LPPOM MUI DAN BUDAYA HALAL (254)

Published by achmad dharmawan on

LPPOM MUI DAN BUDAYA HALAL (254)
Oleh Ahmad Rofiq

Assalamualaikum wrwb.
Marilah kita syukuri anugrah dan karunia Allah yang karena kasih sayang Allah, kita sehat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita hari ini. Semoga Allah senantiasa menambah anugrah dan kenikmatan-Nya dan kita dapat menjalani sisa umur kita agar lebih bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi masyarakat. Shalawat dan salam mari kita wiridkan dan senandungkan pada Nabi Muhammad Rasulullah saw. Semoga cinta dan kasih sayang Allah, meluber pada keluarga, sahabat, dan para pengikut, yang berkomitmen untuk meneladani beliau.
Lahirnya UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal dan terbentuknya Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang diresmikan oleh Menteri Agama RI Lukman Hakim Saefuddin, 11 Oktober 2017, muncul persepsi yang berbeda-beda tentang masa depan LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika-Majelis Ulama Indonesia). Ada yang mengatakan, pemerintah — melalui Kementerian Agama RI — telah mengambil alih kewenangan MUI yang melalui LPPOM MUI telah melakukan inisiatif secara voluntary selama 28 tahun. Padahal tugas Kementerian Agama sendiri masih banyak yang harus https://www.cialissansordonnancefr24.com/cialis-20mg-prix/ ditingkatkan kualitas pelayanan dan hasilnya. Ada juga yang mengatakan bahwa LPPOM MUI yang sudah melakukan kiprahnya, untuk melakukan jaminan produk halal yang beredar di tengah-tengah masyarakat.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, amanat UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, BPJPH mendapat mandat untuk menerbitan produk sertifikat halal. Kewenangan tersebut selama ini berada dan dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan logo halal bertuliskan Arab, dan juga MUI (Arab dan Latin) yang khas dan sudah sangat familier di masyarakat.
Menteri Agama menegaskan (kemenag.go.id, 11/10) bahwa peran MUI dalam sertifikasi halal tetap penting. Menurutnya, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI mempunyai 3 kewenangan, yakni: Pertama, mengeluarkan fatwa kehalalan suatu produk. “Jadi sebelum BPJPH mengeluarkan label halal, terlebih dahulu harus mendapatkan fatwa kehalalan dari MUI. Artinya, fatwa halal tetap menjadi domain MUI”.
Kedua, LPPOM MUI melakukan sertifikasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). “Menjadi kewenangan dan keputusan MUI, apakah sebuah lembaga lolos sebagai Lembaga Pemeriksa Halal atau tidak”. Ketiga, “auditor-auditor yang bergerak dalam industri halal harus dapat persetujuan MUI”.
Saudaraku, LPPOM MUI telah melakukan ikhtiar secara voluntary tidak kurang dari 28 tahun dalam merintis adanya jaminan produk halal, membangun budaya halal, gaya hidup (lifestyle) halal. Dalam perjalanan panjang tersebut, tidak jarang LPPOM MUI menerima kritikan tajam untuk tidak mengatakan “dicibir” dan “dicaci”, akan tetapi secara perlahan namun pasti, kesadaran (awareness) masyarakat industri, justru merespon dengan baik.
Meminjam bahasa Freidmann, rintisan dan perjuangan — atau dapat dikatakan jihad untuk membangun budaya dan gaya hidup halal — ini boleh dikatakan terjadi proses yang sebaliknya. Mengapa, budaya halal ini justru dibangun secara bottom up atau inisiasi dari bawah yang bersifat voluntary. Atau bisa juga proses yang mengalami lompatan dari norma dan nilai atau substansi (substance) tanpa adanya struktur aturan dan langsung memasuki tahapan membangun budaya halal.
LPPOM MUI juga berinisiasi agar Indonesia sebagai negara hukum yang penduduknya mayoritas menganut agama Islam, budaya dan gaya hidup halal ini memiliki regulasi yang bisa menjadi payung hukum dalam sertifikasi produk dan membangun budaya halal di Indonesia. UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) sebagaimana kita ketahui, membutuhkan waktu hampir sembilan tahun. UU JPH ini lahir di akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Menteri Agama Surya Dharma Ali (SDA).
Apabila ditelusuri seberapa besar kesadaran masyarakat industri maupun konsumer, pertumbuhannya relatif cukup menggembirakan. Ketika suatu produk sudah mendapatkan sertifikat halal, maka konsumen merasa lebih percaya dan merasa nyaman dalam mengonsumsi produk tersebut. Implikasi ikutannya adalah produk tersebut makin digemari masyarakat, dan ini yang menurut beberapa testimoni para industri, akan terjadi permintaan masyarakat yang makin besar. Resonansi sistem dan budaya halal ini, secara perlahan namun pasti, menjadi makin massif mengikuti tuntutan pasar.
Memang masih banyak garapan dan pekerjaan rumah, seperti produk-produk makanan cepat saji di luar restoran, seperti bakso, siomey, cilok, dan lain sebagainya, yang hingga tulisan ini dibuat, masih belum tersertifikasi dengan baik. Di LPPOM MUI Jawa Tengah sendiri, tidak kurang dari 1.000 industri rumah tangga, yang sudah mendapatkan sertifikat halal, tanpa dikenakan biaya apapun. Tidak berarti proses sertifikasi halal tersebut, tidak membutuhkan biaya, akan tetapi biaya dibebankan atau ditanggung melalui kerjasama antara LPPOM MUI Provinsi dengan Dinas atau Instansi terkait, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan lain-lain.
Saudaraku, pepatah bijak menyatakan, الفضل للمبتدي وان احسن المقتدي. Artinya “keutamaan adalah bagi perintis, meskipun lebih baik para penerus”. Karena untuk merintis sesuatu yang baru, diperlukan keberanian, innovasi, dan manajemen risiko yang harus dimitigasi secara baik dan profesional. Ada yang lebih penting adalah bagaimana di Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, relatif sudah mulai memiliki kesadaran bersama akan pentingnya sertifikat halal pada produk makanan, obat-obatan, dan kosmetika yang halal. Meskipun boleh jadi yang belum tersertifikasi halal masih lebih banyak.
Perkara apabila nanti UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal diberlakukan, kewenangan sertifikasi halal akan dilakukan oleh BPJPH, amanat UU harus dijalankan. Yang jelas, BPJPH hanya akan bisa mengeluarkan sertifikat halal, apabila MUI sudah mengeluarkan Fatwa Halal atau suatu produk tertentu. Kita masih menunggu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU No. 33/2014 tentang JPH, bagaimana mekanisme, alur proses, dan berapa lama proses sertifikasi halal suatu produk dapat diselesaikan, maka PP lah yang akan mengatur. Karena di era persaingan bebas demikian, maka Lembaga Pemeriksa Halal yang terpercaya yang akan dipercaya oleh masyarakat.
Saudaraku, mengakhiri renungan ini, kita simak secara seksama Firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai manusia makanlah dari apa yang ada di bumi secara hackal dan baik, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitah, karena sesungguhnya itu adalah musuh yang nyata” (QS. Al-Baqarah: 168).
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Hotel Royal Pajajaran, Bogor, 28/11/2017.

Silahkan Hubungi Kami