oleh pondok pesantren di daerah yang banyak pesantren, yang memiliki madrasah/sekolah, juga membahas soal kekerasan di madrasah/sekolah. Allah a’lam.
     Sudah parahkah dunia pendidikan di negeri ini? Ataukah karena pergeseran nilai dan standard moralitas masyarakat, akibat pemahaman tentang hak azasi manusia (HAM) yang sekuler, dan terlepas dari panduan agama?
Saudaraku, pendidikan (تربية) adalah proses pembiasaan kebaikan secara tulus dan ikhlas. Guru pembimbing yang lahir batin,  sering disebut pengasuh jiwa atau murabbi ruh (مربي روح) karena benar-benar berperan sebagai guru (yang digugu dan ditiru) bukan plesetan wagu dan saru. Keikhlasan itulah yang membawa keberkahan bagi murid dan santrinya.
    Dari model guru model pengasuhan ini, di banyak sekolah dan pesantren, wewenang pengasuhan, mulai diserahkan kepada murid,  siswa, atau mahasiswa senior. Boleh jadi,  karena senior pernah menerima perlakuan kasar dari kakak kelas/angkatannya, maka “dendam kesumat” akibat kekerasan yang diterima,  dilampiaskan kepada adik kelas/angkatannya.
     Pendidikan (tarbiyah) beda dengan pengajaran (tadris). Tarbiyah menonjol kependidikannya, tadris dominan kepengajarannya. Tentu ini tidak harus dipertentangkan. Yang jelas pergeseran nilai,  penghormatan kepada guru, pemahaman dan aplikasi hak azasi manusia (HAM) yang beraroma sekuler, dicelup kembali dengan spirit tarbiyah dan ta’dib (pendidikan budi pekerti dan akhlak). Karena modal kehormatan manusia akan dihormati adalah karena akhlak dan budi pekertinya. Sekarang sudah mulai tergerus oleh budaya materialiame, hedonisme, di mana marwah seseorang dilihat dari tampilan luar (casing)-nya.
     Dalam pendidikan anak, supaya mau rajin shalat, yang akan menjadi barometer ibadah. Riwayat dari ‘Amr bin al-‘Ash  Rasulullah saw bersabda:
مروا اولادكم بالصلاة وهم ابناء سبع سنين واضربوا عليها وهم ابناء عشر وفرقو هم في المضاجع رواه احمد وابو داوود وهو صحيح
“Perintahlah anak-anakmu menjalankan shalat ketika mereka umar tujuh tahun, dan “pukullah” mereka karena (belum menjalankan)-nya ketika mereka umur sepuluh tahun, dan pisahkan mereka pada tempat tidur” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud,  dan hadits sahih).
     Dalam teks hadits tersebut, terdapat kata “pukullah” mereka (واضربوا عليها) ketika berumur sepuluh tahun, tetapi masih belum mau melaksanakan shalat. Ada yang penting dipahami, para Ulama memahami kata memukul, lebih dominan unsur pendidikannya, dan itu pun dilakukan oleh orang tua sendiri, dan pukulan pun, tidak dibenarkan jika sampai melukai. Artinya, pukulan pembelajaran yang tetap dengan semangat kasih sayang. Lebih dari itu, orang tua harus memberikan contoh telah mengerjakan shalat dengan baik.
     Berbeda dengan tragedi pemukulan yang dilakukan oleh kakak kelas, tidak menggunakan ukuran tetapi cenderung balas dendam, sehingga menimbulkan dampak yang mematikan. Mestinya, tidak ada lagi kekerasan di sekolah. Karena era dan model pendidikan sudah modern, maka para guru, kepala sekolah, harus memahami pesan hadits tersebut dengan lebih kontekstual.
     Rasulullah saw pernah dimintai gendong cucu beliau ketika sedang sujud, sampai sujudnya lama. Tahunya, setelah selesai shalat, beliau menjelaskan kepada para sahabat, jika cepat-cepat bangun, maka cucu yang sedang menjalani proses pendidikan shalat, akan menangis. Beliau juga khawatir setelah itu tidak mau ikut shalat berjamaah lagi. Jadi, ada pertimbangan yang lebih besar.
     Saudaraku, kalau boleh menduga-duga, Rasulullah saw memerintahkan kita mendidil anak supaya menjalankan shalat di usia tujuh tahun, agar tertanam sangat kuat untuk shalat, karena shalat merupakan perbuatan yang paling berat, dan menjadi barometer ibadah lainnya.  Jadi, sesungguhnya maksud pemukulan itu untuk mendidik, supaya sejak kecil sudah rajin shalat, untuk menjamin amal ibadah yang lainnya.
     Untuk itu, mari kita berusaha mendidik anak-anak kita sejak dari kandungan, dibacakan Al-Qur’an, kala lahir diadzankan telinga kanan dan iqamah telinga kiri, supaya tertanam kuat akidahnya, untuk mengesakan Allah Tuhan alam raya ini. Dengan demikian, jika akhlaknya baik, tidak mempan terhasut melakukan kekerasan kepada siapapun,  termasuk adik kelasnya.
     Di negeri ini sudah banyak kekerasan, jangan ditambah lagi. Angka kriminal makin bertambah. Dan itu menjadi problem pendidikan kita,  yang harus dicarikan penyelesaian secara komprehensif.  Penegakan hukum harus adil, dan memperlihatkan persamaan perlakuan di depan hukum.
     Sebagai orang tua, guru, pendidik, jangan lupa mendoakan anak dan murid supaya mereka diberi pemahaman seperti para Nabi dan mampu menghafal seperti para Rasul, dan diberi ilham seperti para Malaikat yang dekat kepada Allah. Jadikan lisan kami selalu berdzikir mengingat-Mu, dan hati kami tunduk, takut karena berharap kepada-Mu, dan hati yang paling dalam kami selalu taat kepada-Mu,  sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
اللهم ارزقني فهم النبين وحفظ المرسلين والهام ملائكتك المقربين اللهم اجعل ألسنتنا عامرة بذكرك وقلوبنا بخشيتك وأسرارنا بطاعتك إنك على كل شي قدير
     Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamu’alaikum wrwb. 
Ngaliyan,  28/1/2017

Silahkan Hubungi Kami