KEADILAN: OLEH HUKUM, HAKIM, ATAU HUKUMAH

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Mari kita bersyukur pada Allah, nikmat dan karunia-Nya begitu besar. Semoga Allah senantiasa menambah kenikmatannya kepada kita. Shalawat dan salam mari kita wiridkan untuk Baginda Rasulullah Muhammad saw, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya.
     Keadilan itu menjadi kata kunci dari tugas kekhalifahan manusia, sebagaimana perintah Allah. Rasulullah saw sudah memberikan contoh konkret, bukan hanya berwacana tetapi komitmen dan keteladanan yang konsisten.
     Umar bin al-Khaththab ra yang dikenal dengan al-faruq, karena sangat tegas dalam membedakan antara yang hak dan yang batil. Putranya sendiri, Abu Syahmah, karena melakukan perbuatan pidana atau melanggar hudud, dieksekusi hingga meninggal dunia di hadapan beliau sendiri.
    Lalu bagaimana mewujudkan keadilan itu, apakah harus diawali dari hukum (regulasi) atau hakimnya, atau aparat pemerintah (hukumah) penegak hukum lainnya. Ataukah justru dari masyarakat yang harus memulai adil, sehingga hukum, hakim, dan aparat penegak hukum yang lain, yang sesungguhnya oleh negara diberi peran, fungsi, dan tugas sebagai lokomotif keadilan. Akan tetapi dalam perjalanan bangsa ini, keadilan rasanya semakin jauh dari harapan. Agaknya penguasa sudah “tergoda” menyalahgunakan kekuasaannya, “demi membela kepentingan kelompok” untuk melanggar hukum yang oleh masyarakat dengan kasat mata sudah difahami dengan mudah.
     Lalu hukum (regulasi) yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang baik. Roscue Pond mengatakan “law as a tool of social engineering” artinya hukum sebagai alat atau instrumen untuk merekayasa masyarakat (menjasi baik). Ketika masyarakat sudah baik, hukum diposisikan sebagai instrumen untuk mengontrol maayarakat atau “law as a tool of social control”.
     Lucius Calpurnicus Piso Caesoninus (43 SM) mengatakan “fiat justitia ruat coelum” atau “keadilan harus ditegakkan walaupun langit runtuh”. Gubernur Piso di masa kekuasaan Alexander Agung ini marah, karena serdadunya yang semula cuti dan diminta segera melapor, ternyata sampai waktunya hanya satu orang yang datang melapor. Karena tidak bisa menjelaskan dua orang temannya, ia dituduh membunuh. Piso segera memerintahkan disidang, dan dijatuhi hukuman mati. Ketika algojo akan mengeksekusi, ternyata dua orang serdadu yang diduga telah dibunuh, datang, maka eksekusi ditunda dan ia melapor ke Gubernur Piso. Piso lalu berpidato lantang, hukum telah ditetapkan, “fiat justitia ruat coelum” (wikipedia.org). Akhirnya tiga serdadu dan algojo yang menunda eksekusi dihukum mati semua, karena dinyatakan sebagai bersalah.
     Ungkapan yang sesungguhnya ada indikasi tidak sepenuhnya benar, menjadi demikian populer. Kaisar Roma, Ferdinand yang ingin menjadi Kaisar yang adil menetapkan prinsip “fiat justitia et pereat mundus” artinya “tegakkan keadilan meskipun semua penjahat di dunia ini sudah musnah” (Rohandi, 2011).
     Kata hukum, hakim, hukumah, berakar kata yang sama hukm. Ini dapat dipahami, hukum atau regulasi ditetapkan oleh lembaga legislasi, hakim sebagai tempat mencari keadilan karena hukum ditegakkan. Hukumah artinya pemerintah yang menjadi pemimpin untuk melaksanakan hukum secara adil. Dengan demikian, jika masyarakat berharap keadilan ditwgakkan, maka kata kuncinya adalah berada di pundak pemerintah sebagai pengendali politik hukum, hakim yang seharusnya independen sebagai mahkamah tempat mencari keadilan. Rakyat akan dengan mudah akan mengikuti dan taat hukum, jika pimpinan dan semua aparat pemegak hukumnya juga adil. Selagi pisau hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, maka selama itu masyarakat sulit untuk percaya, karena telah ada diskriminasi hukum. Dari distrust ini dapat melahirkan sikap dan tindakan main hakim sendiri. Bahkan bisa memicu terjadinya konflik horizontal, karena masing-masing merasa benar sendiri dan menyalahkan yang lain.
     Saudaraku, mari kita cermati secara seksama QS. An-Nisa’: 58:
ان الله يأمركم أن تؤدوا الامانات الى أهلها واذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل ان الله نعما يعظكم به ان الله كان سميعا بصيرا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
     Ayat tersebut menegaskan bahwa sebagai audien (مخاطب)-nya adalah kamu, berarti menunjuk Rasulullah saw dan seluruh pengikutnya. Ini menunjukkan bahwa keadilan menjadi tanggung jawab semua masyarakat. Akan tetapi dari tugas dan tanggung jawab, sudah pasti harus dimulai dari pemimpinnya. Ibarat menyapu untuk membersihkan kotoran, maka sudah pasti orang yang menyapu dan sapunya harus bersih.
     Karena itu, ayat berikutnya menegaskan perintah taat kepada ulil amri sepanjang ulil amri dalam melaksanakan tugasnya sejalan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya (QS. An-Nisa’: 59). Karena tidak dibenarkan seseorang taat kepada manusia atau ulil amri dalam hal yang bersifat melawan (maksiyat) aturan Allah.
     Untuk membangun budaya hukum yang adil,  kata Friedmann, dibutuhkan substansi dan struktur hukum yang baik. Tetapi struktur hukim yang baik saja tidak cukup, karena itu “man behind the law” atau manusia di balik hukum, mutlak diperlukan. Jika manusianya baik, bersih, independen, adil, maka hukum yang adil dan budaya hukum equal dan bermartabat akan bisa dibangun dengan mudah.
      Manusia yang memiliki integritas moral yang baik (akhlaqul karimah) akan mampu menegakkan hukum secara adil, meskipun seandainya tatanan hukum itu masih banyak kekurangan. Adil adalah menempatkan semua warga negara sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law). Sebaliknya, sebaik apapun tatanan hukum, jika manusianya tidak lagi mengindahkan prinsip dan nilai keadilan, maka kedhaliman akan merajalela. Karena kedhaliman adalah kegelapan, dan yang terjadi manusia akan “memangsa” saudaranya sendiri. Raaulullah saw mengingatkan:
لولا عدل الأمراء لأكل الناس بعضهم بعضا
 “Sekiranya tidak ada keadilan oleh para pemimpin (umara’) maka sebagian manusia akan “memangsa” manusia yang lainnya”.Na’udzu bi Allah.
    Saudaraku marilah kita mengawali dari diri kita masing-masing, kita sudah sangat merindukan keadilan di Negeri tercinta, NKRI, keadilan ditegakkan, sehingga kita bisa nyaman dan aman. Semoga Allah SWT senantiasa membukakan hati para pemimpin negeri ini, dan seluruh warga negara ini, dapat menjadi warga yang baik, mendukung tegaknya hukum dan keadilan, dan kita sama-sama dapat menikmati kesejukan dan kesejahteraan.
     Allah a’lam bi al-shawab. In uridu illa al-ishlah ma istatha’tu, wa ma taufiqi illa bi Allah.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan Semarang, 1/3/2017.

Silahkan Hubungi Kami