PUASA, PENDIDIKAN KASIH SAYANG, DAN TOLERANSI DALAM KELUARGA

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
      Segala puji dan syukur milil Allah. Mari kita lahirkan syukur kita kepada Allah,  atas karunia dan kasih sayang-Nya kita sehat afiat dan dapat menjalankan aktifitas dan tetap berpuasa. Meskipun musafir dibolehkan tidak puasa, namun karena jika membayar terasa berat, maka tetap berpuasa itu lebih baik (QS.  Al-Baqarah: 183). Shalawat dan salam mari kita wiridkan untuk Rasulullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan pengikut yang mencintai dan meneladani beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan oleh Allah, dan kelak di akhirat kita mendapat syafaat beliau.
Saudaraku, aksi bom bunuh diri seorang ibu yang mengajak anaknya di Surabaya beberapa waktu lalu, menyisakan keprihatinan dan pertanyaan sangat besar kita yang merasa masih waras. Mengapa ada orang tua yang tega dan biadab mengajak dan mengorbankan anaknya melalui bom bunuh diri dan sekaligus membunuh orang lain yang tak bersalah. Pertama, prilaku bunuh diri saja sudah kesalahan besar, kedua, membunuh anaknya sendiri, dosa besar kedua, dan membunuh orang lain yang tidak berdosa adalah dosa besar ketiga. Jadi ada dosa besar bertumpuk dalam kasus bom bunuh diri tersebut.
Bagaimana mereka mempelajari Islam, yang katanya dengan bom bunuh diri itu jadi mati syahid? Susah dimengerti model pemahaman seperti itu. Al-Qur’an dengan sangat tegas melarang bunuh diri (QS. An-Nisa’ : 29, al-An’am: 151). Berarti ada pendidikan agama yang salah. Tentu pendidikan agama ini jika diinginkan untuk menjadi fondasi agama bagi masa depan anak, harus diawali dari keluarga secara benar.
Pada dasarnya watak dasar atau karakter dasar bayi yang lahir adalah fitrah. Bayi yang pada umumnya selama sembilan bulan sepuluh hari berada di dalam kandungan atau rahim, adalah tempat menabur nilai-nilai kasih sayang. Rahim sendiri arti harfiyahnya adalah kasih sayang. Karena itu, meskipun Alqur’an menyebut sang ibu yang mengandung bayi dalam keadaan wahnan ‘ala wahnin atau lemah yang bertambah-tambah, di rahim inilah sang ibu, menabur benih kasih sayang tanpa perumpamaan.
Dalam keadaan apapun dunia luar, panas sekali atau di gin sekali, bayi dalam rahim tetap saja merasa aman dan nyaman, karena kasih sayang ibu yang tak terbatas. Untuk itu, para ahli pendidikan mengajarkan, sejatinya pendidikan kasih sayang sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan. Para aulama menasihati, agar sang ibu dan atau bapaknya, “mengajak” si janin untuk membaca Alqur’an, melakukan amalan-amalan yang shalih, banyak berdzikir dan mengucapkan kalimah-kalimah thayyibah. Tujuannya, agar si jabang bayi dapat aliran dan sentuhan-sentuhan Alquran dan pancarannya, agar kelak menjadi anak yang lahir dan tumbuh atas dasar kasih sayang, toleran, dan senantiasa menyayangi orang lain, terlebih kepada kedua orang tuanya.
Bayi lahir tidak bisa memilih dari siapa kedua orang tuanya. Termasuk bayi tidak bisa memilih lahir di mana, apakah dikehendaki atau tidak dikehendaki. Akan tetapi menurut Rasulullah saw, bayi lahir dalam keadaan fitrah.
روى البخاري في صحيحه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: (مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ).
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya, Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah dari bayi yang dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanya yang me-Yahudikannya, me-Nasranikannya, atau me-Majusikannya”.
Menurut Ibnu Sina, fitrah adalah karakter dasar bayi atau anak hanya ingin yang benar, baik, dan indah. Kedua orang tuanya yang akan mengarahkan, mendidik, dan membimbing anak-anaknya. Ketika bayi baru saja dilahirkan, Allah menunjukkan, si jabang bayi dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, setelah itu diberikanlah fungsi pendengaran, penglihatan, dan perasaan atau hati mereka (QS. An-Nahl:78, al-Mulk:23). Tujuannya agar manusia mau bersyukur kepada Allah.
Karena itu, sebelum si jabang bayi mendengar suara apapun, dianjurkan orang tuanya mengenalkan Asma Allah dan Rasul-Nya melalui kumandang adzan di telinga kanan dan iqamat di telingan kiri si bayi. Sebagaimana riwayat dari ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’, dari ayahnya, beliau berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
“Aku telah melihat Rasulullah saw mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Dalam  riwayat kedua, dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqamat di telinga kiri, maka ummu shibyan (jin perempuan) tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah).
