IDUL FITRI DAN “KEMENANGAN” SEMUA

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
      Saudaraku, mari kita syukuri anugrah dan karunia Allah ‘Azza wa Jalla. Allah yang telah menolong kita, kita sehat afiat, dan bisa menikmati kebahagiaan ber-Idul Fitri, berkunjung kepada orang tua, baik yang masih hidup atau yang sudah di alam barzakh, sanak keluarga, dan para sesepuh. Semoga pengalaman silaturrahim, yang dijanjikan akan memudahkan rizqi dan menambah panjang umur kita, akan bermakna bagi hidup kita.
Shalawat dan salam mari kita terus senandungkan peada Baginda Rasulullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para pengikut setia beliau.
      Saudaraku, idul fitri identik dengan kemenangan. Tentu kemenangan ini hanya pantas disandang oleh orang-orang yang berpuasa, dengan penuh keimanan dan introspeksi diri (muhasabah). Karena Allah membersihkan dan menghapus semua dosa kita yang telah lalu. Demikian penegasan Raaulullah saw.
     Idealnya, kemenangan dan kembalinya kita yang berpuasa kepada fitrah ini, yang benar-benar menjadi pemenang sejati siapa? Apakah mereka yang warga biasa, ataukah para pejabat yang secara sosio-yuridis mempunyai jabatan tertentu strategis yang tutur katanya adalah laksana “titah sang raja” dan tulisan – baca diaposisinya – akan menentukan “karir” seseorang yang menjadi anak. buahnya, dan berubahnya keadaan di negeri ini?
      Dalam teori sosiologi, dinyatakan “الناس على دين ملوكهم” artinya “manusia (rakyat) itu (mengikuti) pada agama (rencana, visi) raja mereka”. Seorang raja, presiden, gubernur, bupati, atau walikota, akan sangat menentukan nasib dan kemajuan rakyat dan negara. Pemimpin yang baik, akan menjadi jaminan warganya menjadi baik, sebaliknya, jika pemimpinnya brengsek, maka rakyatnya juga akan mendapat dampak negatifnya.
       Muhammad al-Amin asy-Syanqithi (dalam Adlwa’ al-Bayan, 1/67) menjelaskan, “Pemimpin haruslah seorang yang memiliki kompetwnai (kemampuan) menjadi Qadli (hakim) bagi rakyatnya. Idealnya ia seorang yang alim dan mujtahid. Dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi,  tidak perlu meminta fatwa kepada orang lain, terutama dalam memecahkan kasus-kasus yang dihadapi dan ditunggu solusinya oleh masyarakat”.
       Analoginya seperti imam dalam jamaah shalat. Ia dipilih dari orang yang berilmu, faham ilmu fiqh, hidupnya hati-hati (wira’i) tidak mudah menjalankan yang makruh, apalagi yang haram, dan orang yang lebih “senior” yang integritas moralnya sudah teruji. Jika ini yang dipraktikkan, boleh jadi tidak mudah atau bahkan nyaris tidak terpenuhi, karena kita menyaksikan bahwa ketika seseorang mendapat kesempatan menjadi pejabat politik, yang oleh masyarakat sudah dipandang Kyai atau Ulama pun, tidak sedikit yang tidak tahan godaan. Akhirnya korupsi juga, kena OTT alias operasi tangkap tangan lagi.
       Saudaraku, kita doakan saudara kita yang berkesempatan diamanati rakyat menjadi pemimpin dan pejabat politik, baik itu di legislatif, eksekutif, bahkan termasuk di yudikatif, dapat menjaga dirinya dari serbuan godaan yang setiap saat memperangkap ke dalam kubangan korupsi, yang sekaligus menghabisi karir politik.
       Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga extra ordinary untuk menangani extra ordinary crime, kita harapkan masih akan eksis tetapi juga menunjukkan dan berkomitmen menjalankan tugasnya dengan adil, tidak tebang pilih, dan menempatkan semua pelaku korupsi sama di depan hukum.
       Kalau beberapa bulan terakhir, ramai soal hak angket DPR RI dan mendapat “perlawanan” dari masyarakat termasuk di dalamnya ada setengah jutaan guru besar di negeri ini, karena boleh jadi terkait dengan kasus e-ktp, yang mengusik beberapa “politisi” di senayan, yang karena itu “perlu pembelajaran” dan di sisi lain, KPK masih diharapkan terus mengungkap dan membersihkan kasus-kasus korupsi di negeri ini. Mereka yang tidak ikut secara demonstratif melawan, bukan berarti mereka mendukung “didegradasikannya” KPK, akan tetapi tampaknya mereka ingin KPK profesional dan adil, tanpa ada tebang pilih. Apalagi yang oleh lembaga auditor negara sudah dinyatakan dalam public expose sudah dinyatakan merugikan negara.
