ADA APA DENGAN SHALAT KITA?

Published by achmad dharmawan on

Oleh Ahmad Rofiq[1]

Allah Tuhan Yang Maha Penyayang telah melimpahkan anugerah-Nya, usia panjang dan sehat afiat, masih hidup di bulan Rajab, bulan penuh keberkahan. Sebagai wujud kebahagiaan dan kesyukuran kita kepada Allah, kita panjatkan doa kepada Allah Yang Maha Memberkahi kita. “Ya Allah limpahkanlah keberkahan pada kami dalam bulan Rajab, dan sampaikan kami pada bulan Sya’ban dan Ramadlan”.

Bulan atau bahasa Arabnya syahr-syuhur, adalah irisan waktu, untuk menunjukkan bahwa perjalanan hidup kita manusia di alam fana ini semakin pendek. Durasi waktu kita pada kematian yang menjadi awal perjalanan hidup panjang menuju ke haribaan Allah Rabbul ‘Izzah baru dimulai. Perjalanan panjang itu hanya bisa dipersiapkan dengan modal iman dan taqwa dari diri kita yang diberi kecakapan melakukan perbuatan hukum (mukallaf: baligh, Islam, dan berakal sehat). Karena itulah, dunia yang oleh Allah dinyatakan sebagai mazra’atul akhirah atau lahan bercocok tanam untuk dipanen di akhirat nanti, harus ditaklukkan, agar kita memiliki persiapan yang cukup dan memadai bagi hidup dan kehidupan kita menuju ke keabadian.

Kata rajab artinya memuliakan atau mengagungkan. Banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab. “Rajab adalah bulan Allah ‘Azza wa Jalla, Nabi saw bersabda: “Ingat, Rajab adalah bukan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramaslan adalah bukan umatku. Maka barang siapa berpuasa seharu dari bulan Rajab karena iman dan introspeksi diri, maka ia akan mendapatkan Ridla Allah Yang Maha Besar dan ditempatkan di surga Firdaus yang Tinggi”.

Pertanyaan kita adalah, apakah wudlu kita sudah seperti yang dimaksud dalam perintah untuk mensucikan, bukan hanya sekedar membersihkan wajah kita. Apakah kita sudah berkumur dalam arti mensucikan lisan atau mulut kita. Kita sering lupa diri, dan membiarkan lisan kita mengeluarkan kata-kata yang mungkin sepatutnya tidak muncul. Apakah kita sudah beristinsyaq menyuci hidup dan penciuman kita dalam arti yang sebenarnya? Apakah kita sudah membersihkan hati dan fikiran kita dengan berniat wudlu? Apakah kita sudah mensucikan wajah kita yang sering bertopeng dengan rangkap-rangkap? Apalah kita sudah mensucikan tangan kita dari perbuatan atau mungkin tanda tangan yang seharusnya tidak kita lakukan? Apakah kita sudah mengusap isi kepala kita, dari fikiran, niat, atau angan yang mungkin tidak sesuai dengan hak kita? Apakah kita sudah membasuh kaki kita, dari berbagai langkah ke tempat dan tujuan yang tidak sesuai dengan rambu kepatutan? Apakah kita sudah mensucikan telingan kita dari berbagai pendengaran yang tidak sepatutnya kita dengarkan?

Pertanyaan berikutnya, apakah shalat yang kita jalankan itu sudah benar kita tegakkan dengan kesungguhan dan ketulusan, sehingga mampu menghadirkan keberkahan? Ataukah shalat kita masih sebatas “basa-basi” kita untuk sekedar menggugurkan kewajiban ritual kita kepada Allah. Apakah shalat yang kita kerjakan sudah mampu mencegah dan menjauhkan diri kita dari perbuatan yang tak pantas dan bertentangan dengan ketidakpatutan atau bahkan perbuatan yang keji dan munkar?

Mengapa di negeri kita Indonesia yang kaya sumber daya alam, dan mestinya adil dan makmur, yang mayoritas menganut agama Islam, masih banyak yang hidup dalam kemiskinan? Mengapa masih banyak terjadi perbuatan keji dan mungkar? Mengapa banyak oknum pejabat yang muslim, melakukan korupsi dan bahkan banyak di antara mereka terkena OTT KPK? Padahal tampaknya mereka menjalankan shalat juga, bahkan banyak mereka “berpecinya” lebih bagus katimbang yang lainnya? Bahkan tampil keseharian dengan mengenakan surban? Di antara mereka juga banyak yang secara keilmuan, adalah termasuk berilmu agama yang cukup atau bahkan ulama? Mengapa di negeri ini, menjadi darurat narkoba? Itupun tiap hari masih terus dipasok oleh barang haram yang siap menghabisi generasi muda kita? Mengapa kehidupan politik di negeri ini, yang seharusnya menjadi instrumen atau alat untuk menjalankan amanah demi tegaknya keadilan dan kemakmuran, justru menjadi tontonan yang banyak sekali memberi pelajaran yang “kurang mendidik” generasi muda kita? Mengapa sebagian oknum pejabat dan aparat penegak hukum kita seakan lebih mementingkan urusan politik, katimbang menegakkan hukum secara adil?

Saudaraku, sahabat Ibnu Abbas ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa shalatnya tidak mencegahnya dari berbuat keji dan munkar, maka tidaklah (berarti) shalat itu baginya”. Dalam makna yang sama atas Firman Allah : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Ankabut: 45).

Mari kita buka mata hati, fikiran, dan perasaan kita. Ibadah shalat adalah barometer semua ibadah kita. Kita isi dan maknai shalat kita, agar mampu membekas dan mengisi ruang batin kita, bahwa “shalat, ibadah, hidup dan mati kita hanyalah untuk Allah”. Jabatan yang kita emban, hanyalah akan memperberat amal buruk kita, manakala kita gagal menjalankannya secara amanah. Karena di balik jabatan berat itu, ada “gugatan dan tuntutan” dari rakyat kecil fakir miskin dan anak yatim yang susah hidupnya. Karena mereka yang seharusnya menjadi perhatian kita, tetapi kita sering melupakan mereka.

Semoga di sisa umur kita, Allah membukakan hati kita, di bulan Rajab ini, untuk bisa sedikit lebih khusyuk dan ikhlas, sehingga shalat kita meninggalkan bekas positif di hati dan fikiran kita, agar mampu berbuat yang terbaik, demi masa depan kita, dan mampu meningkatkan kualitas iman dan taqwa kita. Itulah bekal dan sangu kita, yang terbaik di sisi Allah Jalla wa ‘Ala.

[1] Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, Guru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, dan Ketua Forum Direktur Pascasarjana PTKIN se-Indonesia.

Silahkan Hubungi Kami