MENGAPA BEGITU BERAT MEMAAFKAN

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
     Alhamdulillah, puji dan syukur hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Pagi ini kita sehat afiat, bisa memulai aktifitas kita? Mari kita niatkan semua itu sebagai pengabdian kepada Allah. Aliran darah, denyut jantung, tarikan dan hembusan nafas kita, kita bersamakan dengan dzikir dan wirid kita kepada-Nya. Semoga Allah senantiasa mengingat kita, menyayangi, melindungi, dan memanjakan kita dengan kasih sayang-Nya.
     Shalawat dan salam, terus kita senandungkan mengiringi shalawat Allah dan Malaikat-Nya pada Baginda Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Insya Allah setiap kesulitan yang kita hadapi, Allah kasih kemudahan dan jalan keluar yang baik, guna bekal perjalanan kita menuju ridha-Nya.
     Saudaraku, dalam praktik kehidupan kita sehari-hari rasanya sangat tidak mudah menghindari berbuat salah kepada orang lain. Kadang-kadang diam saja, dengan wajah yang kurang ceria (tabassum) sudah bisa menimbulkan reaksi kurang bersahabat dari orang yang bertemu. Dalam hal bertutur kata, sering sekali — meskipun mungkin tidak sengaja — kita mengeluarkan kata-kata yang tajam, dan tanpa kita sadari ternyata “menikam” atau “menusuk” perasaan dan hati orang lain. Padahal setajam-tajam pisau atau pedang, menurut Imam Al-Ghazali, masih lebih tajam tutur kata lisan kita.
     Rasulullah saw mengingatkan kita, كل بني ادم خطاؤون وخير الخطائين التوابون  artinya “setiap anak cucu Nabi Adam as adalah  melalukan kekeliruan (kesalahan), dan sebaik-baik orang yang melakukan kekeliruan (kesalahan) adalah orang yang bertaubat” (Riwayat at-Tirmidzi, 2499, Ibnu Majah, 4251, dan ad-Darimi, 2730).
     Suatu saat Rasulullah saw ditanya oleh seorang sahabat. “Wahai Rasulullah saw, apa amalan yang paling baik yang harus aku lakukan”? Beliau menjawab: “Jangan marah” (Riwayat Al-Bukhary). Pertanyaannya adalah, mengapa marah dilarang? Karena dalam kemarahan itu terkumpul semua keburukan (فاذا الغضب يجمع الشر كله  رواه مالك ).
Sebagai manusia biasa, kemarahan adalah bagian dari tabiat kita. Karena di dalam diri kita terdapat unsur syaithaniyahnya. Jika unsur syaithaniyahnya yang dominan, maka kehidupan seseorang akan diwarnai kemarahan dan prilaku syaithan.
Sementara jika unsur malaikatnya yang dominan, maka kita akan terdorong untuk melakukan kebaikan, ketaatan, dan pengabdian kepada Allah.
     Dosa dan kesalahan kita kepada Allah, Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk membersihkannya melalui ampunan (maghfirah) dan taubat yang benar (توبة نصوحا). Yakni, dengan berhenti dari berbuat dosa, menyesali, dan bertekad tidak mengulanginya lagi.
     Adapun dosa sosial kita kepada sesama, ini yang harus diselesaikan dengan permohonan maaf kepada orang yang kita pernah atau merasa pernah berbuat salah kepadanya.
Allah swt menjelaskan, bahwa pemaaf atau memaafkan kepada orang lain adalah indikator kualitas keberagamaan atau ketaqwaan seseorang.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amatahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali ‘Imran: 134).
     Saudaraku, kita hidup di dunia ini tidak lama. Kata bijak, “urip mung sakdermo mampir ngombe” artinya “hidup itu hanya sekedar singgah minum”. Setelah itu kita harus melanjutkan perjalanan panjang kita kembali ke surga, di mana kita berasal, ketika Nabi Adam as sudah merasakannya.