      Saudaraku, apa kaitannya Idul Fitri dengan kemenangan semua, kok tiba-tiba belok ke soal penegakan hukum. Substansi pesan idul fitri, adalah kembalinya manusia pada jatidiri yang sesungguhnya, yang menurut Ibnu Sina dalam al-Isyarat wa t-Tanbihat, bahwa fitrah adalah keadaan ketika seseorang hanya berada dalam suasana benar, baik, dan indah. Ia berangan-angan, bercita-cita, bersikap, berturur kata, dan bertindak hanya pada tiga dasar fundamental tersebut, yakni : benar, baik, dan indah.
      Semua orang menurut Al-Qur’an menerima mandat sesuai kompetensi, profesi, dan kapasitas masing-masing untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak, dan menegakkan hukum secara adil. Penegakan hukum tidak hanya menjadi komitmen dan tanggung jawab aparat penegak hukum saja. Jika kita ingin membangun budaya hukum secara amanah dan adil, maka masyarakat sebagai subyek hukum juga harus berkomitme pada keadilan dan praktik hukum yang adil. Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
“Sesungguhnya Allah memerintah kamu sekalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak, dan apabila memutuskan hukum di antara manusia, agar memutuskannya secara adil. Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi nasehat pada kamu dengan adil, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa: 58).
       Ayat tersebut menegaskan pada kita dengan gamblang, bahwa soal menjalankan amanat dan penegakan atau menjalankan hukum secara adil, adalah kunci utama agar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dapat berjalan dengan baik. Masyarakat akan sulit memiliki budaya hukum yang amanah dan adil, selama aparat di manapun berada tidak memiliki komitmen yang sama.  Demikian juga sebaliknya, aparat tidak bisa berbudaya amanah dan adil, manakala masyarakat masih mengajak main-main dalam soal keadilan. Jadi harus ada kerjasama secara simbiotik-mutualistik dan antara seluruh komponen masyarakat dan aparat penegak hukum, baik pada level substansi, struktur, maupun budaya hukumnya harus berjalan secara sinergis.
       Mengakhiri renungan ini, mari kita cermati pesan Rasulullah saw, bahwa tegaknya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, perlu dinergi empat pilar:
قوام الدنيا بأربعة أشياء : علم العلماء , وعدل الأمراء , وسخاء الأغنياء , ودعاء الفقراء , فلولا علم العلماء لهلك الجاهلون , ولولا عدل الأمراء لأكل الناس بعضهم بعضاً , ولولا سخاء الأغنياء لهلك الفقراء , ولولا دعاء الفقراء لهلك الأغنياء .. فأيّ الفرقاء أهمّ بنظرك .؟
“Tegaknya dunia dengan empat hal: ilmu Ulama, pemerintah yang adil, kedermawanan orang kaya, dan doa orang-orang fakir. Maka sekiranya tidak ada ilmu Ulama, sungguh akan rusak orang-orang bodoh, sekiranya tidak ada keadilan para pemimpin atau pejabat pemerintahan, sungguh manusia akan saling memakan — atau memangsa — antara sebagian atas sebagian yang lainnya, dan sekiranya tidak ada doa orang-orang fakir, sungguh akan rusak orang-orang kaya. Lalu kelompok mana yang paling penting dalam pandangan Anda?”
       Saudaraku, mumpung kita semua masih fitri, suci, dan kemenangan kita masih membara di dalam hati sanubari kita, maka mari kita gunakan energi dan kekuatan besar ini, untuk menorehkan lukisan indah dalam mengisi sejarah hidup kita sebagai warga bangsa, warga masyarakat, dan warga negara, semoga kita mampu membangun negeri ini menuju terwujudnya baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Kita sangat merindukan negara kita adil dan makmur, damai, dan sejahtera. Semoga Allah senantiasa menunjukkan jalan kebenaran dan meridlai ikhtiar kita bersama.
ان اريد الا الاصلاح ما استطعت وما توفيقي الا بالله لا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Semarang, 28/6/2017.
Categories:

Silahkan Hubungi Kami