UNBK DAN GERAKAN 1821: MENYEMAI GENERASI JUJUR

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku, mari kita syukuri anugrah Allah yang kita tidak mampu menghitungnya. Hanya karena anugrah-Nya, kita sehat afiat, panjang umur, dan semoga hidup kita bermanfaat. Shalawat dan salam mari kita senandungkan pada Baginda Rasulullah saw, keluarga, dan sahabat. Kita semua mengharapkan syafaat beliau, terutama saat di akhirat nanti. Semoga hidup kita banyak mendapat kemudahan dari Allah.
      Tanggal 3/4 – 17/5 – 2017 anak-anak kita sedang menjalani proses pembelajaran menjadi generasi mas. Saya menyebut generasi mas, karena mereka yang kelas 9 MTs DAN SMP, dan 12 (SMA, SMK, DAN MA) mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Meskipun masih ada — dan ini yang lebih banyak — yang mengikuti Ujian Nasional Berbasis Pensil dan Kertas (UNBPK). Ada 7,7 juta siswa (49%) yang mengikuti UNBK. Sementara untuk tingkat SMK diikuti 1,13 juta siswa (Kompas, 10/4/2017). Jadi masih lebih banyak yang menempuh ujian UNBPK. Tentu ini berkaitan dengan pengadaan komputer dan perangkat lainnya, yang harus dilakukan secara bertahap. Belum lagi daya listrik yang suka “byar pet” kalau ini sampai terjadi pada saat ujian, maka dapat dipastikan ujian kacau balau dan merusak konsentrasi peserta ujian.
   Mengapa saya menyebut “generasi jujur”? Pertama, dengan model UNBK, setidaknya kebocoran soal bisa dihindari. Karena soal baru dikirim dari pusat sesaat menjelang ujian secara online, dan soal diunduh dan dibagikan kepada siswa secara offline. Baru setelah selesai ujian, lembar jawaban diunggah kembali, dan dikirim ke pusat secara online. Ini berarti melatih para siswa jujur dan tidak berkesempatan untuk mencari-cari “bocoran” soal dan upaya-upaya menyontek, berbeda dengan ujian berbasis pensil dan kertas. Di negeri ini, konon banyak orang pinter, tetapi sok pinter, jadinya keblinger. Banyak orang pandai tetapi banyak orang yang tidak jujur. Lucunya lagi, dulu pernah ada program “kantin kejujuran” di sekolah tingkat menengah atas, yang disainnya swalayan tetapi tidak model otomatis, hasilnya juga malah rugi. Akhirnya kantinnya terpaksa harus “tutup” dengan sendirinya karena bangkrut.
   Kedua, biasanya menjelang ujian nasional, anak-anak sudah dikondisikan oleh kepala sekolah dengan mengundang para orang tua, agar putra-putri mereka belajar secara khusus. Dalam bahasa Kadinas Pendidikan Jawa Tengah, orang tua melakukan Gerakan 1821. Maksudnya para orang tua dimohon untuk mematikan televisi dari jam 18.00-21.00 dan juga alat komunikasi lainnya, termasuk gadget dan smartphone, yang harus jujur diakui menjadikan banyak orang menjadi teralienasi atau asing dengan lingkungannya. Meskipun gadget dan smartphone juga banyak manfaatnya. Karena itu, gerakan 1821 ini dilakukan agar anak-anak dapat menyisihkan waktu, dan perlu dikawal oleh orang tua, agar mereka bisa belajar maksimal. Mumpung masih anak-anak. Ini mengingatkan pepatah bijak berbahasa Arab:
التعلم في الصغر كالنقش على الحجر والتعلم في الكبر كالنقش على الغبر
Artinya : “Belajar di waktu kecil laksana mengukir di atas batu, dan belajar di waktu dewasa, laksana mengukir di atas debu”.
Mengukir di atas batu, maka gambar ukiran tersebut akan bisa bertahan ribuan tahun. Kita bisa saksikan lukisan di batu nisan atau situs tertentu yang lukisannya di atas batu yang sudah ribuan tahun yang lalu, masih bisa disaksikan. Dan bahkan ada ilmu yang khusus mempelajarinya, arkeologi.
       Ajarkan mereka semangat belajar akan tetapi jangan lupa ajak mereka rajin shalat lima waktu, syukur rajin shalat tahajud dan shalat dluha, agar kecerdasan yang dianugrahkan oleh Allah, berkembang secara baik, melalui pendidikan dan prilaku beragama yang taat. Insya Allah hasilnya akan menjadi manusia-manusia yang bersemangat baja, tetapi berhati mas yang tangguh menghadapi serbuan dan godaan apapun.
