BELAJAR RENDAH HATI DARI ABU YAZID AL-BUSTHAMY

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
     Saudaraku yang disayang Allah. Mari kita mensyukuri anugrah dan karunia Allah, dengan cara memanfaatkan pemberian-Nya untuk melakukan hal yang terbaik. Ibadah kepada Allah, yang merupakan tujuan kita diciptakan oleh Allah, bukan hanya bersifat ritual saja, akan tetapi ibadah sosial merupakan bagian penting tak terpisahkan dari nilai ibadah ritual kita. Shalawat dan salam, mari kita lantunkan mengiringi shalawat Allah dan Malaikat-Nya, kepada tokoh teladan kita, Baginda Rasulullah Muhammad saw. Semoga Allah memudahkan segala urusan kita di dunia ini, guna mempersiapkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera di akhirat.
     Dalam dunia sufi, imam besar Abu Yazid al-Busthamy sangat terkenal dengan ajaran ittihad atau menyatunya manusia dengan Tuhan, setelah melalui proses fana’ dan baqa’. Ide untuk menulis tentang tokoh sufi ini, terinspirasi oleh cerita dalam taushiyah KH Sirajan Muniran, pada acara Dzikir Bersama Majlis Dzikir Al-Khidmah bekerjasama dengan UIN Walisongo Semarang, dalam rangka dies natalis ke-47, yang upacaranya akan digelar Kamis, 6/4/2017. Akan hadir Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dakhiri.
     Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami (874-947 M) dari daerah Bustam (Persia). Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid tergolong kaya di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana [Al-‘Aththar:1983]  Sejak dalam kandungan ibunya, bayi Abu Yazid telah mempunyai kelainan.Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak hingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya. [al-‘Aththar:1983].
     Suatu malam, Abu Yazid Al-Busthamy sedang berjalan, tiba-tiba berpapasan dengan seekor anjing. Tampaknya anjing ini tidak biasa. Tetapi seakan “dikirim” oleh Allah untuk menguji integritas kepribadian Abu Yazid. Saat anjing itu hampir dekat pada Abu Yazid, mungkin khawatir akan terkena sentuhan anjing, Abu Yazid menaikkan jubahnya. Melihat Abu Yazid menaikkan jubahnya, anjing tiba-tiba berhenti dan memandangi Abu Yazid. Saat itulah, seakan Abu Yazid mendengar perkataan anjing tersebut: “Kalau aku Tuan anggap najis, dan seandainya jubah Tuan tersentuh olehku, engkau tinggal membasuhnya dengan air tujuh kali, dan satu kali dicampuri tanah, maka najis itu akan hilang. Akan tetapi jika Tuan mengangkat jubah Tuan, karena menganggap diri Tuan lebih mulia, dan diriku yang juga sebagai makhluk Tuhan, Tuan anggap najis dan hina, maka najis yang melekat di hatimu itu, tidak akan bersih meskipun harus dibasuh dengan air tujuh samudra”.
     Abu Yazid hatinya terasa seakan disambar petir, dan terasa pedih karena “tamparan” kata-kata anjing tersebut. Setelah itu Abu Yazid minta maaf, dan sebagai permintaan maafnya kepada si anjing tersebut, Abu Yazid mengajak anjing untuk bersahabat dan berjalan bersama. Akan tetapi anjing itu menolaknya, seraya berkata: “Tuan tidak pantas berteman dan berjalan bersamaku yang najis ini. Murid-murid Tuan akan mencemooh Tuan, dan melempari aku dengan batu. Aku tidak mengetahui, mengapa mereka begitu membenciku dan menganggapku hina. Padahal aku mengabdi dan berserah diri pada Sang Khaliq (Pencipta). Lihatlah aku, kemana-mana tidak membawa apapun. Sementara Tuan masih menyimpan sekarung gandum. Aku lebih bertawakkal kepada Allah dari pada Tuan”. Sontak hati Abu Yazid makin teriris-iris pedih merasa “dipermalukan” oleh seekor anjing.
