SANTRI, NASIONALISME, DAN KEMANDIRIAN

Published by achmad dharmawan on

Hari ini, 22 Oktober 2018 adalah tahun ketiga ditetapkannya Hari Santri Nasional.
Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri Nasional, yang sempat mengundang
kontroversi, akhirnya mereka yang semula “keberatan”, akhirnya bisa mengerti. Karena ini
adalah soal peran sejarah para santri, di bawah komando Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ari, pendiri
organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU).
Geliat dan gairah santri merayakan peringatan ulang tahun ketiga Hari Santri Nasional
semarak di berbagai tempat. Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) menggelar Jawa Tengah
Bershalawat dengan menghadirkan Habib Syekh dan tentu Syekhermanianya, dihadiri Gubernur
Jawa Tengah H. Ganjar Pranowo, dan pengurus MAJT.
Senin, 15/10/2018 saya diundang sebagai salah satu narasumber dalam Halaqah Santri
Kabupaten Kudus di Aula Sekretariat YM3SK, Senin, 15/10/2018, yang menghadirkan Bupati
Kudus Ir. H. Muhammad Tamzil, Pimpinan Ormas, Kakankemenag Kudus, Ketua MUI, Ketua
PCNU, PDM, dan Nusron Wahid. Tema yang diusung pun luar biasa, “Meneguhkan Kudus
Religius dan Modern”.
Santri secara bahasa, berasal dari bahasa Sanskerta, "shastri" yang memiliki akar kata yang
sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. Ada yang
mengatakan berasal dari kata cantrik yang berarti para pembantu begawan atau resi
(id.m.wikipedia.org). Secara umum, santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti
pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga
pendidikannya selesai. Meminjam bahasa sekarang, disebut dengan boarding atau pesantren.
Yang jelas, santri – meskipun dia sudah menjadi alumni — adalah seseorang yang sikap
tawadlu’ dan ta’dhimnya kepada guru atau kyai, tidak pernah luntur, bahkan hingga guru atau
kyainya meninggal dunia pun, masih rajin mendoakannya. Kekhasan santri adalah belajar di
peantren pada kitab kuning atau kitab gundul yang tanpa syakal atau harakat, tinggal di
gotakan, dan segala sesuatunya diurus oleh pondok. Santri senior, biasanya ada yang ditunjuk
menjadi “lurah pondok” dan dalam banyak hal, ini model kaderisasi, seperti Rasulullah saw
kadang-kadang menunjuk Abu Bakr ash-Shiddiq menjadi “badal” imam shalat.
Mengapa ditetapkan Hari Santri Nasional? Tampaknya, Presiden mencermati secara
seksama, bahwa Resolusi Jihad yang dikobarkan oleh KH Hasyim Asy’ari, benar-benar berada
dalam situasi yang sangat genting, demi mempertahankan kemerdekaan yang baru belum
seumur jagung diproklamasikan, tetapi ditentang bahkan kemerdekaan itu ingin dicabik-cabik
lagi oleh Belanda. Ini juga wujud komitmen yang menuntut kegigihan, “kegagahan”, nyali, dan
keberanian serta nasionalisme santri akan betapa pentingnya entitas Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang belum seumur jagung diproklamasikan. Bagi santri, meminjam dari KH
Maemoen Zubeir, komitmen nasionalisme itu adalah PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,
NKRI, dan UUDN 1945). Dalam bahasa anak-anak muda NU sekarang adalah, “Pancasila final,
NKRI harga mati”. Karena inilah negara Darus Salam atau rumah perdamaian yang dibangun
atas dasar Darul ‘Ahdi (perjanjian atau kesepakatan). Karena itu, apapun keadaannya, NKRI

1 Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Tengah, Guru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Walisongo Semarang.

