KARTINI DAN ISLAM JAWA PEGON

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
       Sadaraku, mari kita syukuri anugrah Allah yang tak mampu kita menghitungnya. Hanya dengan anugrah-Nya, kita sehat afiat, dapat melakukan aktifitas hari ini, mengisi kegiatan ibadah kita melalui berbagai kegiatan. Semoga aktifitas kita bermakna dan kita niatkan sebagai pengabdian kita kepada Allah, dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Shalawat dan salam mari kita senandungkan pada Baginda Rasulillah saw, keluarga, dan para sahabat. Semoga syafaat beliau, akan memayungi kita di saat kita membutuhkannya.
       Saudaraku, khususnya para kaum Perempuan, selamat memperingati hati Kartini. “Habis gelap terbitlah terang”. Muncul di pikiran saya, ini pemahaman atau “tafsir” model Kartini, dari ayat : فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا  dan إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا yaitu surat al-Insyirah ayat 5-6. Semoga negeri ini mampu melahirkan “Kartini” baru, yang dengan segala keberaniannya, ketika berguru kepada KH Sholeh Darat, mengusulkan agar supaya Al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan bahasa Jawa. Dari sinilah, KH Sholeh Darat menulis tafsir bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab. Inilah yang disebut huruf Arab Pegon.
        Raden Ajeng (RA) Kartini lahir di Jepara, 21/4/1879 M bertepatan dengan 28 Rabi’ul Akhir 1297 H, dan meninggal 17 September 1904 dalam usia 25 tahun. Satu tahun setelah menikah pada usia 24 tahun. Anda bisa membayangkan, umurnya hanya sampai 25 tahun, akan tetapi sejarah mencatat dengan tinta mas dan harum namanya. Hingga sekarang, pemerintah Indonesia menempatkan tanggal 21/4 sebagai tanggal penting, memperingati hari Kartini. Bahkan ada lagu khusus Ibu Kita Kartini, ciptaan WR. Supratman, yang ditetapkan sebagai lagu wajib nasional.
       Banyak tulisan mengungkap tentang pertemuan “santriwati” Kartini dengan KH Muhammad Sholeh Darat. Tampaknya atas permohonan Kartini, KH Sholeh Darat menyiapkan tafsir Al-Qur’an dengan menggunakan huruf Arab pegon. RA Kartini galau dan gelisah secara intelektual, sebagai seorang Muslimah disuruh mempelajari Al-Qur’an akan tetapi tidak tahu maksudnya.
       Penelusuran Amirul Ulum yang diikuti Rikza, menjelaskan bahwa Kartini menulis surat kepada Abendanon tanggal 15/8/1902 yang menyebut gurunya adalah seorang tua. Kartini menyebut bahwa orang Jawa menulis naskah dengan menggunakan huruf Arab pegon atau huruf Jawi. Dalam surat tertanggal 17/8/1902 juga kepada Abendanon, Kartini menulis: “Kami merasa senang, KH Muhammad Sholeh Darat telah menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa yang kebanyakan mentgunakan huruf Arab. Karena itu kini kami ingin belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab”.
       Saudaraku, mengapa Kartini, yang maish sangat muda tetapi pemberani, dan yang terpenting adalah intellectual curiosity-nya atau semangat pembelajarnya itu yang perlu sihidupkan lagi oleh para “Kartini” modern sekarang ini. Simbol busana Kartini dengan kebaya dan jarit, tentu memiliki makna identitas nasional ke-Indonesiaan — atau lebih tepatnya Kejawaan — yang hingga kini masih menjadi busana resmi nasional. Yang lebih penting adalah keberaniannya untuk “meminta” kepada Kyai Sholeh Darat untuk menyiapkan tafsir Arab pegon itu.
       Melihat sosok Kartini dalam perspektif emansipasi wanita di NKRI yang kita cintai tampaknya sudah selesai. Karena kultur dan regulasi sudah sangat afirmatif dalam memposisikan kaum perempuan dalam berbagai posisi dan jabagan publik. Presiden sudah pernah. Gubernur, Walikota, Bupati perempuan juga sudah. Hakim perempuan juga sudah. Rektor perempuan sudah banyak. Apalagi melihat kuantitas, banyak mahasiswa perguruan tinggi yang mahasiswanya didominasi perempuan.