   Ketiga, saudaraku, UNBK hanyalah bagian kecil dari proses perjalanan anak-anak kita. Mereka akan menjadi generasi mas, manakala kita bisa membekali mereka dengan fondasi ilmu agama dan pengamalan keagamaan yang cukup, agar mereka nantinya akan menjadi generasi yang salih dan shalihah. Rasulullah saw mengingatkan kita, bahwa “anak-anak kita lahir dalam keadaan fitrah (suci, bertauhid, mengesakan Allah), kedua orang tuanya-lah yang akan mewarnai masa depan mereka. Apakah akan beragama seperti fitrahnya, atau menjadi pemeluk agama non Islam, tergantung pendidikan dari orang tuanya. Meksipun ada yang orang tuanya keluar dari fitrahnya, tetapi anaknya tetap mempertahankan akidah dan agama Islamnya.
       Keempat, pendidikan anak-anak kita, perlu didukung oleh lingkungan. Dalam teori Bloom disebut dengan domain pendidikan masyarakat. Anak-anak sudah didasari fondasi kejujuran di rumah, dididik oleh bapak ibu guru di sekolah, akan tetapi mereka mendengar atau menyaksikan lingkungannya ngomong, kalau mereka mencoblos calon tertentu karena menerima “pemberian” atau “pembelian” dari tim tertentu, sama halnya itu menjadi “pendidikan” ketidakjujuran.
      Kelima, tampaknya sudah saatnya tatanan kehidupan demokrasi secara langsung (one man one vote) yang sekarang berjalan ini direnungkan dan dipertimbangkan lagi secara jernih oleh seluruh komponen bangsa kaitannya dengan upaya membangun kejujuran. Mengapa di negeri ini yang konon dikenal sebagai bangsa yang religius, santun, dan ramah, akan tetapi praktik korupsi masih saja terus berjalan, bahkan sampai pada tahap yang mengerikan. Sebut saja kasus e-ktp yang menurut berita di berbagai media, angka kerugian negara mencapai 2,3 trilyun rupiah. Kalau diangkakan Rp 2,300.000.000.000.000.- atau Rp 2,3 milyar milyar. Meskipun sudah ada lembaga anti rasuah, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang bersifat extra ordinary, tetapi makin lama makin ngegirisi, miris, akan dibawa ke mana nasib bangsa ini.
       Saya dan Anda melihat, bahwa ongkos politik demokrasi secara langsung ini ternyata sangat-sangat mahal, mulai dari “mahar” politik dan juga nafkah politik kepada parpol yang mengusungnya, tampaknya memerlukan perenungan secara mendasar dari hati ke hati, demi pendidikan kejujuran anak-anak kita ke depan. Anak-anak mungkin hanya menyimak dan tidak “berani” menyampaikan kepada orang tua atau lingkungannya yang menjadi politisi. Yang jelas, ini menjadi bagian penting pembelajaran tidak langsung pada generasi muda kita, bahwa ongkos politik di negeri ini sangat mahal.
   Saudaraku, tidak ada pretensi personal apapun dan kepada siapapun dari tulisan ini. Kebetulan saja, yang menulis ini, hanyalah orang yang awam dan sehari-hari hanya berurusan dengan soal akademik, akan tetapi hanyalah refleksi keprihatinan yang mendalam terhadap masa depan anak bangsa, agar mereka masih memiliki sisa kejujuran untuk kepentingan bangsa Indonesia yang sama-sama kita cintai. Karena bangsa ini akan bisa berkembang maju dan menjadi bangsa besar dan mampu bersaing dengan bangsa lain, apabila generasi muda memiliki kejujuran. Merekalah yang akan menjadi pemimpin bangsa ini ke depan. شبابنا اليوم رجالنا الغد artinya “anak-anak muda hari ini adalah kader-kader masa depan”.
        Marilah kita sisakan waktu untuk mengawal anak-anak kita yang sedang bersaing dan menyiapkan masa depan mereka melalui UNBK dan UNBPK, beri kesempatan mereka belajar dengan rajin dan ikhlas dengan gerakan 1821, agar mereka memiliki masa depan yang gemilang. Kita tanamkan fondasi iman dan agama yang cukup, agar mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi spiritual dan emosionalnya juga cerdas. Berbudi pekerti yang luhur dan berakhlaqul karimah. Bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi kita persiapkan mereka menjadi calon pemimpin bangsa ini, sehingga kita layak menggantung asa dan harapan akan terwujudnya baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
       Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 11/4/2017.

Silahkan Hubungi Kami