MENGEVALUASI SHALAT KITA

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku, mari kita terus mensyukuri anugrah dan kenikmatan Allah hang dilimpahkan kepada kita. Hingga saat ini kita sehat afiat dan dapat menikmati hari libur, bagi yang linur, sambil merenungi dan mengevaluasi diri kita. Shalawat san salam mari kita senandungkan untuk Rasulullah Muhammad saw, keluarga, para sahabat, dan pengikutnya. Semoga hati kita makin cinta dan bertekad untuk menekadani beliau. Allah memposisikan beliau sebagai uswatun hasanah, agar kita mengikuti dan meneladani, semoga kita termasuk hamba-Nya yang diridhai-Nya dan akan diijinkan masuk di surga-Nya.
       Saudaraku, hari ini, 27 Rajab, adalah peristiwa untuk me genang, mengingat, dan merenungkan peristiwa besar bersejarah Rasulullah saw, yakni Isra’ dan Mi’raj. Isra’ adalah perjalanan di waktu malam dari Masjid al-Haram di Mekah al-Mukarramah ke Masjid al-Aqsha Palestina (QS. Al-Isra’:1). Mi’raj adalah naiknya Rasulullah saw dari Masjid al-Aqsha Palestina ke Sidratul Muntaha.
       Sidratul Muntaha [Arab: سدرة المنتهى], arti secara bahasa adalah sebuah pohon bidara yang menandai akhir dari langit/surga ke tujuh sebagai sebuah batas, yang menurut keyakinan Ialam,  makhluk tidak dapat melewatinya.
Allah sebutkan makhluk istimewa ini dalam Al-Quran:
أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى  وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى  عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى  عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى  إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى  مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى  لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?  Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,  yaitu  di Sidratil muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.  penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.  Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS. An-Najm: 12 – 18)
       Dalam banyak riwayat tentang isra’ dan mi’raj Rasulullah saw mendapatkan wahyu secara langsung dari Allah Swt, berupa perintah shalat wajib lima waktu, yang disebut shalat maktubat, isya’, shubuh, dhuhur, ‘ashar, dan maghrib (QS. Al-Nisa’:103. Al-Isra’:78). Tulisan ini tidak bermaksud membahas tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu, karena sudah selesai. Saya yakin Anda termasuk orang yang percaya, bahwa ini peristiwa supra-rasional, yang tidak perlu dipersoalkan lagi, karena pendekatannya imani dan tauqify (taken for granted). Bagi yang tidak percaya, apalagi dia kafir, tentu tidak mudah percaya.
       Saudaraku, pertanyaannya adalah, shalat lima waktu yang oleh Rasulullah saw diposisikan sebagai barometer (kunci) ibadah yang menjadi garansi atau jaminan bagi kualitas ibadah yang lain, sudah kita laksanakan dengan baik dan hasilnya sesuai dengan tujuan disyariatkannya atau belum? Rasulullahnsaw menegaskan:
رَوى الطبرانِيُّ عن النبِيِّ صلى الله عليه وسلم أنهُ قال:”أَوَّل ما يُحَاسَبُ بهِ العبدُ يومَ القيامةِ الصلاة، فإنْ صَلحَتْ صَلحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وإِنْ فسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ”
Riwayat al-Thabrany, Nabi saw bersabda : “Pertama kali amalan seorang hamba yang dihitung di hari kiamat adalah shalat. Maka apabila baik (shalatnya) maka baik (pula) amalannya yang lain, dan apabila rusak (shalatnya) maka rusak luka amalan lainnya”.
