Imlek

Published by achmad dharmawan on

Tanggal 24 Januari 2018
IMLEK
Oleh: Ahmad Hasan Asy’ari Ulama’i

Tanggal 24 Januari 2001 merupakan momentum bersejarah bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan libur tahun baru Imlek 2552 (Shio Ular), sebagaimana libur tahun Masehi juga tahun baru Hijriyah yang menghiasi keragaman masyarakat Indonesia.
Tahun baru Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (dalam bahasa Tionghoa: pinyin) di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). (https://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Baru_Imlek)
Libur Imlek merupakan apresiasi pemerintah dengan semangat pemenuhan hak anak bangsa, oleh sebab itu harus disikapi secara bijak oleh wagra bangsa yang lainnya. Terlebih persoalan kalender merupakan produk budaya sekalipun agama tertentu termasuk Islam memanfaatkan waktu-waktu berbasis kalender untuk melaksanakan ritual tertentu.
Pergantian tahun sendiri harus disikapi sebagai sunnatullah yang ditangkap oleh masyarakat tertentu dan disikapi serta disepakati oleh masyarakatnya untuk momen yang monumental bagi mereka, maka tidak harus dipaksakan sebagai momentum yang monumental pula bagi masyarakat lain, namun tidak dapat pula dihalangi sekiranya masyarakat lain memberikan apresiasi terhadap moment gembira masyarakat yang merayakan tersebut dengan tidak mencampuradukkan nilai-nilai yang seharusnya berbeda.
Prinsip dalam ajaran Islam, merayakan sesuatu itu sah-sah saja sebagai wujud syukur kepada Allah yang telah memberikan kesempatan untuk mendapatkan atau menemui moment monumental baginya tersebut. Ada beberapa catatan yang patut dijadikan pelajaran dalam merayakan moment tertentu, di antaranya:
1. Nabi Saw merayakan hari ultahnya dengan berpuasa
2. Nabi Saw menyebut hari Jumat sebagai hari raya, artinya perayaan dapat dilakukan melalui kumpul bersama, melakukan shalat jamaah dan menyimak nasehat melalui khutbah
3. Nabi Saw merayakan idul fitri dengan makan-makan bahkan dalam beberapa kesempatan Nabi Saw bersama istrinya Aisyah menikmati tarian Jipin (HR Muslim)
4. Nabi Saw merayakan idul Adha dengan acara makan-makan hasil sembelihan (kurban)
5. Nabi Saw mengizinkan sahabatnya menabuh (sejenis terbangan) untuk merayakan hari bahagia seperti walimahan (acara pernikahan)
6. Dan masih banyak lagi contoh perayaan yang Nabi Saw sendiri juga lakukan, hanya saja tetap dalam batas-batas yang tidak merusak nilai—nilai dalam Islam (bagi Umat Islam setidaknya)
7. Perayaan hendaknya tidak bernuansa syirik, berlebihan, tabdzir, kesombongan dan nilai-nilai bukruk akhlak lainnya.
Ayo yang Imlekan, Tahun baru Masehi, Tahun baru Hijriyah maupun Tahun baru tahun baru kalender lainnya, saling menghormati dan tidak melampaui batas-batas di atas, khususnya bagi umat Islam di Indonesia

24 januari

Silahkan Hubungi Kami