UIN WALISONGO:RUMAH KEBANGSAAN

Published by achmad dharmawan on

Asaalamualaikum wrwb.
     Saudaraku yang dirahmati Allah, mari kita syukuri karunia Allah yang kita terima. Sehat afiat dan tetap istiqamah dalam menjalani hidup dalam jalan lurus (shirat al-mustaqim)-Nya. Pasti Allah akan menambah kenikmatan-Nya pada kita. Shalawat dan salam kita wiridkan untuk Baginda Rasulullah saw, keluarga,  dan para sahabat. Semoga hati kita tetap jernih dan semua urusan kita dimudahkan oleh Allah.
     UIN Walisongo sebagai perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri, yang oleh para pendirinya diniatkan menjadi lembaga akademik dan dakwah sekaligus, guna mengejawantahkan Islam yang Rahmatan lil alamin, dalam kehidupan masyarakat. Nama Walisongo dipilih, melalui istikharah para Ulama, tentu ada tujuan yang sangat indah dalam mewarisi spirit dan stereotip dakwah yang mengedepankan harmoni di tengah kemajemukan bangsa Indonesia, baik agama, etnik, suku, dan budaya.
     Sebagaimana kita fahami bersama, Indonesia memiliki sejarah perjuangan panjang dari berbagai kepercayaan animisme, dinamisme, dan agama monoteisme. Ketika para pedagang muslim datang ke Indonesia, sambil menjalankan usahanya, mereka berdakwah. Kegiatan usaha atau dagang, sangat membutuhkan iklim yang kondusif, karena itu metode dakwah yang dipilih juga lebih mengedepankan harmoni dan jalan damai.   Di sinilah para Wali, yang sebagian juga sekaligus sebagai pemimpin pemerintahan, memilih pendekatan kolaboratif kepada kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat. Tidak ada dakwah model konfrontatif karena akan mendatangkan penolakan dan bahkan pertentangan dari masyarakat.
     Sebutlah arsitektur Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, yang dibangun oleh Syeikh Ja’far Shadiq, atau akrab disebut Sunan Kudus. Menara Kudus yang menyiratkan corak arsitektur Hindu, adalah contoh dari kolaborasi indah yang monumental dan menyejarah hingga kini. Bahkan dalam soal “sapi” masyarakat Kudus, tampaknya tidak ada yang menyembelih sapi, karena “menghormati” keyakinan sebagian masyarakat waktu itu. Pada hal di tempat lain, menyembelih sapi, karena memang dihalalkan oleh agama, apalagi jkka hari raya Idul Adlha, kebanyakan hewan krban yang dipilih adalah sapi dan kambing. Boleh jadi dari sinilah, kuliner Kudus yang terkenal sotonya itu, kebanyakan adanya soto ayam dan soto kerbau.
     UIN Walisongo yang tahun 2017 ini akan merayakan Dies Natalisnya ke-47, sebagai bahan muhasabah atau introspeksi diri, mengusung thema besar “Agama sebagai Sumber Keharmonisan Hidup”. Di usia yang masih tergolong muda, energi dan semangatnya diharapkan menjadi kekuatan, kreasi,  dan innovasi dalam mengartikulasikan model keberagamaan yang menyatukan agama dan pengetajjan, demi membangun kemanusiaan dan peradaban. Apalagi baru dua tahun menapaki jalan raya akademik, sebagai universitas Islam negeri. Cita dan asa besar para Walisongo menjadi garapan dan kerja intelektual seluruh insan dan keluarga besar UIN Walisongo dalam memberi kontribusi secara konseptual dan paradigmatik dengan menghilangkan dikhotomi keilmuan yang tampaknya masih melekat pada sebagian masyarakat.
     Saudaraku tentu ingat pernyataan Karl Marx, yang katanya filosuf Jerman itu, mengatakan bahwa agama adalah candu. Ia digunakan untuk membius kelas buruh dan memberi harapan palsu, namun di sisi lain agama dianggap sebagai bentuk protes terhadap ekonomi yang buruk (John, 2002). Karena itulah, Marx menolak Agama. Pikiran Marx itu dielaborasi oleh Vladimir Lenin, yang menganggap agama membawa virus yang merusak perkembangan manusia. Dari sinilah kemudian mereka ramai-ramai memilih atheisme sebagai tesis baru agama mereka.