      Mengapa banyak prilaku yang bertentangan dengan agama dan kepatutan masih sering terjadi? Mengapa di negeri Indonesia yang seharusnya kaya raya dan mayoritas Muslim ini, utangnya sangat besar. Bahkan menurut menteri keuangan, Sri Mulyani, setiap bayi lahir harus menanggung utang Rp 13 juta,-? Mengapa para pejabat yang disumpah dengan menyebut Asma Allah, masih pada melakukan korupsi? Mengapa korupsi makin merajalela? Mengapa yang katanya Ulama dan ditokohkan oleh para pengikutnya, menunjukkan prilaku sombong dan angkuhnya? Mengapa orang-orang yang secara fisik atau casingnya tampak sangat agamis, akan tetapi tutur katanya menimbulkan ketakutan orang lain? Mengapa orang-orang yang makin banyak hartanya, makin bertambah ilmunya, makin berderet jabatannya, makin angkuh, makin tidak mudah senyum, dan makin minta diperlakukan istimewa? Mengapa aparat penegak hukum cenderung mempermainkan hukum? Mengapa katanya negara hukum, akan tetapi politik yang menjadi supremasinya?
       Saudaraku, masih banyak deretan tambahan pertanyaan yang menunjukkan bahwa shalat yang kita jalankan, tampaknya masih hanya sebatas ritual semata. Atau maaf bahkan hanya “basa-basi” kita untuk sekedar menggugurkan kewajiban kita? Itu pun kita lakukan di sisa-sisa waktu, karena kita sibuk dengan rutinitas kita. Kita memang shalat, tetapi tidak atau belum mampu menghadirkan makna shalat itu sendiri. Jangankan mewujudkan makna dalam kehidupan sehari-hari. Apakah ketika kita mengikrarkan diri di hadapan Allah, “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya semata-mata untuk Allah Tuhan Sekalian Alam” sudah sampai ke hati dan prilaku keseharian kita.
       Sahabat Ibnu Abbas meriwayatkan, لا صلاة لمن لا تنهى صلاته عن الفخشاء والمنكر  artinya “tidaklah (berarti) shalat(nya) bagi orang yang shalatnya tidak mampu mencegah dirinya dari berbuat keji dan munkar”. Ini berarti bahwa manfaat dan dampak positif shalat, dilihat hasilnya, manakala seseorang yang shalat itu, dia mampu membuktikan dari kebesaran Allah melalui kerendah-hatian (ketawadluan) dan kesungguhannya mewujudkan kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan orang lain dalam ritual salam sebagai penutup shalat.
       Adalah omong kosong apabila ada seseorang yang ditokohkan oleh para pengikutnya, atau dianggap sebagai Ulama, akan tetapi omongannya selalu menyengat, menyakitkan telinga dan memanaskan hati orang lain, merendahkan orang lain, dan hari-harinya dipenuhi dengan caci maki dan menghasut orang lain. Na’udzu bi Allah.
      Saudaraku, mari kita sisihkan hati, pikiran, dan nurani kita, untuk melalukan evaluasi, muhasabah, introsepksi diri, apakah shalat yang kita laksanakan sehari-hari ini masih sebatas ritual saja? Mari kita tingkatkan kualitasnya, yang bekum khusyu’ kita upayaka bisa lebih khusyu’. Mungkin ada yang lebih senang “wirid” dengan mencela dan mencaci orang lain, “wirid”-nya diganti dengan mendoakan orang lain. Yang masih sombong dan angkuh, mari dibuka sedikit supaya berkurang. Mari kita bangun ibadah sosial kita menjadi lebih shalih, supaya kehadiran kita di bumi, memberi manfaat pada sesama. Kita buang jauh-jauh kesombongan, keangkuhan, dan segala karat hati dan fikiran, yang telah lama memasung kita dengan merasa jumawa. Sebentar lagi kota memasuki usia renta, sebentar lagi kita akan hanya berbusana kain kafan, tidak lama lagi kita tidak mampu mandi sendiri, tidak lama lagi kita tidak bisa shalat, tetapi dishalati, itu pun kalau orang lain mau menolong kita. Tidak lama lagi, kita akan dipikul rame-rame oleh saudara kita yang mungkin seumur hidup kita tidak pernah kita sapa. SubhanaLlah.
       Semoga di sisa umur kita ini, kita bisa merubahnha menjadi lebih baik. Dan kalau pun Allah swt akan mengakhiri hayat kita, Allah memberi kita husnul khatimah, Amin.
Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 23/4/2017.

Silahkan Hubungi Kami