DPRD KOTA MALANG YANG “MALANG”?: PELAJARAN MAHAL

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Mendapatkan postingan dari CNN-Indonesia dengan judul “DPRD Kota Malang Tersisa 4
Anggota, 41 Orang Tersangka KPK” (Senin, 03/09/2018, jam 19.04) sebenarnya “tidak kaget”
juga. Anggap saja ini lagi giliran “apes”nya para anggota DPRD Kota Malang yang lagi “malang”
nasibnya. Apakah saya suudhan kepada “semua” anggota DPRD juga demikian? Suudhan tidak
dibenarkan oleh ajaran agama dan budi pekerti kita.
Apakah ini hanya terjadi di Kota Malang saja? Atau sebenarnya yang lain juga “senada”?
Hanya belum tersentuh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau yang lain sedang
menunggu “giliran” saja? Tentu jawabannya bisa ya bisa tidak? Apakah mereka salah? Tentu
untuk membuktikan bahwa mereka yang sudah dijadikan tersangka oleh KPK, pengadilan yang
akan membuktikannya. Biasanya apabila KPK sudah menetapkan seseorang menjadi tersangka,
setidaknya sudah ada dua alat bukti yang cukup kuat, bahwa dia melakukan kesalahan atau
perbuatan melawan hukum.
Memang ini cukup fenomenal dan bahkan “kolosal”. Bayangkan, dari 45 orang anggota
dewan, 41 orang ditetapkan menjadi tersangka. Berarti 90 persen. Hanya tersisa 4 orang.
Apakah kemudian sebanyak 41 orang ini, akan digantikan oleh pengumpul suara pemilu
terbanyak berikutnya di daerah pilihan (dapil) masing-masing? Dan mereka secara serentak
akan dilantik menjadi anggota DPRD baru antar waktu, begitu 41 orang anggota dewan
dinyatakan statusnya menjadi terdakwa.
Sepertinya belum punya aturan khusus apabila terdapat kasus seperti dialami DPRD Kota
Malang, yang sunggguh “malang” nasibnya. Menurut informasi ini ada kaitan dengan walikota
yang sudah dinyatakan sebagai tersangka terlebih dahulu.
Saudaraku, di media ini, saya sudah pernah menulis, bahwa fenomena korupsi di negeri kita
ini, tampaknya makin hari tidak makin berkurang. Seakan-akan kehadiran KPK ini, sama sekali
tidak ada korelasinya dalam menurunkan angka korupsi. Atau jangan-jangan sudah dirubah
paradigma pemikirannya, supaya KPK mempunyai kesibukan. Tentu ini bisa dirasakan sebagai
“olok-olok” dan mudah-mudahan, memang kehadiran KPK membawa perbaikan bagi makin
suburnya “budaya” korupsi di negeri ini.
Jika belum lama ini, Aceh yang dikenal sebagai serambi Mekah, kasus korupsi ini melabrak
gubernurnya, beberapa tahun sebelumnya juga menyasar pada seorang oknum Ketua DPRD
yang oleh masyarakatnya dikenal sebagai seorang Kyai yang “sangat dihormati” di wilayah
hukum Jawa Timur.
Kasus korupsi tersebut, mengingatkan kita pada dalilnya Lord Acton, the power tend to
corrupt and the absolut power tend to corrupt absolutely. Artinya “kekuasaan itu cenderung
merusak (korup) dan kekuasaan yang absolut maka cenderung merusak (korup) secara absolut
juga”.
Pertanyaannya adalah, apakah ada kekuasaan didunia ini yang bisa selamat dari korupsi?
Jawabannya tentu ada. Setidaknya kita bisa menyebut, khalifah Umar bin al-Khaththab ra dan
khalifah Umar bin Abdul Aziz ra yang sangat terkenal itu. Meskipun tidak bisa juga disimpulkan,
bahwa khalifah selain dua orang tersebut tidak bersih atau melakukan korupsi. Kita musti hati-
hati, menyimpulkan. Kesimpulan tanpa data akurat, akan dapat menimbulkan kebohongan dan
fitnah.

