MEMFORMULASI TOLERANSI YANG BENAR ?

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku, mari kita tingkatkan syukur kita kepada Allah. Anugrah dan karunia-Nya tak terhingga yang kita terima. Semoga kesyukuran kita, Allah makin menambah kenikmatan-Nya pada kita, dan kita makin dekat kepada-Nya, lebih dekat dari urat nadi leher kita. Shalawat dan salam mari kita senandungkan untuk Baginda Rasulullah saw, tokoh teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi kita. Semoga syafaat beliau kelak di akhirat akan melindungi kita.
       Ada yang mengatakan, sekarang ini toleransi (تسامح) menjadi “barang mahal”, karena sebagai anak bangsa kita ini sering emosi-nan, marah-marah, mengumpat, mencaci, memaki, dan sering tanpa melakukan tabayun (konfirmasi) terlebih dahulu. Laksana pengadilan, vonis sudah dijatuhkan sebelum memeriksa, mencari bukti, dan mengkonfrontasi saksi-saksi dan bukti-bukti yang mendukung vonis tersebut.
       Hari Ahad, 16/4/2017 jam 00.00 terjadi ledakan mobil — yang tampaknya untuk “meneror” umat Islam yang sedang memperingati peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw di daerah Cawang Kompor Jakarta Timur. Hasil investigasi, ditemukan 4 drigen besar berisi bensin dalam mobil kijang kapsul berplat B 7208 EQ dan 4 drigen besar berisi bensin dalam mobil kijang grand berplat B 1552 AH yang parkir di area majlis yang ditinggal oleh pemiliknya.
       Banyak keganjilan dan keanehan dalam peristiwa tersebut. Karena tidak ada petugas dari kepolisian atau pun tim gegana yang biasanya mengerahkan banyak mobil untuk berjaga-jaga. Berbeda misalnya, ketika ada kejadian yang menimpa jamaah non-muslim. Pasti akan ramai diberitakan oleh media dan cenderung diblow up, karena diduga pelakunya orang Islam, dan mereka itu “teroriris”.
       Kata “toleran” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalam bahasa Arab, sering digunakan kata tasamuh (toleran) artinya bermurah hati. Ada yang mengartikan “tasahul” artinya menganggap mudah atau bersikap mudah (easygoing). Dari kutipan di atas, dapat ditegaskan bahwa toleransi adalah mengandung sifat-sifat seperti lapang dada, tenggang rasa, menahan diri, dan tidak memaksakan kehendak pada orang lain.
       Saudaraku, sebagai Muslim, kita merindukan adanya kebersamaan, kekompakan, dan kebersamaan sesama muslim. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, di antara kita lebih sering berantem dan bermusuhan sesama muslim, sementara dengan yang beragama lain sering lebih mesra dan cenderung berlebihan. Hemat saya, sebagai muslim kita sudah diberi panduan oleh Rasulullah saw. Pertama, tentang persaudaraan seagama (ukhuwah Islamiyah) yang seharusnya saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menolong, laksana satu tubuh apabila ada anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh lainnya merasakannya.
عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: مَثَلُ المؤمنين في تَوَادِّهم وتراحُمهم وتعاطُفهم: مثلُ الجسد، إِذا اشتكى منه عضو: تَدَاعَى له سائرُ الجسد بالسَّهَرِ والحُمِّى [أخرجه البخاري ومسلم عن النعمان بن بشير]
Dari Nabi saw, beliau bersabda: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling mengasihi di antara mereka, adalah seumpama satu jasad, apabila satu anggota tubuh mengeluh sakit, maka anggota yang lainnya ikut merasakan terjaga dan pilek” (dikeluarkan oleh al-Bukhary dan Muslim dari al-Nu’man bin Basyir).
       Apakah praktik toleransi kita selama ini sudah benar? Ketika sesama Muslim kita bahkan mengafir-ngafirkan tanpa dasar dan argumentasi hukum yang jelas? Sementara dengan orang non-muslim bermesra-mesraan secara berlebihan? Soal hubungan antar pemeluk agama, Allah telah banyak menunjukkan kepada kita, bahwa kita harus menghormati pilihan orang yang tidak seagama dengan kita. Karena urusan hidayah, manusia tidak mempunyai kewenangan? Bahwa kalau kita behubungan dengan semua manusia berjalan dengan baik, mesra, dan saling menyayangi, apakah dengan sesama muslim maupun dengan non-muslim, tentu baik-baik saja. Karena soal pilihan agama, ini adalah berada di antara pilihan kreatif dan benar manusia atau wilayah prerogatif Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam QS. Al-Qashash: 56 Allah menegur Rasulullah saw:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qashash:56).