adalah Rumah Kita yang harus dijaga, dirawat, dan uri-uri, dan dipertahankan bersama dari
ancaman yang bisa satang dari mana saja, baik dari dalam maupun dari luar.
Hal ini tidak bisa dipisahkan dari Resolusi Jihad yang dikobarkan KH. Hasyim Asy’ari, kepada
para santri, pengurus NU, dan para Kyai, untuk berjihad mempertahankan Kemerdekaan
Negara Republik Indonesia, 22 Oktober 1945 di Surabaya, guna mencegah tentara kolonial yang
akan kembali menjajah, mengatasnamakan NICA. Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ari menegaskan,
“membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu ‘ain, wajib bagi setiap individu”.
Seruan jihad KH Hasyim Asy’ari ini membakar semangat para santri dan arek-arek Suroboyo
untuk menyerag markas Brigade 49 Mahratta, di bawah komandan Jenderal Aulbertin Walter
Sothern Mallaby. Mallaby akhirnya tewas dalam pertempuran tiga hari berturut-turut, 27, 28,
dan 29 Oktober 1945 bersama lebih dari 2.000 pasukan Inggris lainnya. Inilah yang memantik
komitmen nasionalisme para santri dan warga NU, dan mereka merasa bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) harus dijaga, dipertahankan, dan diperjuangkan sampai titik darah
penghabisan.
Sejak kran reformasi dibuka, ditengarai banyak aliran atau faham yang tidak sejalan dengan
Islam wasathiyah (moderat), apakah itu fundamentalisme kanan di satu sisi, dan
fundamentalisme sekuler di sisi lain, maka komitmen dan semangat Hari Santri Nasional,
diharapkan makin memantapkan komitmen nasionalisme, agar tidak ada pihak-pihak atau
siapapun yang merongrong keutuhan NKRI dan Pancasila. Organisasi kemasyarakatan yang
mengusung gagasan khilafah, secara formal memang sudah dibubarkan, akan tetapi seperti
bahaya laten komunisme, faham ini tentu masih terus menabur mimpi, untuk suatu saat
menjadi kenyataan. Karena itu, model ber-Islam secara wasathiyah atau moderat, sebagaimana
diajarkan oleh Rasulullah saw musyi digaungkan bersama dan disosialisasikan secara
berkelanjutan.
Untuk itu, santri hendaklah mandiri sesuai dengan pembelajaran dan didikan pesantren.
Karena hampir tidak ditemukan, santri yang berkeinginan menjadi pegawai negeri atau bahkan
buruh. Kata bijak (mahfudhat) yang dipedomani adalah “al-I’timad ‘ala n-nafsi asas an-najah”
artinya “berpegang pada (kemampuan) diri sendiri adalah dasar keberuntungan”. Soal urusan
kemandirian santri, tidak perlu diragukan lagi.
Bahwa kemudian ada kepala daerah yang memiliki kepedulian yang tinggi, untuk lebih bisa
menciptakan wirausahawan muda santri, tentu merupakan sikap, langkah, dan kebijakan politik
yang perlu didukung. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh Bupati Kudus, Ir. H. M. Tamzil, MT,
MM, pada bulan November 2018 ini akan mengungkit dan mengangkat santri-santri yang
memiliki skill dan passion menjadi wirausaha muda, untuk diprospek dan difasilitasi menjadi
pengusaha UMKM.
Mereka perlu dibangunkan bridge atau jembatan guna memantik dan mendongkrak jiwa
mandiri para santri, agar mampu bangkit, berkembang, dan pada saatnya akan menyerap
tenaga kerja yang banyak dan padat karya, tugas kepala daerah atau siapapun yang bisa
memberikan atau setidaknya menunjukkan jalan akses ke perbankan atau lembaga keuangan
syariah lainnya, agar sektor ekonomi riil kota juga makin kokoh. Insyaa Allah.
Selamat Hari Santri Nasional ke-3, demi keutuhan NKRI Harga Mati, dan Pancasila adalah
final. Allah waliyy at-taufiq ila sabili l-haqq. Allah a’lam bi sh-shawab.

Silahkan Hubungi Kami