     Setelah itu, dengan jalan tertatih dan lunglai, Abu Yazid mengadu kepada Allah dengan penuh kegalauan dan kehinadinaan. “Ya Allah, bagaimana aku bisa mendekati-Mu, sementara bersahabat dan berjalan bersama anjing makhluk-Mu saja, ditolak hanya karena di dalam hatiku ada perasaan lebih baik dari anjing. Karena itu Ya Allah, ampunilah dosaku, haluskan dan bersihkanlah kesombonganku ini”.
     Konon, Abu Yazid dalam berusaha membersihkan doa akibat keangkuhan dan kesombongannya itu, ia habiskan semalam suntuk mendekatkan diri kepada Allah dan menyesali dirinya yang telah bertindak gegabah merasa lebih baik dari makhluk lainnya, seekor anjing.
     Saudaraku, bagi ulama sufi, hidup, badan, hati dan fikirannya, hanyalah untuk menghadap kepada Allah untuk mendapatkan ridha-Nya. Ulama sufi berusaha secara sangat serius untuk tawadlu’, andap asor, dan membuang jauh-jauh dari rasa benci, hasud, iri hati, takabbur, sombong, dan merasa dirinya hebat luar biasa. Bahkan kisah di atas, menunjukkan sikap yang sangat cerdas menangkap bahasa anjing, dan memahami serta menafsirkan dengan sangat baik.
     Pelajaran yang sangat berharga yang bisa kita ambil dari cerita di atas adalah: pertama, kita bangun sifat dan sikap rendah hati. Buang jauh-jauh kesombongan, keangkuhan, dan memuji-muji diri sendiri. Karena kesombongan hanya akan membakar diri siapa saja yang masih dihinggapi kesombongan, keangkuhan, dan sifat-sifat negatif lainnya.
     Saudaraku, Rasulullah saw :
  رواه الإمام مسلم في صحيحه من حديث عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
( لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ، قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا، وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ)
[ مسلم، الترمذي، أبو داود، ابن ماجه، أحمد ]
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, hadits dari Abdullah bin Mas’ud ra. Nabi saw bersabda: “Tidak akan masuk surga, seseorang yang di dalam hatinya masih ada seberat biji dzarrah dari kesombongan (merasa lebih baik)”. Seorang laki-laki bertanya, bahwa seorang laki-laki suka kalau berpakaian yang baik, sandalnya baik? Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah itu indah (bagus), mencintai hal yang baik, kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (Riwayat Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
     Bagi seorang sufi, meremehkan anjing saja, ternyata kemudian merasa mendapat teguran dan tamparan yang akhirnya menyadarkan Abu Yazid al-Busthamy. Karena hati imam Abu Yazid, sudah sangat sensitif untuk menerima sentuhan atau bahkan percikan ilmu dari Allah melalui apa saja, termasuk melalui tatapan mata seekor anjing.
Ini karena perjalanan kesufian Abu Yazid sudah sampai pada tingkatan ittihad atau menyatu dengan Tuhan, sehingga bahasa anjing yang tak berkalimat, bisa seakan dialog dengan dirinya dan bahkan menyergapnya, sekaligus menyadarkan betapa masih ada sisa kesombongan di dalam hati yang harus segera dibuang jauh-jauh. Makanan yang halal menjadi bagian penting proses keberhasilan seorang hamba menuju jalan Allah.
     Saudaraku, kerendahan hati seseorang dapat terbentuk dengan baik, melalui pendidikan dan pembiasaan terutama oleh keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Karena itu, marilah kita berusaha menjadi orang yang beriman secara benar, shalat yang rajin, bekerja keras, membuang jauh benih kesombongan dan keangkuhan, dan menjadi hamba Allah yang penuh ketawadluan dan bertawakkal kepada Allah. Karena kita ini tampaknya, baru bisa pake peci putih, sudah merasa sebagai alim, baru tahu ilmu nahwu sedikit, sudah bilang orang lain yang suka tahlilan, ahli bid’ah san masuk neraka, baru diamanati jabatan, sudah merasa harus dilayani dan dihormati. SubhanaLlah.
     Allah a’lam bi al-shawab. Hadana Allah wa iyyakum ajma’in. In uridu illa al-ishlah ma istatha’tu wa ma taufiqi illa bi Allah.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 3/4/2017.

Silahkan Hubungi Kami