Saudaraku, dalam perspektif pemikiran politik Islam dikenal lembaga ahlu l-halli wa l-‘aqdi
atau lembaga yang bertugas mengurai dan mengikat. Lembaga DPRD atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah bisa juga disebut sebagai lembaga ahlu l-halli wa l-‘aqdi. Tugas utamanya adalah
budgeting dan pengawasan, selain tugas legislasi sebagai tugas pokoknya. Soal kewenangan
memilih, mengangkat, dan memberhentikan walikota, bupati, atau gubernur untuk tingkat
provinsi, tidak mudah, karena gubernur, walikota, dan bupati, dipilih oleh rakyat secara
langsung.
Para anggota DPRD dipilih langsung oleh rakyat. Konsekuensinya, biaya yang harus
dikeluarkan untuk memenangi “kursi” di DPRD ini, membutuhkan biaya yang sangat banyak.
Untuk ukuran Kota Malang, tentu tidak bisa dibilang kecil. Bayangkan saja, di daerah kabupaten
di Jawa Tengah, seorang calon anggota DPRD bisa menghabiskan biaya hingga 1,5 milyar
rupiah. Mulai dari “mahar” politik. Mudah-mudahan ini tidak benar adanya. Setelah ada
“mahar” disambung, biaya saksi di tempat pemungutan suara (TPS), “biaya walimah” politik,
ketika seseorang memenangi dan lolos menjadi anggota DPRD. Masih ada “nafkah politik” dan
biaya-biaya komunikasi dan pembinaan konstituen. Yang terakhir ini, tampaknya sudah dicover
oleh anggaran resmi dari APBD.
Dalam rumus dagang, tentu seseorang berfikir break event point (BEP) dalam bahasa
kampung, balik modal. Kecuali bagi yang sudah menjadi pengusaha terdahulu, boleh jadi relatif
aman. Bagi mereka yang maaf “tujuannya” adalah mendapatkan “pekerjaan” maka secara
ekonomi, tidak mudah untuk mengembalikan modal, jika dihitung dari pendapatan riil sesuai
norma dan regulasi yang ada. Boleh jadi dari “kenyataan” demikian itulah, maka berkembang
atau boleh jadi “dikembangkan” model “kemitraan” yang saling “menguntungkan” antara
pihak-pihak yang bersinggungan dengan pengelolaan anggaran.
Ini juga mengingatkan kita pada kalimat pejabat struktural di KPK, bahwa KPK “tidur saja”
sudah bisa melakukan OTT pada para oknum pelaku korupsi. Karena sesungguhnya “modus
operandi”-nya sudah bisa dihafal di luar kepala. Apalagi jika berkaitan dengan jabatan kepala
daerah, yang untuk sampai pada menduduki “kursi panas” bupati, walikota, gubernur,
membutuhkan biaya yang sangat besar.
Saudaraku, kerjasama kemitraan (simbiotik-mutualistik) yang sama-sama saling
menguntungkan antara lembaga legislatif dan eksekutif mutlak diperlukan. Tanpa kerjasama
yang padu, tata kelola pemerintahan yang membutuhkan anggaran, yang kewenangan
budgetingnya berada di lembaga legislatif, tidak bisa berjalan dengan baik. Namun kerjasama
ini, semestinya tidak dimanfaatkan untuk menyalahgunakan komitmen dan kerjasama untuk
kepentingan di luar aturan yang ada. Di era yang serba terbuka, apalagi KPK memang diberi
kewenangan untuk menyadap telpon dan atau alat komunikasi secanggih apapun, maka
penyimpangan akan dengan mudah dipantau.
Ini baru pada sisi dunia informasi dan telekomunikasi. Soal pertanggungjawaban mereka
kepada Allah, tentu mereka faham. Bahwa mereka sedang lupa, kewajiban kita semua
mengingatkannya sesuai kapasitas dan lokalitas kita masing-masing. Masih menyisakan
pertanyaan besar, mengapa bisa sedemikian dramatik dan kolosal “gerakan” atau “budaya”
korupsi di Kota Malang — bagian dari negeri kita — yang “malang”? Mudah-mudahan
kekhawatiran saya bahwa korupsi di negeri ini laksana “fenomena gunung es” tidak benar
adanya. Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.

Tsarawat Zamzam, Mekah, 4/9/2018.

Silahkan Hubungi Kami