    Dari Marxisme-Leninisme kemudian berkembang sosialisme yang menempatkan agama sebagai urusan pribadi, dan tidak perlu diurus oleh Negara (Lenin, 1905, id.m.wikipedia.org). Dari faham terakhir ini, muncul bibit sekularisme, dan muaranya ke liberalisme. Sosialisme-komunisme sebagai faham dan ideologi negara perlahan runtuh, dan secara sistematis merangsek pada kapitalisme baru atau neo-kapitalisme, sudah menggejala dan nyata di depan mata.
     Saudaraku, dalam kurun waktu yang hampir beriringan, muncul di akhir abad ke-18 gwrakan radikalisme. Sejarah mencatat radikalisme politik, bermetamorfosis ke arah liberalisme politik. Abad ke-19 term radikal di Britania Raya dan Eropa daratan beralih ke ideologi liberal progresif (id.w.wikipedia.org).
     Di Indonesia faham radikal ini muncul tampaknya lebih didasari oleh pemahaman agama dalam konteks kebangsaan Indonesia yang kurang tepat. Menurut Nursyam (2009), gerakan radikal ini muncul dipicu dari ketidakpuasan mereka pada pemerintahan yang ada. Mereka menilai, tidak ada pemimpin yang baik. Akibatnya negara mudah dikendalikan oleh negara Barat. Bahkan tampaknya ini dengan “kasat mata” dapat difahami oleh masyarakat awam.
     Islam sebagai agama kasih sayang bagi seluruh penghuni alam raya ini (QS. Al-Anbiya’:107). Tetapi mengapa ada sebagian pemeluknya, yang seolah ingin memonopoli kebenaran. Penganut agama yang sama, tetapi tidak mengikuti “kelompok” mereka dengan mudah dianggap sebagai tidak benar. Lebih dari itu mereka dicap kafir.
     Ada juga kelompok yang mengidentifikasi diri mereka sebagai kelompok salafi, yang ingin melakukan purifikasi atau pemurnian agama dari tradisi yang bernuansa semangat keagamaan, seperti tahlil, membaca sejarah Rasulullah saw, dzibaan, shalawatan, dianggap sebagai praktik bid’ah yang tidak diajarkan oleh Rasulullah saw. Secara akal benar, karena waktu itu konsentrasi Rasulullah saw adalah melalukan dakwah dan konsolidasi umat, untuk tidak mengatakan konsolidasi politik. Akan tetapi tradisi shalawatan, dzibaan, dan budaya keagamaan tersebut, yang awalnya dirintis oleh Sutan Al-Nasir Shalahuddin Al-Ayyubi (w. 4 Maret 1193), Sultan pertama Mesir dan Syria, yang dikenal dengan macan perang salib itu,  dimaksudkan untuk menggugah spirit dan xinta kepada Rasululah saw. Shalahuddinlah yang dengan penuh keberanian, menjadikan Mesir menjadi pilar Ahlussunnah wal Jamaah. Bulan Dzuhijjah 579 H/1183 M, Shalahuddin sebagai penguasa Haramain (dua kota suci Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi agar jamaah haji jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialisasikan tanggal 12 Rabi’ul Awwal 580 H/1184 M dirayakan sebagai hari Maulid dengan berbagai kegiatan untuk membangkitkan semangat umat Islam.
     Saudaraku, hajat besar UIN Walisongo menjadikan agama sebagai sumber kehidupan yang harmonis tentu tidak ringan. Karena itu dukungan para tokoh masyarakat menjadi penting, agar agama tidak dijadikan sebagai komoditas politik, apalagi jika agama dijadikan sebagai isu sensitif yang dengan mudah menimbulkan kegaduhan. Kedewasaan beragama dari seluruh warga negara, lebih-lebih para pejabat, perlu menyadari bahwa agama adalah pilihan yang asasi secara konstitusional, tidak bisa diganggu oleh siapapun. Masing-masing diharapkan dengan penuh kesantunan menghormati agama orang lain, dan tidak melalukan penistaan atau apapun yang bisa merusak toleransi yang sesungguhnya sudah terpatri dan berjalan baik.
     Sebagai sesama warga bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbhinneka, harus kita jaga bersama agar Tunggal Ika ini, mampu menjadi fondasi kebangsaan kita. Dan UIN Walisongo siap menjadi tuan Rumah Kebangsaan Indonesia. Bravo UIN Walisongo, selamat Dies Natalis ke-47. Indonesia dan Bangsa ini menanti kiprah dan kontribusimu, demi kejayaan Indonesia.
     Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 4/3/2017.

Silahkan Hubungi Kami