     Mengapa kita merasa begitu berat memaafkan kesalahan orang lain? Saudaraku, meskipun orang lain yang tidak mengalami, tidak merasakan betapa sakitnya, ketika orang lain berbuat tidak baik, memfitnah, menjelek-jelekkan diri kita di hadapan orang lain pada diri kita, enak dan mudah saja menasihati kita, layaknya dia orang yang bersih, tidak pernah sakit hati, tentu hal itu tidak bisa dihindari. Bahkan kadang-kadang hanya menanyakan hak kita, misalnya karena berawal dari kita meminjami uang karena dia butuh (katanya). Ketika ia pinjam  pun, bilang akan mengembalikannya dalam waktu satu minggu. Giliran kita menanyakan, atau menagih, membuat orang yang sudah ditolong malahan marah-marah, mencak-mencak, tersinggung, dan macam-macam bahkan sumpah serapah pun dikeluarkan.
     Saudaraku, mari kita berusaha menyadari dan memposisikan diri kita. Siapa kita, dari mana kita berasal, mampukah kita hidup sendiri? Di kala kita merasa sehat, kita sering bergaya? Di kala kita masih menduduki jabatan, seakan orang lain tidak selevel dengan kita? Di kala kekayaan kita tampak sedikit lebih, seakan kita akan hidup selamanya? Saudaraku, sebentar lagi kita akan tidak berdaya lagi. Dan itu pasti, hanya nunggu waktu dan tidak lama. Tidak lama juga, kita tidak butuh harta kita lagi, kecuali hanya tiga lembar kain kafan yang harganya murah. Tidak lama juga, kita akan membutuhkan saudara-saudara kita yang mungkin tidak pernah kita kenal selama hidup kita, jangankan kita sapa, mereka itulah saudara hakiki kita, yang menggali kubur dan liang lahat, yang menjadi rumah kita di alam barzakh nanti. Dan itu pasti kita tidak akan mampu lagi berjalan dengan jasad kita sendiri, pasti kita meminta bantuan orang lain.
     Saudaraku, mari kita bersihkan dan sucikan semua beban hidup kita yang sudah berat karena terus menerus memikirkan materi duniawi ini, dengan menghilangkan segala emosi, kemarahan, dan menanggung dendam kepada orang lain. Kemarahan hanya akan menyiksa hati dan batin kita. Mari kita lepaskan segala macam hasud, iri, marah, dendam kesumat, dan segala sifat dan sikap buruk yang sudah menggerogoti diri kita. Kita maafkan semua kesalahan orang lain. Kita buang kesombongan dan ketakaburan kita. Rasulullah saw wanti-wanti “
 رواه الإمام مسلم في صحيحه من حديث عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
(( لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ، قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا، وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ))
[ مسلم، الترمذي، أبو داود، ابن ماجه، أحمد ]
 “Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan”. Seorang laki-laki bertanya, “sesungguhnya laki-laki menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)? Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah itu bagus menyukai yang bagus, kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (Riwayat Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
     Saudaraku, kita mulai sekarang ya, maafkan semua kesalahan orang lain. Kalau perlu supaya semuanya segera selesai, Anda bisa berinisiatif mendatangi mereka. Mungkin mereka merasa salah dan ketakutan. Seperti Rasulullah saw mencontohkannya kepada kita. Anda tidak akan terhina di mata Allah, kalau mendatangi orang yang berbuat salah kepada kita. Anda bisa memaafkan atau bahkan minta maaf karena telah terlalu lama menyimpan dendam karena kesombongan dan keangkuhan. Tidak ada kata berat untuk memaafkan orang lain. Insyaa Allah dengan memulai membersihkan hati dan egoisme kita dari kesombongan dan ketakabburan itu, pasti hidup kita lebih nyaman dan bahagia. Setelah itu kita bisa lebih nyaman dan menikmati saat kita bermanja bermunajat dengan mesra di hadapan Allah. Di saat itu pula kita bisa tumpahkan air mata kebahagiaan yang sesungguhnya di hadapan-Nya. Dan saat itulah Allah akan melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita. Semoga Allah menuntun kita sampai akhir jalan hidup kita menuju Ridha-Nya, dan diberi kesempatan husnul khatimah. Amin ya mujibas sailin.
    Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 25/3/2017.

Silahkan Hubungi Kami