JABATAN SEBAGAI AMANAH

Published by achmad dharmawan on

Assalamu’alaikum wrwb. 
Sahabat dan Saudaraku yang disayangi Allah. Puji dan syukur hanya milik Allah. Sebagai hamba yang dimuliakan, kita wajib bersyukur, bukan untuk-Nya, tetapi karena kita sangat membutuhkan tambahan nikmat dan karunia-Nya yang dijanjikan.
Shalawat dan salam, kita sanjungkan untuk sosok teladan yang baik (اسوة حسنة), karena kita ingin hidup yang diridhai Allah, bahagia dunia dan akhirat (QS. Al-Ahzab:21).
Saudaraku, kita lahir di dunia sudah memikil jabatan luar biasa besar, yakni sebagai khalifah Allah di muka bumi ini yang sempat diprotes oleh Malaikat. Mereka mengatakan: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Allah menjawab: “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-Baqarah:30).
Tugas khalifah sesungguhnya sangat berat, yakni memberi keputusan yang adil, tidak mengikuti hawa nafsu, yang setiap saat akan menyesatkan dari jalan Allah. Orang yang sesat akan mendapat adzab, karena melupakan bahwa amalnya akan dihisab (QS. Shad:26).
Rasulullah saw menegaskan, bahwa setiap manusia adalah penggembala. Kata راع ini sering diartikan sebagai pemimpin. Sebenarnya yang lebih tepat adalah orang yang terus menerus memikirkan dan memperhatikan rakyatnya (رعية). Karena rakyat sejatinya adalah mereka yang perlu mendapat perhatian. Dalam hadits riwayat al-Bukhary dan Muslim dari Ibnu Umar, lengkapnya disebut, “pemimpin adalah penggembala, dan diminta pertanggung jawaban dari kepemimpinannya, seorang laki-laki adalah pemimpin pada keluarganya dan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang perempuan adalah pemimpin rumah suaminya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang pelayan (asisten rumah tangga) adalah pemimpin di rumah tuannya, dan akan diminta pertanggungjawaban…”.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, jabatan dipahami sebagai posisi tertentu, yang menjanjikan uang dan prestige. Dalam terminologi politik Islam, Al-Quran menyebut pemimpin dengan uli al-amri. Pejabatnya disebut amiir, bentuk jamaknya umara’, artinya orang yang diperintah. Mekanismenya melalui pemilihan, bisa oleh dewan perwakilan (ahl al-hall wa al-‘aqd), yang dalam model demokrasi modern, dilakukan secara langsung one man one vote (satu orang satu suara), tanpa membedakan kualifikasi orang per orang, seorang kyai besar sama suaranya dengan santri yang baru masuk pesantren.
Yang jelas jabatan adalah amanah, dan pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Makin banyak jabatan, jika tidak bisa menjalankannya secara amanah, maka akan memperpanjang pertanggungjawabannya. Banyak pejabat yang harus menjalani “siksaan” atau hukuman, ketika masih di dunia, di penjara, yang masanya lebih lama dari masa jabatannya.
Dalam suasana hidup yang serba hedonis dan materialis, seseorang sering berburu harta dan jabatan, yang seringkali dengan menghalalkan berbagai macam cara. Apalagi untuk jabatan politik, pernah nyaring terdengar ada serangan fajar. Meskipun tidak mudah dibuktikan. Bahkan serangan fajar katanya sudah tidak ada lagi, karena sudah diganti dengan serangan dluha.
Padahal Rasulullah saw melarang umatnya untuk berburu jabatan. Jabatan yang diminta apalagi diburu, akan berat dipikul bebannya. Sementara jabatan yang tidak dicari, Allah akan menolong meringankannya (Al-Bukhary dan Muslim).
Kata kunci sebagai pejabat yang ingin selamat adalah, pertama, tidak mencari atau meminta. Kedua, memberikan amanat kepada yang berhak, karena kompetensi dan integritasnya. Banyaknya kasus korupsi, karena jabatan tak ubahnya sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Ketiga, adil, artinya memberi hak kepada yang berhak, atau menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Saudaraku yang dicintai Allah, berbahagialah Anda yang sedang menjadi pejabat. Tetapi ingat, itu adalah amanah yang pasti dimintai pertanggungjawaban. Hendaknya, kecintaan Anda terhadap harta dan jabatan, tidak melalaikan Anda, pada kesadaran bahwa jabatan adalah amanah. Karena cinta harta dan jabatan secara berlebihan, adalah biang setiap kesalahan (حب المال والجاه راءس كل خطيئة).
Semoga kita dapat menjaga dan menjalankan jabatan sebagai amanah sebagai instrumen ibadah kita kepada sesama, yang muaranya adalah pengabdian dan penghambaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamu’alaikum wrwb.
Ngaliyan Semarang, 17/1/2017.

Silahkan Hubungi Kami