AKROBAT DAN TEROR HUKUM : QUO VADIS HUKUM KITA

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku, mari kita syukuri anugrah dan nikmat yang Allah limpahkan pada kita. Semoga kesyukurna kita, Allah akan menambah kenikmatan-Nya, dan kita dapat menjalankan hidup ini dengan kerendah hatian. Shalawat dan salam mari kita senandungkan pada junjungan kita Rasulullah  Muhammad saw, keluarga, dan para sahabat. Semoga hati dan cinta kita, makin membara, terus berusaha meneladani beliau.
      “Akrobat hukum”. Itulah istilah yang digunakan oleh i-News TV dalam dialog seputar persidangan terdakwa BTP. Karena banyak mengatakan ada “keanehan” dalam persidangan yang ke-18 akan tetapi jaksa penuntut umum (JPU) ternyata meminta penundaan dalam menyampaikan tuntutan. Untuk kasus penistaan agama, tampaknya kasus BTP ini yang paling lama tidak kunjung dijatuhkan vonisnya. Terlepas dari ada kepentingan atau tidak ada kepentingan apapun yang menyelimuti kasus BTP ini, kasus ini ongkos sosial politiknya “sangat mahal” karena aroma keberpihakannya begitu kental.
       Anehnya lagi, Polda Metro Jaya mengirim surat ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar sidang tuntutan terhasap terdakwa BTP 11/4 kemarin ditunda. Alasannya, karena urusan keamanan jelang pilkada putaran kedua. Karena itulah, wakil ketua DPR-RI, Fahri Hamzah (7/4) mengatakan, “polisi sudah netral. Polisi sebaiknya tidak melakukan adap proses peradilan di Indonesia. Polisi sehahrusnya sudha berhenti sejak P21 diserahkan ke kejaksaan”. Inilah akrobat hukum yang dimainkan oleh Polda DKI, yang “tidak bisa menutupi” langkahnya melakukan intervensi.
      “Teror kepada aparat penegak hukum”, muncul berkaitan dengan ketika Novel Baswedan penyidik seniot KPK disiram air keras di wajahnya, saat pulang jamaah shalat subuh, oleh orang tak dikenal. Yang berita terbaru, Novel dilarikan ke Singapura untuk menjalani perawatan. Semoga “pejuang penegakan hukum” Novel Baswedan, segera mendapat perawatan dan kesembuhan, tidak justru sebaliknya.
       Saudaraku, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah ditetapkan dalam UUD 1945 sebagai negara hukum (rechtstaats). Memang hukum itu hasil dan produk keputusan politik. Akan tetapi jika hukum sudah dijalankan mestinya sesuai dengan rambu atau aturan hukum yang sudah ditetapkannya itu. Prinsip equality before the law atau persamaan di depan hukum, harusnya dijalankan dengan baik. Hanya karena yang menjadi “terdakwa” adalah pejabat dan sedang dalam proses pemilihan, maka hukum cenderung diabaikan, bahkan diintervensi, agar “tidak mengganggu” proses pilkada. Karena jika penegakan hukum sudah dikalahkan oleh kepentingan dan proses politik, maka hukum tidak lagi menjadi supremasi hukum, dan ini akan cenderung merusak pembangunan budaya hukum egaliter. Keadilan (justice) akan menjadi “sesuatu yang teramat mahal” di negeri ini. Implikasinya, akan dapat melahirkan ketidakpercayaan (distrust) dari masyarakat. Dampak ikutannya adalah, pendidikan budaya hukum kepada masyarakat hanya akan menjadi hiasan bibir (lipornament) saja. Ini akan dapat membahayakan masa depan pembangunan hukum di negeri ini.
       Teror terhadap aparat penegak hukum, Novel Baswedan, penyidik senior yang dikenal memiliki integritas tinggi, yang sudah beberapa kali mengalami upaya kriminalisasi, juga menjadi wajah buram atau “cermin retak” penegakan hukum di negeri ini. Spekulasi yang muncul kemudian adalah, dikaitkannya Novel dengan kasus e-ktp yang mengguncang negeri ini, karena diduga melibatkan banyak petinggi negeri dari legislatif dan eksekutif. Hingga tulisan ini dibuat, pelaku penyiraman air keras, versi teibun.news.com, sudah dikantongi identitasnya oleh polisi. Semoga bisa segera diungkap, dan diharapkan dapat disisir siapa otak yang ada di belakang “teroris aparat penegak hukum” bayaran itu. Apabila sampai tidak bisa ditangkap dan diungkap motiv apa sesungguhnya, insiden penyiraman air keras tersebut, akan menjadi preseden buruk yang sangat brutal dan mengancam dunia penegakan hukum di negeri ini.
