MANUSIA, ETAPE, DAN SIKLUS HIDUP

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Saudaraku, kata ulama bijak, dalam perjalananatau etape hidup ini hanya ada tiga, hari kemarin, hari
ini, dan hari esok. Hari kemarin, adalah yang paling jauh, karena ia sudah menjadi masa lalu. Kita tidak
akan mungkin kembali, layaknya seperti sinetron si “lorong waktu”. Meskipun demikian, bukan berarti
tidak ada manfaatnya. Allah mengingatkan kita untuk senantiasa memperhatikan hal-hal yang sudah
terjadi di masa lampau, agar kita bisa merancang masa depan kita (QS. Al-Hasyr (59): 18).
Orang bijak mengatakan, “pengalaman adalah guru yang paling baik” atau “experience is the best
teacher”. Bung Karno bilang “Jas merah” atau “jangan melupakan sejarah”. Jika Anda mengendara
mobil atau motor, diperlukan spion, untuk melihat situasi yang di belakang kita, bahkan mobil
penumpang selain spion kanan dan kiri, juga di tengah. Ini karena dalam hidup dan kehidupan kita, tidak
bisa sampai di sini, dalam keadaan sekarang ini, tanpa melalui masa lalu kita.
Pertanyaannya adalah, apakah arah yang kita jalani ini sudah benar menurut rencana dari masa lalu
kita, ataukah dalam posisi “sesat” dan di luar rencana, yang sering dikatakan “tersesat di jalan yang
benar”, ataukah kita berada di jalan yang benar dan lurus. Apakah ada yang Anda sesali dari posisi dan
keadaan Anda sekarang ini? Karena sesal selalu terjadi di kemudian hari, dan sesal atau penyesalan itu
pasti tiada guna, apalagi larut dalam penyesalan.
Saudaraku, hari ini, detik ini, kita masih berada di saat kita sedang menghiasi lembaran kertas putih
kita, apakah kita akan menulisi atau melukis hiasan kaligrafi indah yang sudah kita tulis dan lukis tempo
hari? Atau hari ini kita membuat tulisan dan lukisan yang baru? Yang pasti kita harapkan menjadi
torehan emas, yang menjadikan hidup hari ini lebih indah dari hari kemarin.
Rasulullah saw mengingatkan, “barangsiapa hari ini-nya, lebih baik dari hari kemarin, maka dia
adalah orang yang beruntung (rabih), barangsiapa hari ini-nya sama dengan hari kemarin, maka dia
adalah orang yang merugi (khasir), dan barangsiapa hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka dialah
orang yang tertipu (maghbun)” (Riwayat al-Hakim).
Marilah kita berusaha atau berikhtiar sesuai dengan kapasitas dan profesi kita masing-masing untuk
terus berbuat kebaikan yang bermanfaat bagi kita dan orang lain. Melalui ikhtiar itu, kita punya deposit
untuk menjadi manusia yang terbaik. Karena ukuran jati diri seseorang itu dinyatakan baik, adalah mana
yang paling banyak memberikan manfaat pada orang lain.
Ukuran kebaikan seseorang tidak ditentukan oleh banyaknya ilmu dan gelar, banyaknya harta, dan
berjajarnya pengalaman jabatan yang disandang atau diembannya. Kemuliaan seseorang hanyalah
diukur dengan ketaqwaannya. Kebaikan seseorang dilihat dari seberapa banyak ia memberi manfaat
pada orang lain, apakah itu ilmu yang diajar atau dibagikannya pada orang lain, hartanya seberapa
banyak diinfak atau sedekahkan pada orang lain yang membutuhkannya, dan jabatannya untuk apa
diabdikan?
Tidak sedikit dari sebagian saudara kita, yang bergelimang ilmu, bertumpuk harta, dan juga deretan
jabatan, yang karena tidak tahan godaan dan cobaan, ia terjebak dalam keangkaramurkaan dan
kemaksiyatan, kesombongan, dan kedigdayaan yang memporakporandakan dirinya dalam kubangan
kesesatan yang nyata. Namun tidak sedikit, dari saudara kita yang sudah terpenuhi segala angan, cita,
dan tujuan hidupnya, namun dia senantiasa berada di jalan-Nya yang lurus, ash-shiratha l-mustaqim dan
hidup istiqamah di bawah siramah kesejukan anugerah dan kasih sayang-Nya.
Sebagai hamba dan manusia biasa, yang baik adalah, selain berikhtiar untuk terus menjaga,
merawat, dan bahkan memupuk keimanan, keislaman, dan kebaikan (ihsan) untuk dapat terus dalam
sikap keistiqamahan. Sudah barang tentu godaan dan ujiannya berat. Karena berat itulah, jaminannya
adalah kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kebahagiaan dan keistiqamahan hidup, tidak selalu
berbanding lurus dengan keberlimpahan harta dan jabatan.

Kebahagiaan dan kekayaan, kata Rasulullah saw, adalah manakala seseorang dapat merasakan
cukup, qanaah, dan ridha, serta ikhlas menerima apa yang menjadi pemberian dan kehendak Allah
Rabbu s-samawat wa l-ardl, yang telah menyediakan dan mencukupi segala kebutuhan manusia.
Keinginan manusia tentu berbeda dengan kebutuhan. Karena jatah rizqi masing-masing hamba sudah
diatur dan didistribusikannya secara adil dan proporsional, sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya.
Siklus kehidupan manusia, juga sudah diatur, dari tidak ada, dilahirkan menjadi ada, tumbuh
berkembang menjadi remaja, memasuki masa tua, lanjut usia, dan pada gilirannya akan kembali ke
haribaan-Nya. Meskipun yang terakhir ini, tidak ada kamus baku, kapan manusia harus kembali
memenuhi panggilan-Nya. Marilah kita terus berusaha menjadi hamba yang terbaik, yang memberikan
manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain. Semoga Allah memberi kita umur panjang dan banyak
amal shaleh kita. Amin.
Allah a’lam bi sh-shawab. Ihdina sh-shiratha l-mustaqim.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan Semarang, 21/6/2019.

Silahkan Hubungi Kami