WAYANG DAN SPIRIT KE-BHINNEKA-AN UNTUK INDONESIA DAMAI YANG BERMARTABAT

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
       Mari kita syukuri nikmat dan karunia Allah, pagi ini kita sehat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita, ada yang upacara memperingati hari Kesaktian Pancasila, dan kegiatan lainnya. Mari kita niatkan sebagai ibadah kita kepada Allah, melengkapi ibadah ritual (mahdlah) kita, agar nilai dan jati diri kita sebagai manusia, menjadi yang terbaik. Kita akan menjadi manusia yang terbaik, apabila kita mampu berbuat yang bermanfaat bagi orang lain.
       Shalawat dan salam mari kita wiridkan, mengiringi shalawat Allah dan para Malaikat pada Nabi Muhammad Rasulullah saw. Semoga keselamatan dan kebahagiaan selalu menyertai perjalanan panjang hidup kita menuju keabadian dan ridla Ilahi.
       Saudaraku, semalam saya mendapat kehormatan diundang sebagai nara sumber atas nama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, mendampingi Dalang Kondang Ki Warseno Slenk, yang “ditanggap” oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI, bekerjasama dengan Komisi 1 DPR RI, cq. Ibu Tuti Roosdiono. Tempat pagelaran wayang di Lapangan Desa Ngareanak, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal.
        Hadir di acara tersebut, Staf Khusus Menteri Prof Hendri, ketua Ikatan Alumni UIN Walisongo, Drs. H. Lukman Hakim, M.Si. dan KRT Prabu Punta Djajanagara bersama KRA Erma Dinar, dan beberapa pejabat lainnya. Lakon yang diusung adalah Wahyu Tri Bawono, dan tema besar yang dibawa adalah “Spirit Ke-Bhinneka-an untuk Indonesia Damai dan Bermartabat”.
       Para Ulama dan Walisongo sangat bijak dan cerdas, menggunakan wayang yang sudah menjadi Budaya Jawa yang adiluhung, untuk menyampaikan pesan dan dakwah melalui wayang. Wayang kulit, ini pun, konon diformat setelah ada “fatwa” Ulama, bahwa dalam Islam dianjurkan untuk tidak menggunakan wayang yang tiga atau empat dimensi. Bahasa-bahasa yang digunakan pun menggunakan bahasa yang sangat halus, “sanepo”, bahasa “majazi” atau kiasan,  “isti’arah” atau pinjaman. Ini dimaksudkan untuk melaksanakan pesan Rasulullah saw, bahwa dalam mengajak orang lain, harus menggunakan bahasa yang halus, santun, dan tidak konfrontatif.
       Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl: 125).
      Menurut Hari Ananto (2012), wayang ini menyimpan banyak nilai kearifan lokal (local wisdom). Gunungan, misalnya, merupakan simbol kehidupan. Gambar gunungan melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan alam lingkungan.
         Bentuk segi lima, mengandung makna Shalat lima waktu yang menjadi kewajiban manusia, agar komunikasi dengan Yang Maha Kuasa tetap terjalin, agar manusia tidak mengalami sesat jalan, tetapi senantiasa berada pada rel dan jalan yag lurus (al-shirath al-mustaqim). Shalat merupakan tiang agama, yang menjalankannya berarti menjaga agama, dan yang meninggalkannya, berarti ia merobohkan agama.
Bentuk gunungan meruncing ke atas, menggambarkan bahwa manusia diciptakan untuk hidup di dunia ini, adalah untuk beribadah menuju yang di atas yaitu Allah SWT.
       Gambar pohon dalam gunungan menunjukkan bahwa Allah menjamin kehidupan manusia di dunia.  Beberapa jenis hewan yang berada didalamnya melambangkan sifat, tingkah laku dan watak yang dimiliki oleh setiap orang. Karena itu, agar perjalanan manusia selamat sampai tujuan, dipandu oleh wahyu tri bawono, wahyu yang mengatur tiga dunia. Bawono sebagai realitas dunia jagad rame, yang musti diisi oleh dunia spiritual atau jagad ngelmu, agar mampu mendapatkan hidup kelak bahagia, damai, dan sejahtera.
