MK KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA DI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM (13)

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum.wrwb.
Segala puji dan syukur hanya milik Allah. Mari kita syukuri anugrah dan karunia Allah,
hanya atas karunia-Nya semata kita sehat afiat tanpa halangan apapun. Shalawat dan salam
mari kita senandungkan pada Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan pengikut yang
komitmen meneladani beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan oleh Allah dan kelak di
akhirat kita mendapat syafaat beliau.
AlhamduliLlah, 23/10/2018 saya diundang untuk menyampaikan public lecture atau
kuliah umum di Pascasarjana Program Studi Hukum Keluarga UIN Sultan Syarif Kasim
(SUSKA) Pekanbaru Riau dan 27/10/2018 di Pascasarjana IAIN Samarinda. Tema yang
diminta adalah Respon dan Kesiapan Keluarga dan Prodi Hukum Keluarga Menghadapi
Revolusi Industri 4.0. Insyaa Allah masih dalam tema yang senada, Kamis, 1/11/2018 public
lecture juga diminta oleh Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Nangroe Aceh
Darussalam.
Saya banyak mendapatkan banyak pelajaran dari amanat teman-teman pimpinan umat
beragama menjadi Ketua FAPSEDU (Forum Antarumat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera
dan Kependudukan) Provinsi Jawa Tengah dari tahun 2011-sekarang. Problematika yang
dihadapi oleh keluarga dan akademisi Prodi Hukum Keluarga di Jawa Tengah, Riau
Pekanbaru, Samarinda, dan Nangroe Aceh Darussalam yang mendapatkan otonomi khusus,
ternyata hampir serupa. Karena untuk menghadapi era Revolusi Industri 4.0 yang semua
serba komputer, digital, dan robot, meniscayakan kesiapan keluarga yang berkualitas.
Menurut id.wikipedia.org. istilah "Industrie 4.0" berasal dari sebuah proyek dalam
strategi teknologi canggih pemerintah Jerman yang mengutamakan komputerisasi pabrik.
Istilah "Industrie 4.0" diangkat kembali di Hannover Fair tahun 2011. Pada Oktober 2012,
Working Group on Industry 4.0 memaparkan rekomendasi pelaksanaan Industri 4.0 kepada
pemerintah federal Jerman. Anggota kelompok kerja Industri 4.0 diakui sebagai bapak
pendiri dan perintis Industri 4.0. Laporan akhir Working Group Industry 4.0 dipaparkan di
Hannover Fair tanggal 8 April 2013.
Sementara data dan angka kemiskinan secara nasional di negeri kita Indonesia, yang
secara sumberdaya alam seharusnya sangat kaya dan makmur, namun kenyataannya banyak
saudara kita yang hidup dalam kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan,
per Maret 2018 angka kemiskinan Indonesia ada 9,82 persen atau 25,95 juta. Menurun
sedikit, kata Kepala BPS, Suhariyanto (16/7/2018) dari September 2017, 10,12 persen atau
setara dengan 26,58 juta orang.
Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty dalam “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya”
(Sari Pediatri, Vol. 11 No. 2/8/2009) menyebutkan, bahwa pernikahan dini di Indonesia
mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan 19,1 tahun. Di Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, Jambi, dan Jawa Barat, angka perkawinan usia dini berturut-turut 39,4%,
35,5%, 30,6%, dan 36%. Bahkan di sejumlah pedesaan, pernikahan sering dilakukan segera
setelah anak perempuan mendapat haid pertama (Palu B, “Menyelamatkan Generasi Muda”,
diunduh 10/5/2009) dari www.bappenas.go.id, 2008.
Perkawinan usia dini akan membawa implikasi ikutannya, yaitu kesehatan reproduksi.
Masih menurut Fadlyana dan Larasaty, “kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun
meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun anak. Korelasinya sangat
signifikan dengan makin tingginya angka kematian ibu melahirkan. Anak perempuan usia 10-
14 tahun lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan umur 20-24
tahun. Dua kali lipat dibanding usia 15-19 tahun.

