TAHUN POLITIK: MENCARI PEMIMPIN ATAU PENGUASA

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Alhamdu Lillah wa sy-syukru liLlah. Mari kita nyatakan syukur kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya karena anugrah dan karunia-Nya, kita dapat memulai aktifitas hari ini dalam sehat afiat dan menjalankan tugas sebagai hamba-Nya. Semoga semua urusan kita bermakna bagi perjalanan hidup panjang kita menuju “keabadian”.
Shalawat dan salam mari kita wiridkan untuk Baginda Rasulullah Muhammad saw, semoga kasih sayang Allah SWT meluber kepada keluarga, sahabat, dan pengikut beliau. Semoga kelak di akhirat, kita dipayungi syafaat beliau.
Saudaraku, satu hari lagi, kita akan memasuki tahun 2018. Tahun politik, kata banyak orang. Ini karena pada tahun ini, akan digelar pilkada di beberapa provinsi di Indonesia ini.
Provinsi Jawa Tengah, tanggal 8 Januari 2018 adalah pendaftaran calon gubernur-wakil gubernur dan calon bupati-wakil bupati/walikota-wakil walikota untuk tujuh daerah.
Rilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan, pemungutan suara pilkada serentak 2018 di 171 daerah digelar 27 Juni. Ini adalah pilkada serentak gelombang ketiga yang memilih kepala daerah di 17 provinsi serta 154 kabupaten dan kota. Pada 2017 sudah berlangsung pemilihan di 101 daerah dan pada 2015 berlangsung di 269 daerah. Tiga provinsi dengan jumlah penduduk ”gemuk”, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, juga akan memilih kepala daerah pada pilkada gelombang ketiga ini (jakarta.kompas.com).
Pemilukada atau pilkada yang sudah berlalu, menyiasakan “rumor sarkastik”, apa bedanya pilkada dan pil-KB? Rumor ini sering disampaikan Almarhum KH Hasyim Muzadi (Allahumma yarhamhu), “pilkada itu kalau jadi, lupa. Kalau pil-KB itu, jika lupa, jadi”. Maksudnya, pilkada selesai, calon kepala daerah yang sebelumnya rajin blusukan dan silaturrahim, begitu jadi kepala daerah, lupa pada warga dan konstituennya. Sementara dalam pil-KB, kalau lupa “meminjmnya” sesuai jadual waktunya, maka akan jadi. Alias, rencana program keluarga berencana (KB)-nya, gagal, karena tetap jadi (anaknya).
Saudaraku bahasa regulasi menyebutnya kepala daerah. Bukan pemimpin dan juga bukan penguasa. Akan tetapi ini adalah urusan politik, yang dalam bahasa Inggrisnya power, maka pengartiannya menjadi kekuasaan. Dalam terminologi politik Islam, dikenal beberapa istilah, ada imamah, imarah, dan khilafah. Imamah lebih bermakna kepemimpinan, imarah biasa diartikan jabatan pemerintahan, dan khilafah makna dasarnya adalah “pimpinan pengganti”. Kata khalifah berasal dari kata khalfun, bisa berarti belakang, atau pengganti. Dulu, ketika Abu Bakar ash-Shiddiq terpilih dalam persidangan yang cukup alot di Tsaqifah Bani Sa’idah, adalah sebagai khalifatu (pengganti) RasuliLlah saw. Setelah itu ‘Umar bin al-Khaththab ra dipilih dan diangkat sebagai khalifatu khalifati RasuliLlah saw. Karena jika diteruskan menjadi panjang, maka ‘Umar bin al-Khaththab ra menggantinya dengan sebutan amiru l-mu’minim atau pejabat (yang mengurus) urusan orang-orang yang beriman.
Dalam imarah pemimpinnya disebut amir bentuk jamaknya umara’, dalam imamah pemimpinnya imam, dan dalam khilafah, pemimpinnya disebut dengan khalifah.
