BELAJAR KOLABORASI AGAMA, NASIONALISME, DAN KEARIFAN LOKAL DARI PANGERAN DIPONEGORO

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Hamdan wa syukran liLlah. Segala puji hanya milik Allah. Mari kita lahirkan puji dan syukur kita ke hadirat Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya karena anugrah dan pertolongan Allah, kita hari ini dalam keadaan sehat afiat dan dapat mengisi waktu dengan aktifitas yang bermanfaat bagi diri kita dan orang lain. Shalawat dan salam mari kita senandungkan pada Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan pengikut yang setia dan istiqamah meneladani beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan oleh Allah SWT, dan kelak di akhirat kita mendapat perlindungan syafaat beliau.
AlhamduliLlah, kemarin Sabtu, 3/3/2018 saya diundang sebagai keynote speaker untuk meyampaikan tema tentang “meneladani spirit kecendekiawanan diponegoro yang berakhlak, berilmu, dan, berkarakter” dalam acara pelatihan Da’i bagi mahasiswa Universitas Diponegoro. Di tengah fenomena makin gencar arus sekularisasi di nusantara ini dan makin “suburnya” gerakan radikalisasi pemahaman agama, maka pelatihan da’i tersebut merupakan momentum strategis dan penting guna mengawal akidah dan budaya keberagamaan Islam di negeri ini. Generasi muda yang sebentar lagi mereka akan menjadi pemimpin bangsa ini, mutlak diperlukan pemahaman dan keberagamaan yang moderat namun religius yang dibutuhkan oleh bangsa ini.
Bangsa ini rasanya masih dan tampaknya akan terus menghadapi berbagai desakralisasi dan gerusan berbagai ancaman dan tantangan moralitas yang datang dari berbagai arah. Kemiskinan teladan dari para pemimpin bangsa, makin sulit diharapkan, mengingat makin banyaknya oknum kepala daerah baik tingkat kabupaten, provinsi, dan bahkan pusat yang berususan dengan KPK. Tiap hari kita diperlihatkan dengan kasat mata berton-ton narkoba di berbagai belahan kepulauan kita. Belum yang tidak dapat terendus oleh aparat BNN, polri, dan lain-lain. Karena nyatanya, peredaran narkoba di negeri ini, luar biasa. Bahkan RI-1 sudah menyatakan Indonesia darurat narkoba. Arus pemikiran liberal yang makin merangsek, LGBT yang kian marak, pergaulan bebas yang makin nggegirisi, pembunuhan yang cenderung eskalatif dan bertambah, dan masih banyak kejahatan lainnya.
Saudaraku, mari kita belajar banyak pada Pangeran Diponegoro, yang namanya diambil dan digunakan sebagai nama Universitas Diponegoro, Komando Daerah Militer IV Diponegoro, nama jalan, dan lain sebagainya. Mari perhatikan bayangan sosok Diponegoro. Busana yang dikenakan Surban, Gamis/Jubah, amameh, busana daleman yang menunjukkan statusnya sebagai Pangeran keturunan Raja, dan keris yang disisipkan di pinggang. Pangeran Diponegoro merupakan sosok multitalenta, santri, pahlawan yang memimpin perang Jawa, pangeran (ningrat), yang memiliki komitmen nasionalisme yang luar biasa. Sosok cendekiawan, karena tidak mungkin seseorang menjadi pemimpin dan berani melawan penjajah, jika tidak cerdas, berkarakter, dan berakhlak mulia. Bagi saya, Diponegoro adalah sosok yang berhasil memberi contoh dan keteladanan dalam menyatukan antara keyakinan dan keberagamaan sebagai Muslim, sebagai keturunan Raja Jawa, dan Pahlawan, karena ia tidak mau dijajah oleh Belanda.
Siapa Pangeran Diponegoro? Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Antawirya [Raditya, 2018]. (id.m.wikipedia.org).
