MUDIK, SILATURAHIM, DAN KESUCIAN

Published by achmad dharmawan on

Tak terasa, bulan suci Ramadhan yang penuh keberkahan ini, akan segera meninggalkan kita.
Semangat ibadah puasa di siang hari, tarawih, witir, dan qiyamullail semarak di malam hari, turut
menyempurnakan keberkahan. Liburan dan cuti bersama bagi para pekerja, menjadi awal pergerakan
mudik, yang menjadi ritual tahunan, yang selalu memadati jalan raya. Lalu, apa sesungguhnya makna
mudik dan silaturrahim di saat kesucian itu hadir?
Mudik merupakan kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya.
Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan
menjelang Lebaran. Itulah kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di
perantauan, selain sowan atau ziarah orang tua (m.wikipedia.com) sebagai perwujudan silaturrahim.
Pemerintah daerah banyak memfasilitasi para pemudik secara gratis, dengan menyediakan
angkutan bus, dari Jakarta ke daerah masing-masing. Karena para pemudik ini, karena kebutuhan dan
juga keahliannya, boro dan bekerja meninggalkan daerahnya. Bagi Jawa Tengah sendiri, yang dianggap
terbesar pemudiknya, mereka ini memiliki lahan baru di luar provinsi, dan sekaligus pemasok ekonomi
dari luar ke Jawa Tengah.
Puasa sejatinya adalah untuk meraih kualitas taqwa, yang disebut muttaqin. Muttaqin adalah orang-
orang yang bersih, taat dan patuh pada perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya. Puasa selama satu
bulan, adalah prosesi untuk membersihkan dan mensucikan hati, fikiran, dan parasaan. Dengan puasa
dan muhasabah, introspeksi diri, dan menghidupkan di malam hari, diampuni dosa-dosanya oleh Allah.
Dalam keadaan kembali suci atau Idul Fitri, orang yang berpuasa, laksana bayi yang baru dilahirkan
dari rahim ibu. Ini yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah (hablun min Allah), Allah
mengampuni hamba-hamba-Nya. Untuk urusan hubungan manusia dengan sesama manusia (hablun
mina n-nas) kesalahan harus diselesaikan dengan saling memaafkan.
Silaturrahim, bertemu, dan bersalaman (bermushafahah) adalah mekanisme hubungan sosial kasat
mata, yang menjadi kebutuhan batin manusia, untuk penghapusan dosa-dosa yang terjadi dengan
sesama. Rasulullah saw bersabda: “maa min muslimaini yaltaqiyaani fa yatashaafahaani illaa ghufiraa
lahuma min qabli an yatafarraqaa”. Artinya: “Tidaklah dua orang Islam yang berjumpa, maka mereka
bermushafahah (bersalaman) kecuali diampuni dosa-dosa mereka sebelum mereka berpisah” (Riwayat
Abu Dawud, dari al-Barra’).
Dampak perkembangan information dan teknologi (IT), intensitas dan kualitas silaturrahim
tampaknya banyak tergerus, tidak seindah masa-masa saya kecil. Karena ucapan selamat Idul Fitri dan
silaturrahim sudah digantikan oleh media sosial, FB, WA, Twitter, Instagram, dll. Sudah pasti kualitas dan
makna silaturrahim secara fisik, akan berbeda dengan saling memaafkan jarak jauh melalui media sosial
tersebut.
Atas kesadaran demikian, tradisi dan budaya mudik mendapatkan momentumnya, dan tampaknya
secara psikologis dan ruhaniah, mudik, silaturrahim, dan pengelolaan kesucian atau kefitrian manusia,
tak akan pernah tergantikan dengan kecanggihan teknologi. Dua orang yang bersalaman atau
bermushafahah, bukanlah peristiwa dan jabat tangan fisik semata, tetapi perjumpaan dua hati, dua rasa,
dan bahkan getaran potensi dan entitas dua anak manusia dengan segala perangkat fisik jasmani dan
psikhis ruhaniahnya. Ketulusan hati akan nampak dan terasa menjadi sesuatu yang luar biasa, bak dua
gunung salju yang telah lama membeku, dan mencair mengaliri kesejukan dua hati, yang
mempesonakan keindahan bangunan hubungan sosial.

1 Guru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Walisongo, Ketua Forum Direktur Pascasarjana PTKIN se-Indonesia,
dan Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Tengah.

Karena itu, Islam memerintahkan dan menempatkan silaturrahim, menjadi instrumen penyemaian
kasih sayang, mengurai kebuntuan dan keruwetan antarmanusia, tergantikan dengan jalinan kasih
sayang dan membuka untaian senyuman sebagai sedekah yang tak tergantikan. Rasulullah saw
mengajarkan kala dua orang bersalaman dengan menatap wajah teman, sanak saudara, dan siapapun
yang kita bersalaman.
Islam menempatkan silaturrahim sebagai instrumen untuk mendapatkan jalan rizki dan usia
panjang. Logikanya, kala dua anak manusia membuka jalinan kasih sayang (silaturahim), maka semua
problem dan karat kotoran yang menyelimuti hati berganti dengan kegelapan, tersapu bersih, dan
tergantikan dengan perasaan lega dan kebahagiaan. Kala seorang hamba meraih kebahagiaan, maka
simpul-simpul beban psikologis dan emosional negatif, akan sirna dan tergantikan dengan kesenangan
dan kebahagiaan.
Manusia yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, yang menurut Ibnu Sina, adalah kondisi yang hanya
ingin berangan, berfikir, bertindak, dan bersikap yang benar, baik, dan indah, setelah banyak debu,
karat, atau kotoran yang timbul, akibat dosa ritual maupun dosa sosial, akan menemukan
momentumnya setelah melalui prosesi ibadah baik mahdlah (murni) maupun ibadah ghairu mahdlah
atau ibadah sosial.
Selamat bermudik, bersilaturrahim, dan meraih sekaligus menjaga kesucian. Karena ketaqwaan
hanya bisa dilakukan dengan mensucikan fitrah kita dan mengembangkannya sesuai dengan rambu,
petunjuk, dan jalan yang sudah ditunjukkannya. Jangan lupa bayar zakat fitrah dan malnya, supaya Allah
akan menjaga dan membentengi Anda dengan kasih sayang-Nya.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Ngaliyan Semarang, 29/5/2019.

Silahkan Hubungi Kami