SENYUM, SEDEKAH, DAN KEBAHAGIAAN

Published by achmad dharmawan on

Mari kita awali pagi hari ini dengan berbahagia dengan mensyukuri anugrah dan kenikmatan yang
diberikan oleh Allah. Bagi Anda yang sudah memulai di sepertiga malam, fajar tadi dengan shalat
tahajud, tasbih, dan hajat, berarti Anda sudah mengawali kebahagiaan itu. Karena Anda sudah
ditinggikan derajatnya oleh Allah, bersama hamba-hamba-Nya yang shalih dan shalihah. Janji Allah
menegaskan dalam QS. Al-Isra’: 79, “dan pada sebagian malam, shalat tahajjudlah kamu sebagai suatu
ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”.
Kebahagiaan Anda kala bertahajjud, pertama, karena Anda bisa menjalankannya dengan senang
hati, tentu mudah-mudahan khusyu’ dan ikhlas. Dalam bahasa sederhana saya, ikhlas itu, butuh proses,
pembiasaan, sampai pada tingkatan kita merasa butuh. Ibadah apa saja, apalagi yang terkait dengan
materi, keikhlasan itu akan bisa dibentuk, manakala secara terus menerus dilakukannya, sampai pada
suasana apabila Anda tidak melakukannya, terasa ada sesuatu yang hilang dan itu mengganggu
kenyamanan hati alias galau. Lebih sederhana lagi, ketika Anda beramal, ketika sudah lupa atau
melipakannya, itulah ikhlas.
Sementara itu, ikhlas merupakan ruh atau nyawa dari amal perbuatan kita. Mushtafa al-Ghulayani
(h.17) mengatakan bahwa “amal perbuatan itu jisim (atau jasmani) dan ruh (nyawa)-nya adalah ikhlas”.
Karena itu, apabila jasmani itu terpisah dari ruhnya yang itu merupakan nilainya, maka ia akan rusak,
tidak ada gerakan dan tidak faedah yang bisa diharapkannya. Demikian juga amal perbuatan ketika
kehilangan ikhlas, jiga tidak ada faedahnya.
Dalam suasana Idul Fitri, setelah digembleng dengan ibadah puasa selama satu bulan penuh, fithrah
atau kesucian dasar manusia, hati dan fikirannya, ia berada dititik singgasana hati yang sejuk, selalu
tersenyum, dan bergembira, karena himpitan dosa, beban simpanan dendam sudah sirna, dihapuskan
melalui silaturrahim dan mushafahah atau bersalaman dengan tulus.
Mushafahah berasal dari kata shafhah artinya lembaran kertas putih. Dalam bahasa Indonesia,
mushafahah disebut dengan bersalaman atau berjabatan tangan. Jabatan merupakan kedudukan
tertentu. Jabat tangan, berarti menempatkan tangan orang yang bersalaman dalam kedudukan
tertentu. Jabat tangan adalah simbol atau penggambaran suasana hati orang yang bersalaman. Sudah
barang tentu yang bisa merasakan makna dan pesan dari jabat tangan, adalah masing-masing orang
yang bersalaman.
Tidak ubahnya dengan senyuman. Senyuman yang semula bermakna simbol atau jendela suasana
hati, namun dalam kenyataannya, senyum itu bisa bermakna banyak. Ada senyum manis atau al-
basasah atau at-tabassum. Ini yang dimaksud oleh Rasulullah, bahwa “senyummu (yang manis) pada
saudaramu adalah sedekah”. Tetapi ada senyum sinis yang berkonotasi penghinaan, senyum kecut yang
tidak bersahabat, senyum pahit, karena suasana tidak bahagia, akan tetapi terbawa oleh suasana yang
memaksa dia tersenyum. Tentu masih banyak lagi macam senyum lainnya.
Senyum sesungguhnya menggambarkan bahwa manusia itu butuh komunikasi dan sosialisasi.
Karena hakikatnya manusia itu makhluk sosial. Manusia hidup tidak bisa hidup sendiri. Karena
kesendirian adalah penderitaan. Karena itu, hampir semua ibadah dalam ajaran Islam, dianjurkan
mengerjakannya secara berjamaah. Shalat maktubat, dianjurkan berjamaah dengan kelipatan pahala 27
derajat. Seminggu sekali ada kewajiban shalat Jumat. Zakat dianjurkan dibayar melalui Amil, agar bisa
dikelola secara “berjamaah” dan efektif untuk mengentaskan kmiskinan.
Puasa, meskipun merupakan ibadah personal (fardiyah) akan tetapi malam harinya dianjurkan shalat
tarawih secara berjamaah. Ibadah haji pun, ketika sampai puncaknya, yakni wuquf di padang Arafah,
dianjurkan ada khutbah wuquf, itu artinya dianjurkan dengan berjamaah. Hampir seluruh rangkaian
ibadah dianjurkan dilakukan secara berjamaah.

Karena itu, silaturrahim sangat dianjurkan oleh Islam. Islam juga melarang keras, agar pemeluknya
jangan sampai memutus silaturrahim. Silaturrahim ditempatkan sebagai instrumen untuk membuka
pintu dan jalan rizqi dan memperpanjang umur. Karena hakikat silaturrahim adalah shilah artinya
menyambung dan rahim artinya kasih sayang. Apabila Islam adalah ajaran rahmatan lil ‘alamin, maka
inti pokok perwujudannya adalah ikatan tali kasih sayang antara sesama manusia.
Islam rahmatan lil ‘alamin diturunkan untuk kebahagiaan manusia dunia akhirat. Akan tetapi misi
utama Islam tersebut tidak bisa terwujud dalam kehidupan manusia, manakala manusia tidak mampu
mewujudkannya dengan berbagi kasih sayang. Selama manusia masih menyimpan dendam, apakah
karena akibat beda pilihan politik, beda obsesi dan keinginan, atau beda pilihan lain, maka akan
menghambat dirinya untuk mendapatkan kebahagiaan, bahkan menghambatnya untuk masuk surga.
Kebahagiaan akhirat tidak bisa diraih tanpa bahagia dalam kehidupan dunia. Karena itu, mari kita
renungkan dan resapi empat resep yang diberikan Rasulullah saw agar kita hidup bahagia. Pertama,
lupakan perbuatan baik kita kepada orang lain, agar kita terus berusaha berbuat kebaikan kepada
siapapun. Kedua, ingat-ingat perbuatan buruk pada orang lain, agar tidak berbuat keburukan lagi.
Ketiga, jangan pernah iri pada harta dan materi orang lain, karena hanya akan membuat hidup kita, tidak
nyaman (kemrungsung). Keempat, irilah kepada orang lain dalam soal ibadah, agar lebih bersemangat
untuk menambah ibadah sebagai bekal kehidupan abadi.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Jepara-Kudus, 7/6/2019.

Silahkan Hubungi Kami