Diponegoro adalah tipe santri yang rendah hati, tawadlu’, dan sangat faham harus menempatkan diri, termasuk di dalam lingkungan Kraton itu sendiri. Mengapa, karena ia menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk diangkat menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah istri permaisuri. Sikap “kesatria” demikian, sungguh sangat langka, di tengah banyak orang cenderung “berburu” jabatan bahkan dengan berbagai cara, biaya mahal, dan cendrung menempuh jalan apa saja demi meraih jabatan. Demokrasi pun belakangan ini, meminjam istilah J. Kristadi, cenderung bermetamorfosis menjadi “demokrasi mantra” atau “demokrasi berhala”. Karena ia hanya menjadi rapal yang fasih diucapkan, akan tetapi praktiknya sudah disulap dengan berbagai transaksi yang menghipnotis, tanpa memperhatikan substansi dan nilai kearifan yang tergadaikan.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat. Ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti ini yang tidak disetujuinya.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog (id.m.wikipedia.org) adalah perang besar yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.
Bagi Diponegoro dan para pengikutinya (lanjut id.m.wikipedia.org), perang ini merupakan perang jihad melawan Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda, di samping kebijakan-kebijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana. Infiltrasi pihak Belanda di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil. Di lain pihak, Smissaert menulis bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin hanyut dalam fanatisme dan banyak anggota kerajaan yang menganggapnya kolot dalam beragama. Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa meskipun perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan bahwa para tawanan perang Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk Islam. Yang terakhir ini, agak meragukan, karena dalam sepanjang perjalanan sejarah ke-Islaman, tidak ada pemaksanaan di dalam beragama Islam.
Saudaraku, kata para Ulama, al-Islam shalihun li kulli zaman wa makan. Artinya, “Islam itu serasi atau cocok dengan semua waktu dan tempat”. Jika pengalaman Pangeran Diponegoro dikaitkan dengan cara berdakwah para Wali termasuk di dalamnya Walisongo, mereka cenderung memilih berdakwah dengan mengolaborasikan Islam, Nasionalisme, dan Kearifan Lokal. Sangat dimaklumi, karena latar belakang Kraton lebih dominan, katimbang sebagai santri. Apakah pada umumnya santri itu berasal dari rakyat biasa, tentu tidak sepenuhnya demikian. Banyak Ulama yang bergelar Raden, seperti KH Raden Asnawi Kudus.
Yang jelas, data sejarah menyebutkan bahwa Pangeran Diponegoro ini, menurut Ninid Alfatih yang menulis “Jejak Pangeran Diponegoro di Pesantren Tua” (tambakberas.co.id) mengatakan, bahwa “di beberapa pesantren tua, namanya (Pangeran Diponegoro) masih sering disebut. Tak banyak diketahui bagaimana para ulama dan kyai menjadi elemen penting pengikut Diponegoro. Padahal masa sebelumnya ulama dan keraton berbatas garis demarkasi gara-gara kedekatan keraton dengan kolonial yang dicap kafir. Dari penemuan Carey, diketahui pengikut Diponegoro terdiri dari berbagai elemen. Di samping prajurit yang dilatih militer, pasukan juga terdiri dari kyai dan ulama yang mempunyai kemampuan ilmu kanuragan. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu Yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.
Mengakhri renungan ini, dapat kita ambil pelajaran berharga, bahwa Islam yang diajarkan atau didakwahkan oleh Pangeran Diponegoro adalah ajaran Islam yang mampu memberi spirit berjuang melawan pemerintah penjajah Belanda dengan budaya lokal atau kearifan lokal. Ini menegaskan bahwa Islam rahmatan lil ‘alamin benar-benar dapat dijabarkan oleh Pangeran Diponegoro. Selamat menikmati perjalanan panjang menuju keabadian Pangeran Diponegoro, santri yang nasionalis dan menguri-uri kearifan lokal, dengan kekhasan dan keberanian berbusana surban, gamis amameh, dan keris di pinggang.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.

Silahkan Hubungi Kami