DEKAT DENGAN ULAMA

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
     Saudaraku, mari mensyukuri nikmat Allah. Karunia dan nikmat-Nya demikian besar, semoga Allah SWT menambah anugrah-Nya pada kita, semoga kita sehat afiat dan makin berkualitas amal ibadah kita. Shalawat dan salam kita sanjungkan pada Raaulullah saw agar kita makin cinta dan teguh meneladani beliau.
    Al-Qur’an menegaskan, “sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah hanyalah para Ulama” (QS. Al-Fathir: 28). Rasulullah saw juga menegaskan, “Kehidupan dunia ini akan terus kokoh jika Ulama, masih terus memberikan dan dibutuhkan ilmu atau fatwanya. Dengan demikian, pemerintah (ulil amri) dapat berlaku adil”. Jika Umara-nya tidak adil maka manusia antara satu dengan lainnya saling memakannya (لولا عدل الامراء لأكل الناس بعضهم بعضا). Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw menegaskan, “Dua golongan manusia, jika keduanya baik maka manusia lainnya akan baik, dan jika kedua golongan itu rusak (bobrok), maka rusak (bobrok) juga manusia, yakni Ulama dan Umara” (Riwayat Abu Naim). Versi lain menyebut “Fuqaha dan Umara”.
     Pertanyaannya adalah siapa sosok atau seseorang yang dapat disebut memenuhi kualifikasi ulama? Apakah mereka yang tergabung pada organisasi Nahdlatul Ulama (NU), pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), pengurus Muhammadiyah, lulusan pondok pesantren, dan ormas Islam lainnya? Ataukah mereka yang mengenakan busana ulama? Seperti jubah dan surban/amameh? Ataukah yang sering ceramah di televisi? Ataukah yang laris ceramah di pendopo pemerintah atau di masjid-masjid?
     Ulama adalah bentuk jamak dari kata alim, artinya orang yang berilmu, baik ilmu umum atau agama. Jadi secara bahasa orang yang berilmu melebihi rata-rata orang lain, seperti dokter, insinyur, dosen, lulusan pesantren, adalah ulama. Islam menempatkan Ulama adalah ahli waris para Nabi (العلماء ورثة الأنبياء). Karena Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka dia mengambil bagian yang sempurna (Riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidzi).
     Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dengan mudahnya karena saking baik hati dan hormatnya kepada orang yang memiliki keterampilan ceramah dengan menarik, diselingi humor, disebut ulama. Atau ceramah di media elektronik dengan busana khas, mereka dipanggil ustadz. Padahal kalau di Mesir, panggilan ustadz hanya digunakan untuk sebutan guru besar (profesor). Bahkan pernah ada sindiran dengan kemasan “mendadak ustadz”. Ini karena seseorang yang bahkan tidak memiliki dasar keilmuan agama yang jelas, demi memuluskan keinginan kelompok tertentu, seseorang bisa “diustadzkan atau diulamakan”.
     Idealnya,  seorang ulama adalah orang yang memang memiliki ilmu agama yang tinggi, ilmu fiqh dan syariah yang memadai (فقيه), sikap, tutur kata, dan prilaku keberagamaan yang hati-hati tidak mudah menjalankan hal-hal yang makruh,  apalagi yang haram (ورع), ibadahnya baik (عابد), bahkan ada yang memasukkan pada tingkatan makrifat atau mengenal Allah dan dirinya sendiri dengan baik. Pendek kata, ulama adalah orang yang takut kepada Allah dari berbuat dosa baik kecil apalagi besar, dan menjaga dirinya dari perbuatan tercela.
     Kepada Ulama seperti yang terakhir inilah, apabila kita dekat dengan ulama demikian yang diumpamakan seperti dekat dengan penjual minyak wangi. Kalaupun belum bisa menebar bau wangi setidaknya kita tidak melakukan perbuatan atau perkataan yang menimbulkan bau tidak sedap.
     Tampaknya memang ada fenomena para ulama yang oleh para ulama yang sesungguhnya, masuk kategori ulama yang buruk (علماء السوء) yang dengan nyamannya menggafaikan marwahnya demi urusan duniawi, yang tidak jarang mengorbankan nilai dan jatidiri keulamaannya. Lalu apakah ulama yang demikian itu masih layak disebut ulama? Allah a’lam bi al-shawab.
     Sementara itu,  banyak orang belakangan ini,  mencaci ulama,  membully, atau bahkan mengancam dan bahkan mengkriminalisasikan. Ulama atau khatib akan disertifikasi oleh pemerintah. Mungkin maksud Menteri  Agama baik, tetapi situasinya tidak tepat. Di Jawa Timur aparat polda,  sudah melakukan pendataan. Dan ini menimbulkan suasana yang kurang kondusif. Mengingatkan sejarah kelam negeri ini tahun 1965 ketika para Ulama menjadi sasaran dan korban kebiadaban partai komunis indonesia. Semoga pemerintah NKRI tidak kehilangan hati nuraninya dan tetap dapat memuliakan para ulama.
     Jika sampai terjadi perilaku, kebikakan, atau tindakan warga negara bangsa ini, termasuk oknum pimpinan pemerintahan negeri ini, maka seperti yang disampaikan Rasulullah saw, لولا العلماء لهلك الناس artinya “jika tidak ada ulama lagi yang patut diteladani dan diikuti, sungguh manusia akan rusak kehidupannya.
     Demikian juga, لولا عدل الأمراء لأكل الناس بعضهم على بعض artinya “sekiranya tidak ada keadilan umara, atau tidak ada umara yang adil, apalagi sudah tidak lagi menghargai dan menghormati ulama, maka yang terjadi adalah kehancuran bangsa ini. Karena saling memangsa antara satu dengan yang lain. Konflik horizontal pada saatnya tidak bisa dihindari. Apalagi kalau aparat pemerintahannya sudah berpihak pada kelompok tertentu, hanya kehancuran yang bisa ditunggu saatnya. Na’udzu bi Allah.
     Saudaraku, jika kita kehilangan barang kita dapat segera mencari gantinya, tetapi jika kita kehilangan ulama, kehilangan marwah NKRI ini,  atau bahkan kehilangan NKRI, ini yang harus kta waspadai bersama. Semoga Allah memberi pertolongan kita dan bangsa ini menjadi baik. Para pemimpin negeri ini dibuka hati dan kesadarannya, bahwa kepentingan keutuhan bangsa Indonesia dan NKRI di atas segalanya.
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan,  hanya kepada Allah, kita akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita.
    Wa Allah al-musta’an, in uridu illa al-ishlah wa ma taufiqi illa bi Allah.
Wassalamualaikum wrwb.
Semarang, 8/2/2017.

Silahkan Hubungi Kami