BERBAHAGIA DENGAN BERSYUKUR

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
    Alhamdulillah segala puji hanya milik-Nya. Kita sebagai hamba-Nya pasti tidak mampu menghitungnya (وان تعدوا نعمة الله لا تحصوها) (QS. An-Nahl: 18). Ternyata, menurut Allah,  tidak banyak hamba-hamba-Nya yang mau mensyukuri nikmat-Nya (وقليل من عبادي الشكور) (QS. Saba: 13).
     Shalawat dan salam mari terus kita senandungkan pada Baginda Rasulullah saw, keluarga, dan sahabat. Semoga syafaat beliau akan meringankan dan memberi perlindungan kepada kita, di saat tidak ada lagi perlindungan selain perlindungan Allah.
     Saudaraku, apakah sesungguhnya kebahagiaan itu? Apakah saat ini, hari ini, Anda bahagia? Apakah Anda mampu merasakan kebahagiaan yang sejati? Ataukah pura-pura bahagia? Tentu jawabannya ada pada pada diri Anda sendiri, tetapi supaya kita faham mari kita coba muthalaah bersama.
     Ada yang memahami kebahagiaan sebagai veritas est adaequatio rei et intelectus. Ini sebenarnya berbicara tentang kebenaran (truth) menurut Thomas Aquinas). Ada yang meredaksikan dengan veritas est adaequatio intellectus et rei,  artinya kebenaran adalah bersesuaiannya akal dan kenyataan. Kemudian ada menyederhanakan, bahwa kebahagiaan adalah bersesuaiannya antara yang dipikirkan akal dan realitas.
     Jika Anda hari ini merasakan apa yang diangankan terwujud dalam kenyataan, dan itu benar, maka Anda bisa merasakan kebahagiaan. Jika dianalogikan dengan definisi iman, Syeikh Abu Al-Hasan Al-Asy’ary mendefinisikan dengan “pembenaran dalam hati, diikrarkan lisan, dan dibuktikan dengan anggota badan (الايمان تصديق بالقلب واقرار باللسان وعمل بالاركان ). Apakah kemudian orang yang beriman secara benar ia akan mendapatkan kebahagiaan? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Tetapi secara normatif, orang yang beriman dijamin ia pasti bahagia.
     Banyak ulama menegaskan bahwa iman dan islam (bagi yang Muslim) adalah kenikmatan yang tak terhingga. Tidak bisa dibandingkan dengan apapun, apalagi hanya materi duniawi, yang sering menjebak si penerima mati gaya, mati langkah, karena diperbudak oleh harta yang diburunya itu. Kadang hidup di balik jeruji besi, menjadi taruhannya, guna menjalani sisa hidup di dunia fana yang sering menipunya.
     Hujjatul-Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazaly dalam Kimiya’u al-Sa’adah menjelaskan kata kunci untuk meraih kebahagiaan sejati adalah dengan mengenali diri kita sendiri (معرفة النفس). Dengan mengenali diri kita sendiri, kita punya potensi untuk bisa ma’rifat atau mengenali Allah. Allah menciptakan kita sebagai hamba-Nya, untuk beribadah. Bukan untuk Allah, tetapi untuk diri kita sendiri. Jika ibadah sudah menimbulkan dampak positif atau manfaat bagi orang lain, maka kala itu membahagiakan orang lain. Ketika orang lain berbahagia, maka akan melahirkan kebahagiaan diri kita. Tidak salah jika ada “petuah” bijak, “indahnya berbagi”.             Saudaraku, tahapan minimal bersyukur adalah mengucapkan Alhamdulillah. Tentu dengan penghayatan dan penyadaran diri, bahwa hidup kita, detak jantung, hembusan nafas, aliran darah, masih berjalannya fungsi akal (otak) kita secara normal, adalah bukti kekuasaan Allah, dan manusia tidak memiliki sedikitpun kehebatan di hadapan-Nya.
     Allah menunjukkan kepada kita melalui tokoh Luqman al-Hakim, “…dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah) maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi. maha Terpuji” (QS. Luqman: 12).
     Tahapan bersyukur kedua adalah memanfaatkan pancaindra kita melaksanakan fungsi sesuai dengan rambu-rambu ajaran Allah, misalnya Allah memberi hati dan akal untuk memahami hal yang baik, diberi pendengaran untuk mendengar yang bakm, demikian juga penglihatan untuk melihat tanda kekuasaan-Nya. Allah mengingatkan:
ولقد ذرأنا لجهنم كثيرا من الجن والانس لهم قلوب لا يفقهون بها ولهم أعين لا يبصرون بها ولهم أذان لا يسمعون بها اولىءك كالانعام بل هم أضل أولىءك  هم الغفلون الأعراف ١٧٩
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orqng-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 179).
     Tahapan syukur yang paling tinggi adalah memanfaatkan seluruh tubuh, indra, pikiran, jiwa dan hati yang diberikan oleh Allah untuk mengamalkan seluruh perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya, baik secara lahir maupun bathin. Jika tingkatan syukur ini bisa dilaksanakan dengan istiqamah, maka insya Allah ketaqwaan yang menjadi satu-satunya bekal dalam perjalanan abadi di akhirat kelak, sudah bisa digenggam (QS. Al-Baqarah: 197).
     Semoga Allah senantiasa membuka hati, pikiran, dan semua indra kita, agar mampu menjalankan semua kenikmatan itu sesuai dengan kuasa dan kehendak-Nya yang membawa jalan kebaikan dan kemanfaatan dunia akhirat. Karena itu, perbanyak istogjfar dan bersyukurlah pasti Anda akan bahagia, karena tidak ada kebahagiaan yang sejati tanpa mengenali dan merasakan bahwa semua kenikmatan adalah dari Allah, dan mensyukuri adalah wujud kita mengenal Allah dan diri kita sendiri.
     Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamu’alaikum wrwb.
Ngaliyan Semarang, 27/2/2017.

Silahkan Hubungi Kami