MENGELOLA KEGALAUAN

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
     Saudaraku, mari kita bersyukur kepada Allah, hanya atas anugrah dan karunia-Nya saat ini kita sehat wal afiat. Semoga kita termasuk golongan sedikit hamba-Nya yang pandai bersyukur, dan Allah akan menambah anugrahnya kepada kita.
     Shalawat dan salam, tidak henti-hentinya kita senandungkan untuk tokoh panutan kita, Rasulullah Muhammad saw. Semoga memberkahi pada para keluarga, sahabat, dan kita yang menjadi pengikutnya. Setiap kesulitan akan diberi kemudahan dan jalan keluarnya.
     Saudaraku yang dirahmati Allah, rasa takut, khawatir, cemas, galau, dan sejenisnya, adalah bagian dari anugrah Allah juga yang menyertai keberadaan kita sebagai manusia biasa. Yang sedang berkuasa takut kursi jabatannya “digoyang”, yang pejabat partai khawatir ada mosi tidak percaya dari pengurus partainya, yang pemimpin pesantren cemas, santrinya tidak berhasil, yang kaya takut hartanya berkurang, yang mahasiswa masih kuliah pun galau tidak mendapatkan prestasi yang baik, yang baru atau akan diwisuda pun, cemas betapa sulitnya lowongan pekerjaan, bahkan yang sudah bekerja, khawatir kinerjanya tidak perfect, dan masih sederet daftar panjang kekhawatiran, kecemasan, kegalauan, dan kegundahan yang menyertai kita.
     Sebagai hamba Allah yang dikaruniai perasaan (الفوءاد) dan hati (قلب) yang sering berubah-ubah, atau psikis (jiwa/ النفس) perasaan galau, khawatir, takut, cemah, gundah, dan semacamnya, tampaknya memang merupakan bagian dari dalam diri kita. Bagaimana kita mengatur, mengelola, memanaj, dan mengendalikannya, agar keberadaan kita sebagai manusia.
     Cogito ergo sum, kata Descartes. Menurut filsuf Perancis ini, “aku berpikir maka aku ada”. Awalnya, Descartes mencari kebenaran dengan meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri. Maka dengan berfikir, berarti dirinya ada. Tampaknya berfikir inilah entitas keberadaan manusia. Al-Qur’an pun, menyoal dan sekaligus mengingatkan kepada manusia. Kata يتفكرون digunakan Al-Qur’an tidak kurang dari sepuluh kali. Kata يفقهون yang diartikan memahami digunakan sembilan kali. Kata يعقلون digunakan 22 kali.
     Saudaraku, kekhawatiran, kecemasan, dan kegalauan, dan kegundahan adalah bagian dari proses pendewasaan dan pencerdasan kita. Al-Qur’an membahasakannya dengan cobaan atau ujian, sebagaimana Firman Allah Swt:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ.  الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan : “Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan sesungguhnya kita (akan) kembali kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah:155-156).
     Kutipan ayat di atas sebenarnya sudah ada kunci jawaban bagaimana mengelola kegalauan agar tidak menghinggapi, mendera, apalagi menguasai diri kita, sehingga menjadi orang yang cemas, galau, resah, khawatir, dan gundah. Yakni bersabar menerima segala macam ujian dan cobaan.
Saudaraku, batas kecemasan dan kebahagiaan sangat tipis. Kesulitan dan kemudahan juga batasnya tipis. Kebencian dan kecintaan juga amat tipis. Al-Qur’an membahasakannya, setiap ada kesulitan disertai dengan kemudahan, dan diulang dua kali:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.   إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. الانشراح ٥-٦.
“Karena sesungguhnya sesudah kesukitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesukitan itu ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah:5-6).