Saudaraku, karena itu, pendidikan keluarga merupakan fondasi utama penanaman nilai-nilai kasih sayang yang sangat penting, strategis, yang akan mewarnai pendidikan berikutnya. Karena di keluarga inilah, lukisan dasar, ditorehkan. Allah memberikan contoh dan pendidikan keluarga melalui figur dan sosok Luqman al-Hakim. Kita dapat ambil pelajaran penting bagaimana Luqman menanamkan dasar-dasar pendidikan: pertama, “hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena mempersekutukan Allah adalah kedzaliman yang besar” (QS. Luqman: 13). Syirik adalah dosa besar yang tidak akan diampuni oleh Allah (QS. An-Nisa’: 48, 116).
Kedua, tanamkan rasa bersyukur dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya, bersyukur kepada Allah dan kepada kedua orang tuanya. Kelak manusia akan kembali kepada Allah (QS. Luqman: 14). Ketiga, seandainya kedua orang tua memaksa anaknya untuk menyekutukan Allah, janganlah ikuti, namun demikian haruslah tetap menghormati mereka sebagai orang tua selama hidup di dunia (QS. Luqman: 15).
Keempat, tanamkan kepada anak bahwa setiap perbuatan seberat biji sawi pun berada dalam bagu, langit atau dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkan balasannya (QS. Luqman: 16). Ini adalah formula penanaman nilai dasar sikap dan prilaku yang kelak akan mewarnai perjalanan hidupnya. Dalam bahasa Jawa, “becik ketitik, ala ketara”. Artinya “perbuatan baik akan kelihatan, dan perbuatan buruk juga akan tampak”.
Kelima, ajarkan anak menegakkan atau menjalankan shalat, amar makruf, nahy munkar, dan tanamkan kesabaran terhadap apapun yang menimpa anak kita (AS. Luqman: 17). Rasulullah saw memerintahkan kita mendidik anak shalat saat anak berusia tujuh tahun, dan jika sampai usia sepuluh tahun masih belum mau shalat, kita diijinkan memberi “pelajaran” atau “pukulan” yang tidak menyakiti mereka (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).
Keenam, ajarkan pada anak-anak kita rendah hati, jangan memalingkan muka dari orang lain karena sombong. Tanamkan pada mereka cara berjalan yang tidak menampakkan keangkuhan, karena sikap sombong dan angkuh dan membanggakan diri ini tidak disukai oleh Allah (QS. Luqman: 18).
Ketujuh, ajarkan anak-anak kita sederhana dalam berjalan, dan bicara secara lunak, tidak teriak-teriak atau berkata kasar. Allah menyindir seseorang yang bicara keras lagi kasar adalah suara keledai (QS. Luqman: 19).
Saudaraku, kiranya sudah lengkap model dan langkah pendidikan model Luqman al-Hakim tersebut. Sikap pembenaran diri sendiri dan menyalahkan orang lain adalah model keangkuhan dan kesombongan yang harus dihindari. Apalagi jika sampai pada langkah “memutlakkan benar” pada prilaku sendiri yang bahkan bertentangan dengan petunjuk Alqur’an, maka sikap demikian harus dibuang jauh-jauh. Karena yang demikian bertentangan dengan ajaran Islam yang cinta kasih sayang, persamaian, toleran dan menganjurkan tolong menolong dan saling menghormati dengan sesama. Rasulullah saw menegaskan:
عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa membantu meringankan beban seorang yang beriman di dunia, maka Allah akan meringankan bebannya di hari kiamat. Barangsiapa memudahkan kesulitan orang lain Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya, barangsiapa menempuh jalan untuk menambah ilmu, Allah akan memudahkannya jalan ke surga. Dan tidaklah berkumpul suatu kaum di rumah Allah untuk membaca dan memprlajari kitab Allah, kecuali Allah akan memberi mereka ketenangan dan balutan kasih sayang, dan para Malaikat pun melingkari mereka dan berdzikir kepada Allah pada orang-orang di sekelilingnya, dan barang siapa berlama-lama untuk itu, keluarganya tidak memintanya bercepat-cepat” (Riwayat Muslim).
Semoga dengan ibadah puasa ini, kita dapat mendidik, menanamkan pendidikan kasih sayang dan toleransi pada anak cucu kita, agar kelak dijauhkan dari sifat dan sikap intoleran, apalagi teroris, karena itu bertentangan dengan misi dan tujuan dasar Islam yang rahmatan lil alamin.
      Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Gtand Suka Hotel, Pekanbaru, 26/5/2018.

Silahkan Hubungi Kami