JIHAD AKBAR MELAWAN EGO

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
     Segala puji hanya milik Allah, mari kita syukuri, Allah telah memberikan kenikmatan yang kita tidak mampu menghitungnya. Rasakan betapa besar anugrah dan sayang-Nya kepada kita, melalui getar hati, denyut nadi, hembusan nafas, dan aliran darahmu, supaya Anda sadar bahwa Anda dan kita tidak ada apa-apanya, semoga Allah akan menambah kenikmatan-Nya.
     Shalawat dan salam mari kita senandungkan bersama, sebagai bukti cinta kita kepada tokoh idola dan teladan yang baik bagi kita, Nabi Muhammad saw, semoga meluber kepada Sahabat, dan kita. Terlebih nanti di hari akhirat, semoga syafaat beliau akan memayungi kita.
     Saudaraku, para leluhur kita pernah memberi wejangan, “wani ngalah luhur wekasane”, yang artinya “berani mengalah akan menjadi orang yang mulia di masa yang akan datang”. Rasulullah saw bahkan memberi contoh langsung, bukan saja mengalah, akan tetapi membalas kebaikan kepada orang yang sudah berbuat jahat. Beliau tegaskan : احسن الى من اساء اليك artinya “berbuat baiklah kepada orang yang berbuat jahat kepadamu”. Memang mengalah dan menghilangkan ego atau ananiah, ini tidak mudah. Boleh jadi karena memang sangat berat memerangi nafsu atau ego diri sendiri inilah, Rasulullah saw menegaskan sebagai bentuk jihad besar (jihad al-akbar).
Hal ini beliau sampaikan justru ketika para Sahabat, baru saja memenangi perang badar. Pasukan muslim jumlahnya 313 orang, sementara pasukan kafir berjumlah 1.000 orang.
     Perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadlan 2 H/17 Maret 624 M ini, terjadi di Kota Badar, 80 mil baratdaya Madinah. Pasukan Muslim dipimpin oleh Nabi Muhammad, Hamzah bin Abdul Muththalib, dan Ali bin Abi Thalib, sementara pasukan kafir Quraisy Mekah dipimpin oleh Abu Jahal (Amr bun Hisyam). Dari pasukan Muslim tewas 14 orang dan dari pasukan kafir, tewas 40-70 orang, dan 43-70 orang ditawan.
     Rasulullah saw menegaskan, كنا نرجع من جهاد الاصغر الى جهاد الاكبر artinya “kita pulang dari perang kecil menuju perang besar”. Para sahabat pun penasaran, dan bertanya kepada beliau, “lalu apa itu perang besar wahai Rasulullah saw”? Rasulullah saw : “جهاد الاكبر هو جهاد النفس” artinya “perang besar adalah perang memerangi nafsu atau ego sendiri”.
     Terlepas apakah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqy ini sanadnya lemah (dla’if), tetapi spiritnya sangat cocok dengan fakta yang sesungguhnya. Ketika seseorang sudah dilanda egoisme, maka susah untuk diingatkan. Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahuLlah, ungkapan tersebut adalah perkataan Ibrahim bin Abi Ablah, bukan hadits. Al-Khathib al-Baghdadi menjelaskan bahwa جهاد الكبر هو مجاهدة العبد هواه artinya “jihad besar adalah perang atau kesungguhan seorang hamba memerangi hawa nafsunya sendiri”.
     Saudaraku, manusia tampaknya diberi Allah sifat ego. Karena itu, untuk bisa mengatasi sifat ego ini, pertama, mari kita tinggalkan kesombongan dan keangkuhan. Sifat sombong dan angkuh ini bisanya muncul, karena ia merasa dirinya paling berjasa, hebat, dan berkuasa. Dari sinilah, ia tidak mau mengalah. Maka kata kuncinya, kita berusaha menjadi hamba Allah yang rendah hati dan tawadlu’. Rendah hati tidak berarti rendah diri. Karena tentu kepentingan dan kemashalahatan bagi orang banyak didahulukan.
     Kedua, hilangkan kedengkian dan gantikan dengan kasih sayang. Karena kasih sayang akan menghadirkan sikap simpati dan empati dari orang lain. Kata Rasulullah saw : ارحموا من في الارض يرحمكم من في السماء  artinya “sayangilah orang-orang yang di muka bumi, niscaya Yang Di langit akan menyayangi kalian”.
     Ketiga, hilangkan prasangka buruk atau suudhan, meskipun tidak harus kehilangan kewaspadaan. Karena prasangka buruk akan melahirkan kegelisahan yang akan tumbun subur menjadi depresi akut. Allah SWT pun mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian prasangka buruk itu dosa” (QS. Al-Hujurat:12).
     Saudaraku, biasanya orang-orang yang egoisme menonjol, tidak disukai teman, banyak “musuh”-nya, bahkan tidak jarang, ketika akan melahirkan dendam kesumat dari orang-orang yang menjadi korban egoisme tersebut. Karena egoisme ini adalah “saudara kandung” kesombongan dan keangkuhan. Para Ulama sufi menyebut kesombongan ini dengan dengan awal bentuk kesyirikan kepada Tuhan, karena ia telah mengagumi dan menganggap hebat, sok berkuasa, dan orang yang menduduki jabatan, yang tidak ada tandingannya, pada diri sendiri.
     Saudaraku, masih ada waktu, marilah kita renungkan bersama. Apalagi Anda yang masih muda, masa depan Anda masih panjang, dan masih banyak kesempatan, mari kita perbaiki secara bertahap. Tidak akan terhina ketika Anda bersikap rendah hati, tawadlu, dan mendahulukan atau menghormati kepentingan orang lain. Orang lain justru akan menghormati Anda, memberikan apresiasi, dan pada saat Anda membutuhkan pertolongan, dukungan, atau supporting yang lainnya, mereka akan dengan senang hati meresponnya.
     Semoga tulisan sederhana ini, menjadi motivasi bagi diri saya sendiri, dan syukur bermanfaat bagi teman-teman, untuk mulai meninggalkan sifat egois dan sombong yang menempel pada diri kita, karena kesombongan itu hanya milik Allah. Itupun Allah sering tidak menggunakannya. Misalnya dalam soal Allah menentukan jatah rizqi dan mata pencaharian, Allah menggunakan kata ganti bentuk “Kami” atau نحن bukan “Aku” atau انا seperti QS. Az-Zukhruf: 32,
 أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat menggunaan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
     Semoga Allah membukakan hati dan pikiran kita, dan mampu menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur dan mampu menghindari egoisme dan keangkuhan, menjadi rendah hati, tawadlu’, dan mendahulukan kepentingan orang banyak. Insya Allah akan menggantinya kedudukan puji.
Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.

 

Silahkan Hubungi Kami