MENGHAYATI PESAN ‘UMAR BIN AL-KHATHAB

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Adalah — Sayyidina, sebutan penghormatan, seperti Ustadz atau Tuan, yang boleh jadi menurut
sebagian orang dianggap bid’ah — ‘Umar bin al-Khaththab ra, yang lebih senang menyarankan
persoalan “sengketa” atau “perselisihan pendapat” dalam suatu masalah, kepada rembug keluarga,
sampai mendapatkan jalan keluar perdamaian, agar kekompakan dan persaudaraan internal dalam satu
keluarga itu tetap utuh. Pertama, ash-shulhu sayyidu l-ahkam artinya “perdamaina itu tuannya hukum”.
Dalam budaya hukum zaman now atau kini, perdamaian pun harus dirumuskan dalam format yang
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat. Kedua, fa inna fashla l-qadla’i yuuritsu dl-dlaghaain
artinya “maka sesungguhnya penetapan putusan pengadilan mewariskan kebencian atau kedongkolan”.
Saudaraku, hari-hari belakangan ini, sebagian saudara-saudara kita yang tidak setuju dan “tidak
legowo” menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pasca keputusan MK 27/6/2019,
mengungkapkan kejengkelan, kegondokan, dan ketidakterimaan mereka. Melalui media sosial, mereka
ada yang mendoakan semoga para hakim MK segera menerima kutukan dan adzab atau siksaan dari
Allah SWT. Bahkan mereka ada terang-terangan, bahwa Allah sedang menguji orang-orang yang
berjuang di jalan kebenaran dan keadilan. Sementara putusan MK dianggap bersekongkol untuk
“menyempurnakan” kecurangan yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), dan tidak kurang dari
seorang tokoh bereputasi nasional bahkan internasional pun, juga “tidak terima”, dengan mengatakan
“rasa keadian saya terusik”.
Bagaimana menempatkan diri dalam menyikapi persoalan ini. Karena tampaknya setiap pilihan sikap
dalam hal ini, memang cenderung berhadapan aple to aple atau bahkan face to face, antar kedua pihak
yang “seolah-olah” berhadap-hadapan. Bersikap pro putusan MK dianggap oleh mereka yang tidak
setuju, sebagai kelompok yang mendukung kecurangan. Kalau tidak setuju terhadap putusan MK,
dianggap setuju dan layak masuk kelompok mereka yang sebagai produk “ijtima’ Ulama” versi mereka,
yang sedang diuji oleh Allah. Ini karena mereka mengklaim pendapat mereka sebagai paling benar.
Rasulullah saw berpesan : “Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, kalian bersengketa dan
menghadap kepadaku. Bisa jadi sebagian kalian lebih pandai dalam berdalih – atau berdalil – dari
sebahagian yang lain, sehingga aku memberikan keputusan baginya dengan mengambil hak dari
saudaranya, maka janganlah ia mengambil sedikit pun darinya, karena sesunngguhnya aku potongkan
(api) baginya dari potongan (api) neraka” (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
Saya tidak ingin memasuki wilayah “konflik” seandainya bisa dikatakan demikian. Karena memang
positioning netral dalam melihat dan mengkritisi putusan MK, sangat tidak mudah dan ini pilihan sulit.
Meminjam pendapat Cak Nun, Emha Ainun Najib, yang perlu ditegakkan di Indonesia, adalah supremasi
keadilan, bukan supremasi hukum. Betapa tidak mudahnya menegakkan keadilan, sementara
menegakkan hukum, sering terjebak pada formalisme dan formalitas hukum, pada wilayah-wilayah
prosedural-formalistik, yang tidak jarang menghadirkan implikasi terpinggirkannya substansi dan nilai-
niai keadilan.
Apa sesungguhnya makna keadilan itu? Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral
mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan
memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu
filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari
institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran” (id.m.wikipedia.org).
Dalam definisi berbahasa Arab, ditegaskan bahwa “keadian itu adalah wadl’u sy-syai’ fii mahallihi”
artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Atau bisa juga diartikan i’thaau kulla dzii haqqin
haqqahu artinya “memberi kepada yang berhak akan haknya”. Dalam bahasa manajemen modern, ada
parameter atau measurement yang adil, seimbang, dan proporsional antara kewajiban dan hak

seseorang. Ketaatan dan pahala itu muncul karena ada perintah atau amar, yang menghadirkan suatu
kewajiban — atau menjauhi larangan (nahy). Meskipun dalam pemahaman dan pengamalan Ulama, Sufi
utamanya, pahala itu soal kebaikan dan kemahautamaan Allah, bukan karena ibadah kita. Karena ibadah
kita, kiranya tidak atau belum pantas dan layak, dijadikan sebagai dasar kita mendapat balasan apalagi
berlipatganda. Karena boleh jadi, kita beribadah, masih hanya sebatas pada formalitas memenuhi
perintah atau kewajiban semata. Belum sampai pada kebutuhan, apalagi sebagai ungkapan cinta, seperti
Al-Ghazaly dengan ma’rifah dan mahabbah-nya, Dzun Nun al-Mishry dengan hubbu l-Ilahy-nya, Ibnu
‘Araby dengan wihdatu l-wujud atau sering disebut dengan manunggaling kawulo lan Gusti.
Seandainya setiap orang menjalankan tugas, amanah, dan hidupnya dengan mematuhi rambu-
rambu dan mentaati aturan agama Allah, dan melaksanakan ibadah sosial dengan adil, maka sungguh
tidak perlu ada sengketa, perselisihan, apalagi perbedaan tajam di antara sesama, yang mengakibatkan
terjadinya konflik horizontal. Meskipun pada awal manusia ditugaskan di muka bumi ini, sempat
diprotes oleh para malaikat, bahwa “manusia suka menimbulkan kerusakan dan menumpahkan darah,
lalu dijelaskan oleh Allah, bahwa Aku (Allah) lebih mengetahui dari apa yang kalian tidak ketahui” (QS.
Al-Baqarah (2): 30).
Kiranya kita semua bisa belajar, menghayati, dan menjalankan pesan Sayyidina ‘Umar bin al-Khathab
ra, untuk membiasakan diri menyelesaian perbedaan, perselisihan, dan persengketaan jika memang
harus terjadi, dengan rembugan, yen ono rembug dirembug, demi penyelesaian yang win-win solution
demi, keutuhan persaudaraan dan persatuan kita.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Ngaliyan-Hill, Semarang, 29/6/2019.

Silahkan Hubungi Kami