Seminar international dan penandatangan PKS (Perjanjian Kerja Sama) antara Pascasarjana UIN Walisongo dan IAFORIS telah dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2025 bertempat di Kampus STAI Daarut Tauhiid, Jl. Gegerkalong Girang No.69e, Kec. Sukasari, Bandung. Seminar dan penandatanganan PKS diikuti sekitar 300 peserta dari Indonesia, Malaysia, Turki, Somalia, dan Bahrain. Seminar international mengambil tema: “Transformation of Islamic Education in the Digital Era: Integrating Values, Technology, Green Education and Humanity”. Pascasarjana UIN Walisongo diwakili oleh Direktur (Prof. Dr. H. Muhyar Fanani, M.Ag.) sekaligus sebagai nara sumber seminar dan Wakil Direktur Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag.
Seminar berlangsung sangat dinamis. Diskusi berjalan dengan sangat efektif. Paparan para nara sumber serta dinamika forum memberikan beberapa kesimpulan penting, yaitu:
- Penggunaan AI (Artifical Intelligent) dalam dunia pendidikan memerlukan beberapa pertimbangan etis terutama menyangkut privasi, rahasia, hak kekayaan intelektual, bias dan akurasi, tanggung jawab, manipulasi sosial dan informasi yang salah, kepercayaan, masalah kesejahteraan manusia, potensi penyalahgunaan, transparansi dan keadilan, kejujuran akademik, budaya instan, potensi pelanggaran prinsip-prinsip moral, salah tafsir terhadap ajaran Islam, kesalahan kontekstual dalam memahami ajaran Islam, keamanan nasional, dan dampak sosial masyarakat.
- Komunitas pendidikan membutuhkan rumusan etika dalam penggunaan AI. Etika AI merupakan seperangkat nilai, prinsip, dan teknik yang menggunakan standar benar dan salah yang diterima secara luas untuk memandu perilaku moral dalam pengembangan, penyebaran, penggunaan, dan penjualan teknologi AI di lingkungan pendidikan. Etika AI mengacu pada prinsip-prinsip yang mengatur perilaku AI dalam kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan. Etika AI dalam dunia pendidikan akan membantu memastikan bahwa AI dikembangkan dan digunakan dengan cara-cara yang bermanfaat bagi masyarakat.
- Komunitas pendidikan perlu memikirkan relasi yang sehat antara manusia sebagai makhluk pembelajar dengan mesin sebagai alat belajar. Sudah seharusnya, hubungan antara manusia dan AI (mesin) dapat bersinergi. Sinergi antara manusia dan mesin, melihat AI sebagai perpanjangan dari kemampuan manusia dan bukan sebagai pengganti. Guru/dosen/mahasiswa dapat bekerja sama dengan sistem AI, memanfaatkan teknologi ini untuk meningkatkan hasil pendidikan. AI dapat menangani tugas-tugas administratif, analisis data, dan bimbingan belajar yang dipersonalisasi, sehingga memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada aspek-aspek pendidikan yang lebih kompleks, kreatif, dan berpusat pada manusia.
- Melihat perkembangan yang amat cepat hegemoni AI pada dunia pendidikan, maka perlu langkah-langkah yang cepat dalam perumusan regulasi, sosialisasi, training, dan implementasi regulasi masalah etika dalam penggunaan AI bagi komunitas pendidikan. Pendidikan harus menjadi sarana untuk mengembangkan kesadaran aksiologis yang kuat, di mana nilai-nilai seperti integritas, tanggung jawab, dan empati menjadi landasan untuk mengintegrasikan teknologi AI secara etis dalam proses pembelajaran. Penggunaan AI dalam bidang akademik tidak boleh mengabaikan tujuan utama pendidikan yaitu membentuk generasi yang cerdas secara teknologi dan memiliki kesadaran etika yang kuat untuk menciptakan masyarakat yang adil, inklusif, dan bertanggung jawab.
- Etika AI harus mempertimbangkan beberapa prinsip universal, yaitu: kesejahteraan dan martabat manusia, pengawasan manusia, penanganan bias dan diskriminasi, transparansi dan penjelasan, penghormatan pada privasi dan perlindungan data, sikap inklusivitas dan keragaman, kesehatan bisnis, kebenaran, keadilan social, kecerdasan emosional, dan rasa empati.
- Semua orang dalam dunia pendidikan termasuk pemimpin akademik, pemerintah, konsumen, dan mahasiswa memiliki tanggung jawab besar dalam pemanfaatan AI yang taat etika. Pengembang, pemrogram, dan peneliti memainkan peran penting dalam menciptakan sistem AI yang memprioritaskan hak asasi manusia dan pengawasan, mengatasi bias dan diskriminasi, serta transparan dan dapat dijelaskan. Para pemimpin akademik dan pembuat kebijakan menetapkan kebijakan, hukum, dan peraturan untuk mengatur penggunaan AI yang etis dan melindungi hak-hak individu. Mereka memastikan organisasi mereka mengadopsi prinsip-prinsip AI yang etis sehingga mereka menggunakan AI dengan cara yang positif bagi masyarakat. Organisasi masyarakat sipil perlu mengadvokasi penggunaan AI yang etis, berperan dalam pengawasan, dan memberikan dukungan kepada masyarakat yang terdampak. Institusi akademik berkontribusi melalui pendidikan, penelitian, dan pengembangan pedoman etika. Pengguna akhir dan pengguna yang terdampak, seperti konsumen dan warga negara, memiliki andil dalam memastikan bahwa sistem AI dapat dijelaskan, ditafsirkan, adil, transparan, dan bermanfaat bagi masyarakat. Kebijakan tentang pedoman etika dan pelatihan komprehensif sangat penting untuk memastikan bahwa karyawan memahami etika AI dan dapat bekerja dengan teknologi AI secara bertanggung jawab. Pelatihan juga berfungsi untuk meningkatkan integritas dan efektivitas alat dan solusi AI organisasi. Beberapa program yang harus ditangani oleh para pemimpin akademik diantaranya, deteksi dan mitigasi bias, transparansi dan penjelasan, privasi dan keamanan data.
- Para pendidik dan pemimpin masyarakat dalam pendidikan Islam harus menyikapi masalah etika terkait otoritas dan keaslian konten yang dihasilkan oleh AI. Kolaborasi konkret di antara para cendekiawan, pemimpin, praktisi, dan ahli teknologi sangat penting untuk mengembangkan kebijakan dan pedoman yang memastikan teknologi ini meningkatkan dan bukannya merusak kesucian pendidikan Islam.