       Saudaraku, banyak hal yang justru perlu perenungan kembali, ketika banyak lapangan pekerjaan yang notabene lebih mengandalkan kekuatan fisik, di situ para pekerja perempuan juga banyak. Atau kalau pun masih ada pekerjaan yang kemudian di situ terjadi eksploitasi terhadap “penampilan fisik” kaum perempuan, yang tentu berdampak kurang pas. Meskipun pas dan tidaknya bisa kontroversial, tergantung perspektif apa yang digunakan.
       Pelajaran yang sangat berharga adalah pesan Kartini dan direspon KH Sholeh Darat, bagaimana Al-Qur’an difahami, ditafsirkan, dan diedukasikan kepada masyarakat dengan menggunakan kearifan lokal Ke-Jawaan melalui tulisan peton, atau huruf Jawi. Di sisi lain juga, menunjukkan adanya kolaborasi antara huruf Arab dan Jawa. Dan ini tentu sangat genuine dan original. Sekarang ini pun, tadisi dan budaya menulis Arab pegon, masih digunakan oleh santri-santri pondok pesantren khususnya yang mengkaji kitab-kitab kuning yang pada umumnya bermadzhab Syafi’i(yah). Bahkan hingga pulpen dan tintanya disiapkan secara khusus, agar hasil “sah-sahan” atau “ngesahi” atau mengartikan kitab gundul (tanpa syakal/harakat) ketika santri menimba ilmu langsung kepada para Kyai atau pengajar di pesantren, ditulis dengan rapi dan tahan lama.
       Irmawati menyebutkan, “penamaan huruf Pegon sangat banyak. Di Malaysia disebut huruf Jawi. Di pesantren dinamai huruf Arab Pegon. Huruf Arab Pegon dikenal dengan istilah huruf Arab Melayu karena ternyata huruf Arab berbahasa Indonesia ini telah digunakan secara luas di kawasan Melayu mulai dari Terengganu (Malaysia), Aceh, Riau, Sumatera, Jawa (Indonesia), Brunei, hingga Thailand bagian Selatan. Maka tidak mengherankan, jika kita membeli produk-produk makanan di kawasan dunia Melayu (Malaysia, Thailand Selatan, Brunei, dan beberapa wilayah di Indonesia) dapat dipastikan terdapat tulisan Arab Pegon dalam kemasannya walaupun dengan bahasa yang berbeda. Bahasa tersebut disesuaikan dengan tempat atau Negara yang mengeluarkan produk-produk tersebut.
      Mengenai siapa yang menemukan huruf Arab Pegon ada beberapa pendapat. Menurut suatu catatan, huruf Arab Pegon muncul sekitar tahun 1400 M yang digagas oleh RM. Rahmat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel di Pesantren Ampel Dentha Surabaya. Sedangkan menurut pendapat lain, penggagas huruf Arab Pegon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Ada juga yang mengatakan bahwa huruf Arab Pegon ini ditemukan oleh Imam Nawawi Al-Bantani (Irawati).
       Saudaraku, illustrasi di atas menunjukkan bahwa Islam menunjukkan fleksibilitasnya untuk berkolaborasi dengan nilai kearifan lokal. Karena Islam yang rahmatan lil alamin, akan senantiasa mampu beradaptasi dengan budaya pemeluknya, agar Islam bisa difahami dengan baik. Semoga kita yang hidup di masa, tinggal merawat, menikmati, jerih payah para Ulama terdahulu untuk bisa menjadi lebih kreatif, semangat belajar, dan mampu mewarisi spirit dan keseriusan untuk belajar agama seperti Kartini. Meskipun hanya singkat usia Kartini, tetapi perjuangan, keberanian, kesungguhan untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu umum dan agama demi memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di bumi nusantara ini, akan terus dikenang dan diperingati.
       Semoga bermanfaat. In uridu illa al-ishlah ma istatha’tu wa ma taufiqi illa bi Allah. Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 22/4/2017.

Silahkan Hubungi Kami