       Saudaraku, adil dan keadilan adalah kata kunci stabilitas dan kebahagiaan masyarakat yang menjadi tugas pokok dan fungsi negara. Jika negara sudah tidak mampu menjamin penegakan hukum secara adil dan berkeadilan, maka akan dapat melahirkan konflik horizontal dalam masyarakat. Sampai-sampai Rasulullah saw memberikan warning dalam sabda beliau: لولا عدل الامراء لاكل الناس بعضهم بعضا  artinya “sekiranya tidak ada keadilan para pemimpin pemerintahan (umara’) sungguh (akan terjadi ) sebagian manusia memakan (memangsa) sebagian lainnya”. Na’udzu bi Allah.
       Saudaraku, jika benar terjadi, akrobat hukum yang aromanya ingin “melindungi” seseorang yang karena dalam posisi dan kepentingan tertentu, akan mengabaikan dan menumpulkan pisau hukum sehingga tidak mampu menembus barikade para “protektor” yang menyusup ke proses peradilan, maka teror hukum juga ingin melemahkan mental aparat penegak hukum, agar tidak ada lagi memiliki nyali dan keberanian untuk menegakkan hukum secara adil, transparan, dan profesional.
       Mengakhiri renungan pagi ini, mari kita cermati dan hayati bersama wanti-wanti Rasulullah saw:
ثُمَّ قَالَ : ( إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ ، أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الحَدَّ ، وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا ) رواه البخاري (3475) ، ومسلم (1688) .
“Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya rusaknya orang-orang (atau bangsa-bangsa) sebelum kamu sekalian, adalah apabila orang-orang bangsawan atau pejabat mencuri, maka mereka meninggalkan (membiarkan)-nya (tanpa hukuman), dan apabila orang yang lemah dari mereka mencuri, maka mereka menegakkan hukuman (hudud). Dan Demi Allah, sekiranya sungguh Fathimah anak perempuan Muhammad mencuri, sungguh aku memotong tangannya” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
     Saudaraku, kita prihatin akan arah yang dituju oleh dunia penegakan hukum di negeri ini. Karena aturan hukum sebagus apapun dibuat, hanya akan menjadi “macam kertas” jika tidak didukung oleh orang-orang yang berintegritas tinggi. Sebaliknya, apabila orang-orang yang mendapatkan amanat untuk menegakkan hukum, memiliki komitmen dan integritas pribadi yang baik, adil, dan berkeadilan, maka hukum yang compang-camping sekalipun, keadilan itu akan bisa ditegakkan. Karena tugas hukum yang baik adalah hukum yang mendatangkan kebahagiaan semua atau banyak orang. Bukan sebaliknya membahagiakan satu dua orang, akan tetapi menyengsarakan banyak orang. Kita hanya bisa berharap, masih ada nurani hukum di NKRI ini, dan keadilan masih bisa diharapkan dari satu-satunya lembaga pengadilan dunia ini. Hakim dapat melakukan tugasnya dengan amanah dan adil, jaksa juga profesional, dan para advokat juga kita harapkan masih memiliki komitmen yang tinggi tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini.
       Semoga Allah menolong bangsa Indonesia ini, dan membukakan tabir yang menutupi hati para akrobatik dan teroris penegakan hukum, sehingga akan menjadi jelas. Ketidakjelasan akan melahirkan syak wasangka di antara sesama anak bangsa, dan ini menjadikan rawan perpecahan. Bangsa ini sangat merindukan kedamaian, kesentausaan, dan kebahagiaan dalam harmoni kemajemukan. Kota prihatin dan sedih, atas akrobat dan teror pada penegak hukum di NKRI yang kita cintai ini. Itulah yang menyisakan pertanyaan besar Quo Vadis Hukum Kita?
Wa Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan Semarang, 13/4/2017.

Silahkan Hubungi Kami