Abu al-Hasan al-Mawardy dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah menyatakan:
الامامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا

“Kepemimpinan diletakkan sebagai pengganti tugas-tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia”.
Jika merefer pada kutipan di atas, maka menjadi pemimpin atau kepala daerah itu, sesungguhnya tugasnya berat baik dalam kontek proses mendudukinya maupun ketika sudah berada di kursi jabagan, yang lebih sering disebut sebagai kekuasaan. Pertama, mungkin memang niatan para calon untuk menduduki jabatan tersebut, lebih pada konteks kekuasaan, katimbang sebagai amanah. Maka Abu al-Hasan al-Mawardy menentukan kriteria dan kualifikasi sebagai pihak yang akan dipilih (اهل الاختيار) itu memiliki kemampuan lebih daripada rakyatnya. Apalagi dalam pemilihan secara langsung dengan model one man one vote. Karena dalam pandangan Al-Mawardy, lembaga pemilih (اهل الحل والعقد) tentu kualifikasinya lebih tinggi.
Namun anehnya, dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU, dinyatakan: Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;b. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat; Pada poin c tersebut, menjadi kontradiksi dengan misalnya saja, profesi guru. Untuk menjadi guru SD atau MI saja harus memiliki ijazah Sarjana (S1).
Dalam Pasal 8 UU No 14/2015 tentang Guru dan Dosen, ditegaskan bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam penjelasannya disebutkan,
kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan atau sertifikasi keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain memiliki kualifikasi akademik seorang guru juga harus memiliki beberapa kompetensi, kompetensi tersebut yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional seperti yang dijelaskan dalam pasal 10 ayat 1.
Selanjutnya dalam pasal 9 ditegaskan kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Pasal 9 undang undang ini, mensyaratkan untuk menjadi guru minimal berijazah sarjana (S1) atau diploma empat (D4), dengan tidak membedakan apakah itu guru SD, guru SMP atau guru pada jenjang pendidikan menengah.
Kutipan di atas menunjukkan adanya kualifikasi calon kepala daerah yang setidaknya harus berpendidikan sarjana atau diploma 4, agar supaya tidak lebih rendah daripada kualifikasi guru SD. Kalaupun bisa difahami bahwa tidak selalu berbanding lurus antara strata pendidikan S1 atau D4 dengan keterampilan manajerial sebagai pemimpin atau kepala daerah, tetapi ini akan terasa ganjil. Belum lagi pertanyaan, apakah tingkat pendidikan ini berkorelasi dengan integritas pribadi atau akhlaqul karimah seorang kepala daerah, memang harus diteliti dan diuji di dunia empirik.
Saudaraku, kita membutuhkan kepala daerah seperti halnya memilih “imam shalat” atau ibadah menurut agama lain. Jika imam shalat dipilih dari yang berilmu (‘alim), memahami fiqh (faqih), berhati-hati hidupnya (wira’i), dan “matang” atau “dewasa secara politik”, karena menjadi pemimpin, selain harus melayani, mensejahterakan, dan mengayomi rakyatnya, juga idealnya menjadi pemimpin adalah juga menjadi panutan (qudwah hasanah). Karena bangsa ini sangat banyak orang pintar, akan tetapi tidak banyak atau bahkan sulit mencari panutan dan teladan dari para pemimpin. Berapa banyak “oknum” para pejabat negeri ini yang “disekolahkan” di lembaga pemasyarakatan, karena integritas pribadinya meskipun gaji, fasilitas berlebih, masih juga banyak yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK.
Bukan berarti tidak ada kepala daerah yang baik. Hanya saja, apakah karena selamat dari OTT ini, karena memang cara bekerjanya taat asas dan aturan, ataukah sebenarnya sama saja, akan tetapi belum ada yang melaporkannya ke KPK, tentu kita sebagai warga negara dan masyarakat, tidak boleh berburuk sangka (suudhdhan). Janhankan kita, KPK dan aparat penegak hukum saja, harus tunduk pada asas presumption of innocence (asas prasuga tak bersalah).
