KEISLAMAN DAN KEJAWAAN

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
       Saudaraku yang disayangi Allah, nikmat dan anugrah Allah sungguh luar biasa. Mari kita syukuri dengan memanfaatkan anugrah-Nya itu untuk meningkatkan pengabdian kita kepada-Nya, meneladani Rasul-Nya. Semoga hidup kita menjadi lebih bermakna dan tidak melenceng dari tujuan kita diciptakan oleh Allah Swt. Shalawat dan salam mari kita senandungkan pada Baginda Rasulullah saw, keluarga, dan para sahabat. Semoga syafaat beliau kelak di akhirat akan memayungi kita.
       Tulisan ini tidak bermaksud menjadikan Islam itu kecil dan bersifat kejawaan saja, tetapi justru ingin memposisikan agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin ( QS. Al-Anbiya’: 107) itu benar-benar bisa dan mampu diadaptasi dan beradaptasi dengan manusia manapun termasuk Jawa. Sebutan Jawa sesungguhnya meliputi pulau Jawa, dengan enam provinsi, yakni: Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakata, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur. Namun dalam keseharian, orang Jawa Barat lebih akrab disebut dengan Sunda. Orang Banten dan DKI, juga tidak disebut Jawa. Jawa tampaknya menjadi Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Tidak diketahui asal muasalnya secara jelas.
       Dalam perspektif agama, Jawa dikenal dengan agama singkretiknya. Kata kejawaan dalam judul tulisan ini, tidak sama persis, meskipun tidak mudah dipisahkan dengan “Kejawen” berasal dari kata “Jawa”, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)” (wikipedia.org). Karena penamaan “kejawen”, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia). Atau dalam kaitannya dengan keyakinan, adalah bagian dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
       Adalah Clifford Geertz yang mentrikhotomikan agama Jawa (The Religion of Java), abangan, santri dan priyayi. Pandangan ini cukup mempengaruhi banyak orang dalam melihat hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Sejalan dengan tuntutan ruang waktu, trikhotomi tersebut, secara perlahan namun pasti, mengalami pergeseran atau perubahan.
       Dalam banyak hal, Islamisasi menjadi pilihan yang sejalan dengan agama yang diyakini oleh pemimpin atau sultan. Kita dapat menyebut, Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 – wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga yang melakukan Islamisasi dengan menggunakan pendekatan budaya. Ia memerintah tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara. Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975 (wikipedia.org).
       Para Ulama merumuskan kaidah, الاسلام صالح لكل زمان ومكان  artinya “Islam itu sejalan dengan semua waktu dan  tempat”. Tentu itu bisa berjalan efektif, manakala ada kerja intelektual yang cerdas untuk mengolaborasikan antara Islam yang bersumber dari wahyu dan kearifan lokal yang merupakan hasil karya, karsa, dan budaya manusia.
       Masih versi wikipedia.org, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sebagai inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan manusia : Sangkan Paraning Dumadhi (dari mana datang dan kembalinya hamba Tuhan) dan membentuk insan menyatu dengan Tuhannya : Manunggaling Kawula lan Gusti.  Jabaran ajaran tersebut: Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi); Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga); Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia); dan Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta).
     Apabila kita cermati, sesungguhnya ajaran tersebut, adalah inti jati diri manusia yang juga diatur oleh ajaran Islam, pribadi, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Bahwa kemudian hingga sekarang, masih banyak saudara kita tetap saja berkepercayaan Jawa, sebagai manusia biasa yang ditugasi untuk menyampaikan ajakan atau dakwah, kita menggunakan cara seperti yang dilakukan oleh para Walisongo yang lebih dahulu merintis jalan. Soal hasil, kita serahkan (bertawakkal) kepada Allah. Tugas kita sebagai manusia itu mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul, membina bukan membinasakan, mendekati bukan mendebati, dan husnudhan bukan suudhan.
       Kita dapat meniru Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga lahir kurang lebih tahun 1450 bernama Raden Said, putra adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali (wikipedia.org). Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan lebih dari 100 tahun. Ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang masjid atau soko “tatal” (potongan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
      Wejangan Sunan Kalijaga, seperti : 1. Urip iku urup, artinya hidup itu menyinari atau bermanfaat bagi orang lain. 2. Mamayu hayuning Bawana, artinya hidup itu mendatangkan kebahagiaan dan kenyamanan orang lain. 3. Suro diro Joyo Jayadiningrat lebur dening pangastuti, artinya sifat keras hati, picik, murka, dikalahkan dengan bijaksana, lembut hati, dan sabar. 4. Ngluruk tanpo. Olo, menang ganpo ngasorake, sekti tanpo aji-aji, sugih tanpo bondho. 5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan, artinya  “jangan mudah sakit hati ketika menerima cobaan, dan jangan sedih ketika kehilangan sesuatu”. 6. Ojo Gumunan, Ojo Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Alemen. Artinya “jangan suka heran, jangan suka menyesal, jangan mudah kaget, dan jangan suka manja”. 7. Ojo ketungkul marang kelungguhan, kadonyan, lan kemareman. Artinya “jangan terbuai pada jabatan, duniawi, dan kepuasan duniawi”. 8. Ojo keminter mundak keblinger, ojo cidro mundak ciloko. Artinya “jangan merasa pintar, agar tidak salah arah, jangan berdusta akan celaka”. 9. Ojo adigang, adigung, adiguno. Artinya jangan sok besar, sok besar, dan sok sakti.
       Saudaraku, apabila kita perhatikan secara seksama, apa yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga dan Sultan Agung adalah mengolaborasikan antara Islam dan budaya atau kearifan Jawa. Atau bisa disebut juga dengan Islamisasi kearifan Jawa. Demikian juga yang dikembangkan oleh model dakwah Walisongo dalam rangka membumikan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Ini mengingatkan kita pada pesan Rasulullah saw:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده رواه مسلم
“Orang yang beragama Islam (yang berkualitas) adalah apabila orang Islam lain merasa nyaman dari tutur kata lisannya dan tangan kekuasaannya” (Riwayat Muslim).
      Karena itu, kewajiban kita semua adalah bagaimana kita menjaga nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik. Sejalan dengan kaidah para ulama:
المحافظة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح
Semoga kita bisa meneladani apa yang dilakukan oleh para Walisongo, untuk membumikan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Otw KL Jakarta, 9/4/2017.

Silahkan Hubungi Kami