Itu baru sebagian persoalan kependudukan di negeri ini. Belum bicara dampak ikutan
potensi meningkatnya angka kemiskinan baru. Karena begitu menikah, dapat dipastikan
kegiatan belajar mengajar berhenti. Angka putus sekolah menurut data resmi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017/2018 jumlah siswa putus sekolah jenjang SD,
seluruh Indonesia masih ada 32.127 anak, jenjang SMP ada 51.190 anak, jenjang SMA
31.123 anak, jenjang SMK 73.388 siswa (Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan
Kebudayaan, diunduh 1/11/2018).
Pikiran dan kesibukan beralih bagaimana mereka mencari pekerjaan. Jika pekerjaan
tidak disertai skill yang memadai, maka pekerjaan yang didapat tentu akan memberikan
imbalan yang sangat murah. Dan ini tentu berpotensi makin bertambahnya angka kemiskinan
baru yang perlu diwaspadai. Belum lagi problem tantangan Bonus Demografi yang sudah di
depan mata, di mana warga negara usia 15-64 tahun mendominasi jumlah warga. Ini kalau
tidak berkualitas, maka juga menjadi persoalan baru.
Karena itulah, saya menyarankan pada prodi Hukum Keluarga, perlu menambahkan
mata kuliah tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Bukan hanya sesederhana
bicara Keluarga Berencana, akan tetapi betap pentingnya pemahaman tentang Kependudukan
baik secara mikro maupun makro, dan pentingnya pembangunan keluarga.
Bagi kaum Muslim, QS. An-Nisa’ : 9 dengan tegas mengamanatkan, agar “orang-orang
yang berkeluarga, jangan sampai meninggalkan keturunan atau keluarga yang lemah, yang
dikhawatirkan mereka akan menjadi beban masyarakat”. Berkeluarga untuk membangun
bahtera rumah tangga yang diharapkan bisa mewujudkan keluarga yang tenteram (sakinah)
berdasarkan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), hanya akan bisa dipenuhi jika
direncanakan dengan sebaik-baiknya.
Rasulullah saw menikah dengan Siti Khadijah ketika berusia 25 tahun. Mahar yang
diberikan pun 20 ekor unta dan 12 uqiyah emas. Jika satu ekor unta adalah 4.000 SR, atau RP
15.000.000,- berarti Rp 15.000.000,- x 20 = Rp 300.000.000,- (Tiga Ratus Juta Rupiah).
Sementara satu uqiyah emas nilainya 7,4 dinar. Jika 1 dinar setara Rp 2,200.000,- berarti
setara dengan Rp 195.000.000,- (Seratus sembilan puluh lima juta rupiah).
Apa yang dicontohkan Rasulullah saw saat menikahi Siti Khadijah, adalah teladan yang
perlu dipertimbangkan. Mengapa, karena revolusi industri 4.0 yang meniscayakan generasi
yang handal, smart, memiliki skill dan keunggulan kompetitif (competitive advantage) tentu
memerlukan prasyarat keluarga yang baik dan berkualitas. Rasanya tidak mungkin lahir
generasi unggul, manakala secara lahiriyah bangunan keluarga yang ada tidak berkualitas.
Kualitas iman, agama, dan keberagamaannya, kesehatan, pendidikan, dan semua kebutuhan
hidupnya. Keluarga yang berkualitas lebih dicintai Allah dari pada keluarga yang lemah.
Rasulullah saw pun wanti-wanti atau warning, bahwa “kefakiran nyaris menjadi kafir”.
Karena itulah, tantangan dan problema membangun generasi muda yang siap memasuki
revolusi industri 4.0 memerlukan respon akademik dari para pimpinan perguruan tinggi,
khususnya prodi hukum keluarga. Di antaranya, perlu dimasukkannya mata kuliah
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. UU No: 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga bisa menjadi rambu penting bagi mahasiswa,
agar memahami dan mengkritisi persoalan Kependudukan dan Keluarga dengan baik. Selain
itu, jika dipandang perlu adalah MK Politik Hukum Islam di Indonesia.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Hotel Mekah, Aceh, 1/11/2018.

Silahkan Hubungi Kami