       Ayat tersebut diturunkan, sehubungan dengan wafatnya paman Rasulullah saw yang sangat ducintainya, Abu Thalib. Sepeninggal istri beliau tercinta Khadijah al-Kubra, paman Abu Thalib adalah paman yang melindungi dan mendukung tugas dakwah beliau. Sayang, menjelang wafatnya, Abu Thalib sempat menyarankan kepada para pembesar Quraisy yang bezuk waktu itu, untuk menyatakan iman kepada Rasulullah saw, akan tetapi Allah berkehendak lain. Belum sempat bersyahadat, Abu Thalib dijemput oleh malaikat Izrail.
Dalam persaudaraan dengan pemeluk agama lain, dengan snagat gamblang dijelaskan:
 قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (١). لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. (٢). وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٣). وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. (٤). وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٥). لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ. (٦).
Katakanlah : “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tisak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmu agamamu dan untukkulah agamaku” (QS. AL-Kafirun:1-6).
       Saudaraku, persaudaraan, toleransi, saling menyayangi, saling tolong menolong, saling menghormati, ini sifatnya egaliter, equality before the law, dan musti dilakukan secara adil dan proporsional. Tentu tidak fair kalau kita diminta adil, sementara saudara kita berlaku sewenang-wenang kepada kita. Di sini tidak ada dominasi mayoritas, tetapi juga tidak ada tirani minoritas. Demikian juga tidak ada dominasi minoritas, dan tirani mayoritas. Kadang-kadang sebagian dari kita tidak faham dan salah kaprah, apalagi maaf, kalau sudah ada kepentingan tertentu di balik praktik sikap toleransi.
Dalam keseharian sering terjadi praktik yang kebalik-balik. Kalau warga muslim memilih calon muslim dikatakan rasis, dan ketika ada WNI keturunan menghina, menista warga pribumi, apalagi ia seorang Gubernur, hanya karena salah paham, dianggap biasa saja. Kalau ada teroris menyerang dengan bom mobil di acara pengajian warga muslim, dianggap insiden kecil dan biasa. Demikian juga ketika ada warga muslim menjalankan shalat Idul Fitri dan masjidnya dibakar, dianggap biasa saja, tidak sara, dan bahkan tidak jelas penyelesaiannya. Sementara itu, ketika ada kasus ledakan bom kecil, di area yang patut diduga area non-muslim, maka media pun memblow up sedemikian rupa.
       Saudaraku, sebagai warga NKRI kita sangat lelah dan capek, dalam membangun toleransi. Kita semua rindu toleransi yang adil, terbuka, dan berimbang. Warga muslim yang mayoritas sudah sangat toleran. Karena kita menyadari ada saudara-saudara muslim yang dalam posisi minoritas. Karena itu, perlu ketulusan, kejujuran, dan keadilan dari saudara kita yang minoritas. Kalau ada saudara kita yang mungkin secara ekonomi berlebih, kita berharap silahkan menikmatinya, tetapi hendaknya jangan mengumbar keangkuhan dan kesombongan. Mari kita rawat dan jaga ke-Bhinekaan kita, karena hakikatnya kita Tungga Ika”. Mari kita buang jauh-jauh sifat-sifat dan sikap-sikap tiran, kita bersihkan sikap sombong, angkuh, dan takabur, kita kembalikan pemahaman dan pengamalan toleransi secara benar sesuai tuntunan Rasulullah saw. Karena kita akan dimintai pertanggungjawaban dari sikap dan praktik toleransi kita di akhirat nanti oleh pengasilan Allah Swt.
       Semoga makin hari kita makin wise, makin bijak, dan mampu menghormati diri kita sendiri. Kita fahami ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah kita secara benar. Kita buang jauh-jauh ananiyah atau egoisme karena toleransi yang salah kaprah, dan merasa lebih bergengsi di mata Allah, jika kita “memusuhi” saudara kita yang seiman. Dari sinilah kita wujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
        Allah a’lam bi al-shawab. In uridu illa al-ishlah ma istatha’tu, wa ma taufiqi illa bi Allah. Allah waliy al-taufiq.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 17/4/2017.

Silahkan Hubungi Kami