PELAJARAN “SANGAT MAHAL” DARI PILKADA DKI JAKARTA

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
      Saudaraku, mari kita syukuri anugrah dan inayah Allah yang tak terhingga. Hanya karena anugrah dan inayah-Nya, kita sehat wal afiat, dapat menghirup udara segar dan memulai aktivitas kita untuk mengisi hidup kita sebagai bagian pengabdian kepada Allah, menjadi hamba yang pandai bersyukur.
       Shalawat dan salam mari kita senandungkan pada Rasulullah saw, keluarga, dan para sahabat. Semoga kita semua sebagai umat beliau, akan mendapat pengayoman Allah melalui syafaat beliau. Semoga hati kita makin baik, makin bersih, dan sensitif terhadap kebaikan untuk mengikutinya, dan terhadap keburukan untuk menghindarinya.
       Versi hitung cepat ynag dilakukan oleh semua lembaga survey mengumumkan, Pasangan Calon Anis-Sandi memenangi pilkada tahap ke-2 dalam kisaran 55-57%. Tentu hitungan riil menunggu pengumuman resmi KPUD DKI Jakarta. Secara umum, pilkada yang dalam proses kampanye dan menjelang hari tenang, terasa aroma yang cukup “dramatis” dan “menunjukkan tensi tinggi” berakhir dengan penuh kedamaian dan kesejukan. Secara umum, warga DKI Jakarta, semua pemimpin, aparat penegak hukum, dan semua pihak terkait pilkada, perlu diacungi jempol dan diapresiasi. Karena telah menunjukkan kedewasaan dan kematangan berpolitik.
       Saudaraku, proses demokrasi langsung dengan segala kelebihan dan kekurangannya, memang membutuhkan biaya atau ongkos, termasuk ongkos sosial-politik yang tidak kecil. Biaya resmi penyelenggaraan Pilkada DKI 2017 mencapai Rp 478 milyar (Kompas.com, 25/9/2016). Sementara dana kampanye masing-masing pasangan calon Rp 60 milyar (detikNews). Soal biaya memang relatif tergantung dari perspektif apa melihatnya. Tentu ini belum termasuk dana-dana “amunisi”, sembako, dan lain-lain yang banyak berseliweran di lorong-lorong Jakarta menjelang tanggal 19/4/2017.
       Ada banyak pelajaran yang sangat mahal dari pilkada DKI Jakarta yang perlu menjadi bahan renungan, muhasabah atau introspeksi, dan pertimbangan untuk melakukan model, manajemen, dan paradigma baru pengelolaan partai politik ke depan. Pertama, ternyata dalam banyak even demokrasi, termasuk DKI Jakarta kali ini, banyaknya parpol pengusung pasangan calon, ternyata tidak berbanding lurus dengan perolehan suara. Tentu dalam urusan politik tidak bisa dengan serta merta menggunakan tafsir tunggal dan hitam putih melihat fenomena pilkada.
       Kedua, di tengah makin fenomenalnya proses “de-ideologisasi” parpol dan makin terjebaknya oleh kepentingan pragmatisme dan “kooptasi” oleh “powerfull”-nya parpol penguasa sebagai play-maker kue kekuasaan, maka ritme dan jalannya pola koalisi sebuah parpol menjadi kehilangan independensi untuk menentukan arah. Meskipun harus disadari bahwa dalam urusan politik, lagi-lagi yang menjadi “kata kunci”-nya adalah kepentingan dan mendapat jatah kue kekuasaan apa.
       Ketiga, orientasi paternalisme masyarakat pemilih kepada figur dan tokoh non-partai, atau boleh jadi tidak terlalu salah jika dikatakan ulama, tampaknya masih berlaku.
Kalau ada ungkapan berbahasa Arab الناس على دين ملوكهم  artinya “manusia itu mengikuti agama raja (pemimpin) mereka”, tampaknya pada tataran realitanya, mengalami pergeseran dari pemimpin partai ke pemimpin kultural dan non-formal.
      Keempat, warga DKI Jakarta sebagai miniatur kemajemukan NKRI ini, ternyata sudah sangat dewasa dalam berdemokrasi dan berpolitik. Mereka ternyata tidak “tergoyahkan” dalam menghadapi berbagai “serangan fajar, serangan dhuha, atau serangan siang dan sore hari – kalau seandainya ini ada –, karena pilihan politik adalah deposit masa depan yang harus diamanatkan kepada sosok yang diyakini mampu mengemban amanat, rendah hati, dan mengedepankan kebersamaan. Karena kepala daerah atau pemimpin, adalah pelayan rakyat.
       Kelima, semoga pasangan calon yang terpilih, mampu belajar dari para umara’ yang adil, bijaksana, benar-benar hadir untuk menjadi pelayan rakyat, bukan sebagai penguasa, rendah hati, santun, dan sanggup memberi contoh dan keteladanan pada warganya.
Kita doakan, kawal, dan awasi, terutama Saudaraku warga DKI Jakarta, sebagai miniatur NKRI, kemajemukan harus tetap dijaga. Upaya apapun yang ingin mengganggu atau bahkan merusak Indonesia dari NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, apakah itu khilafah atau anasir anti Pancasila lainnya, harus dicegah dan diselesaikan secara tegas dan santun.
       Selamat kepada warga DKI Jakarta. Merayakan kesuksesan berdemokrasi, memang tidak harus berhura-hura, tetapi justru harus banyak bermunajat, memohon petunjuk Allah, Tuhan Yang Kuasa, agar kekuasaan Allah yang didelegasikan untuk mengatur DKI Jakarta sebagai gerbang dan sekaligus jantungnya NKRI, dapat menjadi proyek besar memakmurkan negeri kaya dan besar ini, menjadi gemahripah loh jinawi, kanti siraman maghfirah Dzat Kang Murbeng Dumadi. Semoga pelajaran sangat mahal dari pilkada DKI Jakarta ini, dapat menjadi bahan renungan dan muhasabah seluruh pemimpin parpol dan negara ini.
       Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, Dinihari, 20/4/2017.

Silahkan Hubungi Kami