       Sebagai bangsa Indonesia, kita musti harus senantiasa bersyukur, karena Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, telah menempatkan “irisan surga” di negeri kita ini. Negeri yang dilewati garis Katulistiwa, dengan empat musim, dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan suku, etnis, bahasa, agama, adat istiadat, dan kebhinnekaan lainnya, yang merupakan khazanah kekayaan yang luar biasa, dan tidak dimiliki oleh bangsa lain.
       Bangsa Indonesia sudah sejak dahulu kala dikenal sebagai bangsa yang santun, guyub, rukun, dan tidak suka permusuhan. Bahasa dan nilai filosofinya sangat tinggi. Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dalam kehidupan modern, digital, dan media sosial, yang sapat menggerus budaya, nilai, dan kearifan lokal tersebut.
      Ungkapan “menang tanpo ngasorake, ngluruk tanpo bolo” artinya “menang tanpa merendahkan, melabrak tanpa banyak rombongan pasukan” adalah perlambang bijak. Karena itu, dalam kelengkapan busana Jawa, keris dalam rangka atau “sarung” dan diselipkan di punggung, adalah bentuk kewaspadaan. Hanya kadang menyisakan, keyakinan yang tidak tepat pada keris. Maka benda budaya, lalu dinilai sebagai “penyebab syirik” atau “menyekutukan Tuhan”.
       Saudaraku, ke-Bhinneka-an adalah bagian dari kehendak Allah. Dari ke-Bhinneka-an itu, kita dapat merasakan dan menikmati keindahannya. Bunyi gamelan atau musik wayang, pasti terdiri dari berbagai alat musik, yang nama dan bunyinya pun berbeda-beda. Dengan kebersamaan, kekompakan, kerjasama yang padu, saling memahami posisi, ritme, dan alunan bunyinya, di bawah panduan Ki Dalang, atau “imam” dalam shalat, maka mampu menghasilkan alunan yang gamel atau jamil (indah). Maka gamelan pun menjadi jamilan, indah.
       Allah SWT sengaja menciptakan kemajemukan atau kebhinnekaan ini. Dari kebhinnekaan itu, akan melahirkan keindahan dan keharmonisan. Kalau tunggal tentu tidak akan muncul kata harmoni. Keharmonisan inilah modal negara Indonesia ini damai dan bermartabat. Kata bijak bestari para leluhur menegaskan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Anehnya, bangsa Indonesia dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila dan UUD 1945, dan ke-Bhinneka-annya, yang damai, harmonis, dan guyub rukun, sering membuat iri bangsa lain.
       Jadinya, banyak pihak yang mencoba mengobok-obok, agar bangsa ini pecah, berantakan, dan kacau balau. Sejak reformasi, banyak faham-faham agama yang radikal, aliran-aliran yang cenderung ingin serba cepat mewujudkan keinginannya, bahkan ingin mengganti dasar negara, dan juga muncul kelompok separatis yang meoncoba memidahkan diri dari NKRI.
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ.  إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
 هود ١١٨-١١٩.
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan “sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya” (QS. Hud: 118-119).
       Karena itulah, mari kita syukuri ke-Bhinneka-an yang kita bangsa Indonesia miliki, termasuk budaya wayang. Kita ikuti “filosofi” — maaf pada yang sering melakonkan —  Petruk Baging Nolo Gareng yang konon oleh para Ulama adalah pesan penting dari “Fatruk Baghaa Naala Khairan” atau “فاترك بغى نال خيرا ” artinya “tinggalkanlah perilaku lacut (melanggar aturan) maka kamu akan memperoleh kebaikan”.
       Mari kita rawat dan jaga ke-Bhinneka-an kita untuk menjaga kelestarian Indonesia yang damai, dan dari situlah kita menjadi negara dan bangsa Indinesia yang bermartabat. Insyaa Allah kita layak menggantung harapan, terwujudnya negeri yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
       Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan Semarang, 1/10/2017.

Silahkan Hubungi Kami