Saudaraku, dulu pada zaman Rasulullah saw, beliau sangat tegas wanti-wanti pada pengikut beliau:
عَنْ أَبي سَعِيدٍ عَبْدِ الرَّحمنِ بنِ سُمرةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ بنَ سمرةَ لا تَسْأَلِ الإِمَارَةَ ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا ، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا ، وَإِذَا حَلَفْتَ عَلى يَمينٍ فَرَأَيْتَ خَيْراً مِنْهَا ، فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمينِكَ » . أخرجه الشيخان
Dari Abi Said ‘Abdirrahman bin Samurah ra berkata, Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, maka sesungguhnya kamu jika diberi jabagan tanpa meminta, kamu ditolongnya, dan apabila kamu diberi jabagan karena meminta, kamu terbebani karenanya. Dan jkka kamu bersumpah dengan ucapan sumpah, maka kamu melihat yang lebih baik dari itu, maka eri yang dia itu lebih baik, dan hapuslah dari sumpahmu” (Riwayat al-Syaikhan, al-Bukhari dan Muslim).
Dalam pesan yang lain kepada Abu Dzarr ra, Rasulullah saw bersabda:
وَعَنْ أَبي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ أَلا تَسْتَعمِلني ؟ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلى مِنْكَبي ، ثُمَّ قَالَ : « يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ ، وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا » .
Dari Abu Dzarr ra. berkata, aku bertanya : “Wahai Rasulullah saw, apakah tidak Engkau pekerjakan aku? Maka Beliau memukulkan tangan beliau di pundakku, kemudian bersabda: “Wahai Abu Dzarr, sungguh kamu itu lemah, dan sesungguhnya (jabatan) itu adalah amanah, dan jabagan itu di hari kiamat kelak adalah aib dan penyesalan, kecuali bahi orang yang mengambilnya secara benar dan memenuhinya apa yang baginya ada urusan di dalamnya” (Riwayat Muslim).
Saudaraku, tidak boleh meminta jabatan itu pada zaman Rasulullah saw. Dalam sistem yang sekarang, jabatan itu cenderung diperebutkan dan dipertarungkan. Baik perebutan mendapatkan rekomendasi pimpinan partai dengan rival kolega partainya sendiri yang tidak jarang justru diberikan kepada orang lain yang tidak kader partai. Setelah itu, pertarungan dengan pasangan calon dari partai lain. Diawali dari paparan visi, misi, dan program, hingga kampanye, dan saat-saat pelaksanaan pemungutan suara di TPS, sampai pertarungan saksi di TPS, hingga penghitungan suara di KPU?
Saudaraku, pada saat memilih nanti, Anda perlu berfikir dengan sangat jernih untuk dapat memberikan suara pilihan Anda sosok yang benar-benar diyakini mampu menjadi pemimpin yang kompeten dan amanah. Kalau bisa hindari yang memiliki anggapan bahwa jabatan itu adalah kekuasaan. Karena tampaknya ungkapan Lord Acton masih berlaku: “the power tend to corrupt and the absolute power tend to corrupt absolutely”. Artinya “kekuasaan itu cenderung korupsi atau merusak, dan kekuasaan yang absolut itu cenderung korupsi atau merusak secara absolut”. Semoga saja ini tidak berlaku lagi.
Mengakhiri renungan ini, Anda jangan salah pilih pemimpin, karena di tangan pemimpin itu, nasib Anda, warga masyarakat dan bangsa Indonesia ini, lima tahun ke depan, akan menjadi pertaruhan. Apakah mereka akan menjadi tuan atau jadi “hamba nestapa” di negerinya sendiri? Karena “الناس على دين ملوكهم” artinya “manusia (akan menanggung risiko) atas agama (atau program, rencana, obsesi) raja atau pimpinan mereka”.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.

Silahkan Hubungi Kami