      Manusia diberi akal dan perasaan sesungguhnya asalah sebagai pengendali diri, agar siap menghadapi segala macam tangangan dan ujian. Karena mati dan hidup ini diciptakan oleh Allah adalah untuk berkompetisi secara positif, siapa di antara kita yang paling baik amal perbuatannya. Karena itu, musti diawali dari posisioning dan kesadaran sebagai manusia untuk senantiasa rendah hati (tawadlu’) dan menjauhi kesombongan, takabbur, merasa hebat, dan jumawa. Karena kesombongan, takabbur, dan merasa hebat adalah pangkal dari kegalauan, kecemasan, dan kekhawatiran itu sendiri. Penghapus sifat-sifat negatif yang oleh Syeikh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandary disebut sebagai “benih kesyirikan” itu, adalah dengan sikap sabar, ridla, qana’ah (nerimo), dan pasrah diri (tawakkal) kepada Allah. Tentu saja harus disertai usaha, ikhtiar, dan kerja keras.
 فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.  ال عمران ١٥٩
“…kemudian apabila kamu telah membukatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imran: 159).
      Selain sabar, Allah memberikan petunjuk agar kita sebagai manusia, rendah hati memohon pertolongan kepada Allah dengan shalat, meskipun terasa berat. Kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (QS. Al-Baqarah:45).
      Usaha yang penting juga untuk mengatasi kegalauan, kekhawatiran, dan kecemasan, adalah dengan menjaga akidah kita, bahwa selagi kita masih diberi kesempatan hidup oleh Allah, Allah akan menjamin rizqi kita. Soal besar dan kecilnya, sedikit atau banyaknya, Allah sudah menentukan kadar atau jatah kita. Seandainya Allah menjatah Anda menjadi orang kaya yang diamanati harta melimpah, kalau kita usaha, akan dibukakan jalan-Nya. Usaha Anda lancar, pelanggannya banyak, dan banyak kemudahan. Tetapi kalau memang jatah Anda sedikit maka usaha apapun yang Anda lakukan, ya pada akhirnya Allah juga yang akan mengaturnya. Kalau rizqi sudah datang, hendak ke mana datang juga. Akan tetapi kalau memang bukan rizqi kita, bahkan sudah di tangan pun akan pergi juga.
     Saudaraku, sikap husnudhan atau baik sangka kepada Allah dan juga kepada manusia, dari tetangga, teman, sahabat, dan saudara kita, adalah bagian penting. Karena itu, Al-Qur’an menyarankan kita agar tidak banyak berburuk sangka (سوء الظن) selain dosa, juga akan dapat berdampak negatif merusak diri kita. Ini bisa menjadi gejala depresi dan beban psikologis yang berkepanjangan, menjadi orang was-was, ragu-ragu, dan ini bisa dengan mudah dimanfaatkan jin memasuki diri kita.
     Setelah itu, adalah sikap ajeg tetapi berkelanjutan (sustainable) yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan istiqamah (استقامة). Sikap ini selain sebagai bagian dari upaya untuk tidak galau dan cemas, juga sekaligus sebagai terapi, agar kita terhindar dari rasa takut, khawatir, galau, cemas, dan gundah (QS. Fushshilat: 30). Semua harus kita kembalikan kepada Allah. Tugas kita sebagai manusia, hamba Allah yang banyak kelemahan, adalah mengabdi, beribadah kepada Allah, menyayangi sesama sebagai ciptaan-Nya. Insya Allah kita akan mendapatkan kenyamanan, ketenteraman, kebahagiaan, dan kesejahteraan lahir dan batin.
     Semoga Allah melindungi kita, memudahkan semua urusan kita, menjauhkan dari kita rasa takut, galau, khawatir, resah, gelisah, karena Allah yang menjamin dan mengaransi hidup dan kehidupan kita, selagi kita rendah hati, tawadlu’, bersabar, bertawakkal, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Ingatlah dan berdzikirlah, karena dengan berdzikir akan menenangkan hati (QS. Al-Ra’du:28). Semoga kota dapat menjalani hidup ini dengan selalu dekat kepada Allah dan istiqamah, guna meraih ketenteraman hidup di dunia dan akhirat. Amin.
     Allah a’lam bi al-shawab. Hadana Allah ila sabil al-haqq, wa ila Allah turja’u al-umur.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 31/3/2017.

Silahkan Hubungi Kami