HAJI MABRUR DAN KUALITAS KEBERAGAMAAN

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Hamdan wa syukran liLlah. Segala puji dan syukur hanya milik Allah. Mari kita ungkapkan
syukur kita kepada Allah, hanya atas anugrah dan karunia Allah semata, kita sehat wal afiat dan
dapat melaksanakan aktivitas kita, tanpa halangan suatu apapun. Shalawat dan salam mari kita
senandungkan pada Baginda Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan para pengikut yang setia
meneladani beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan oleh Allah, dan kelak di akhirat kita
mendapat syafaat beliau.
Saudaraku, 221.000 jamaah haji Indonesia, sedang dalam prosesi pemulangan ke tanah air
bagi yang gelombang I, dan masa-masa “dihijrahkan” ke Madinah bagi yang gelombang II. Haji
sebagai rukun Islam yang ke lima, mengidealkan, bahwa orang yang sudah melaksanakannya,
sudah menjadi manusia yang secara lahiriah sempurna. Karena telah terpenuhi lima pilar
keberagamaannya, mulai dari syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.
Apakah dalam realitasnya demikian? Jawabannya, tentu tergantung bagaimana jamaah haji
kita bisa menjaga kemabruran dan keistiqamahannya. Lalu bagaimana dengan kualitas
keberagamaan yang hakiki? Apakah memang ada korelasi antara haji mabrur dengan kualitas
keberagamaan seseorang?
Rasulullah saw menegaskan bahwa orang yang mendapatkan haji mabrur, tidak ada balasan
baginya kecuali surga. Lalu bagaimana indikator kemabruran ibadah hajinya? Rasulullah saw
menjelaskan, “menebar keselamatan (kedamaian, ketenteraman, kesentausaan) dan baik tutur
kata atau kalimatnya”. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw menjelaskan tanda-tanda
kemabruran ibadah haji dalam sabda beliau sebagai berikut:

ايها الناس افشوا السلام واطعموا الطعام وصلوا الارحام وصلوا والناس نيام رواه احمد
“Wahai manusia, tebarkanlah keselamatan (kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman,
kesentausaan), berilah makan (orang yang membutuhkan), sambunglah kasih sayang
(silaturrahim), dan shalatlah kamu sekalian di saat manusia (kebanyakan) sedang tidur
(nyenyak)” (Riwayat Ahmad).
Haji merupakan amaliah yang bermakna wujud kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-
Nya, yang tidak mampu menghindari perbuatan dosa. Melalui ibadah haji inilah, Allah
mengampuninya, terutama saat-saat wuquf di padang Arafah. Rasulullah saw menegaskan,
“Setiap atau seluruh anak cucu Nabi Adam as, adalah melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik
orang yang berbuat kesalahan adalah orang yang mau bertaubat kepada Allah”, yakni berhenti
dari perbuatan dosanya, menyesalinya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Seseorang yang dibersihkan dari semua dosanya, maka ia kembali pada potensi baik atau
positifnya, atau fitrah. Ibnu Sina menyebutkan, orang yang berada dalam keadaan fitrah, maka
ia hanya hanya mengangankan, merindukan, dan bertekad untuk melakukan ucapan atau
perbuatan yang baik, benar, dan indah. Itulah sesungguhnya karunia terbesar yang diberikan
oleh Allah kepada manusia sebagai hamba-Nya yang sejak dari diciptakan-Nya di muka bumi
tujuannya hanya untuk beribadah kepada-Nya.
Rasulullah saw menggambarkan seseorang yang kualitas keberagamaannya baik adalah
mereka yang keberadaannya, mendatangkan kenyamanan dan ketenteraman bagi orang lain,
baik dari tutur katanya, tulisannya, termasuk di media sosial, maupun ketika seseorang
mempunyai kekuasaan. Dengan kata lain, orang yang tutur katanya membuat orang lain,

tersinggung, marah, dan atau bahkan merasa menjadi kurban fitnah, maka itu pertanda
keberagamaannya tidak berkualitas. Demikian juga orang yang pada saat berkuasa, ia justru
tampil menjadi diktator, sewenang-wenang, dan menimbulkan kegaduhan dan
ketidaknyamanan orang banyak, adalah pertanda kualitas keberagamaannya belum baik, dan
perlu mendapatkan perhatian.
Memperhatikan ilustrasi di atas, sesungguhnya ada korelasi yang sangat signifikan, antara
kemabruran ibadah haji dan kualitas keberagamaan seseorang. Karena kualitas keberagamaan
seseorang itu tidak cukup hanya dilihat dari ibadah ritual atau ibadah mahdlahnya saja, akan
tetapi justru yang lebih banyak adalah dimanifestasikan dalam ibadah sosialnya. Diawali dari
tutur kata yang baik (thibu l-kalam) dan menebar kesejahteraan kepada siapapun.
Di sinilah relevansi pesan Rasulullah saw, bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang
paling memberi manfaat kepada orang lain. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw berpesan :
“Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya, dan
seburuk-buruk manusia adalah orang yang panjang usianya dan buruk amal perbuatannya”.
Semoga bangsa Indonesia dapat belajar kepada kemabruran ibadah haji yang baru saja
pulang dari tanah suci, dapat menjauhi hoax, bertutur kata yang tidak pantas, dan cenderung
mendatangkan fitnah. Kepada saudara kita yang sedang mendapat amanat menjadi pejabat,
kita doakan bisa menjaganya dengan baik dan adil, tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk
berbuat sewenang-wenang, apalagi cenderung menggunakan cara-cara kekerasan, hanya demi
mempertahankan kekuasaannya semata. Kekuatan moral jauh lebih dahsyat dari pada
kekuatan senjata apapun.
Mari kita jaga katakteristik bangsa kita yang santun, bertutur kata yang baik, yang oleh
petuah leluhur kita dinyatakan, “menang tanpo ngasorake, ngluruk tanpo bolo” atau “menang
tanpa merendahkan dan bertandang tanpa bala tentara”. Kualitas dan kesempurnaan manusia
adalah karena akhlak mulianya, yakni melalui tutur kata dan kekuasaannya yang menyejukkan
dari amal ritual dan sosialnya. Semoga.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Tsarawat Zamzam Hotel, Mekah, 30/8/2018.

Silahkan Hubungi Kami