BERAGAMA DAN KEBERAGAMAAN

Published by achmad dharmawan on

Oleh Ahmad Rofiq
Assalamu’alaikum wrwb. 
     Saudaraku, mari kita syukuri anugrah dan rizqi yang Allah berikan. Supaya kita mampu merasakan kebahagiaan. Jangan menunggu kaya,  karena biasanya makin kaya,  justru lupa bersyukur. Meski banyak juga yang makin kaya, dia makin bersyukur.
     Shalawat dan salam pada Rasulullah saw, figur idola dan teladan umat yang ingin hidup dalam ridha Allah, hidup yang bermakna, dan selalu dalam panduan dzikir kepada-Nya (QS. Al-Ahzab: 21). Sosok yang tampil sejuk, menyejukkan, berempati kepada siapapun, memanusiakan manusia, termasuk kepada orang yang tua yang buta dan beda agama.
     Beragama itu hidayah, pilihan, dan menjalankan fitrah manusia, dan keberagamaan atau religiusitas artinya manifestasi dan implementasi dari hidayah dan pengembangan fitrah dari orang yang beragama. Ada orang yang beragama tapi tidak didukung dengan kebearagamaan yang berkualitas dengan amal shalih. Dalam Islam, memeluk Islam itu, diawali dengan syahadat atau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah, melainkan hanya Allah,  dan sesungguhnya Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah. Orang yang bersyahadat dia sudah memiliki fondasi atau dasar keislaman. Tetapi beragama bagi orang Muslim, musti dilengkapi dengan amalan wajib yang meliputi shalat, membayar zakat bagi yang memiliki penghasilan yang dalam satu tahun melebihi dari batas minimal, setara dengan 85 gram emas (Yusuf al-Qaradlawy) atau 92,6 gram emas (Kementerian Agama), menjalankan puasa bagi yang mampu, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, bekal, ongkos perjalanan dan keluarga yang ditinggalkan, dan sehat badannya (QS. Ali ‘Imran: 97). Bagi yang non-muslim, tentu ada syariat yang wajib dijalankannya yang juga dimaksudkan sebagai wujud kebearagamaan.
     Beragama — atau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa — bagi warga negara Indonesia adalah mutlak atau menjadi keharusan. Ini karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang didirikan oleh founding fathers kita,  menetapkan sila pertama dalam Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, kalau ada yang memilih anti Tuhan sebagaimana dianut oleh faham komunis, maka sesungguhnya tidak layak hidup di wilayah NKRI. Karena melanggar konstitusi. Sebaliknya, negara wajib menjamin warga negaranya supaya dapat mengamalkan ajaran agamanya dengan baik,  tanpa dibayangi oleh rasa takut atau ancaman dari pihak manapun.
     Apakah kita bisa dan berhak menilai keberagamaan seseorang? Jawabannya tentu tidak bisa. Karena sesungguhnya yang mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa (QS. Al-Hujurat: 13). Hanya Allah yang tahu keberagamaan seseorang berkualitas atau tidak, dan tentu dirinya sendiri. Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab menegaskan, “hisab/nilai dirimu sendiri sebelum dinilai”. Ironisnya, tidak jarang terjadi, orang bertambah ilmu tidak tambah santun dan rendah hati, tetapi makin tampak angkuh atau takabburnya, merasa paling bertaqwa. Dan orang lain, menjadi sasaran cacian dan kecaman. Padahal Rasulullah saw mengingatkan, “janganlah rendahkan orang yang tidak/belum jamaah ke masjid, ketika kamu bisa jamaah di masjid”.
     Pilihan taat beragama dengan menjalankan ibadah baik ritual-vertikal (عبادة محضة) atau ibadah sosial-horizontal, diharapkan dapat melahirkan sikap dan prilaku keberagamaan yang baik. Dalam bahasa sederhananya, keberagamaan seseorang bisa ditampakkan dalam kesalihan individual dan kesalihan sosial. Atau meminjam bahasa Al-Qur’an, orang yang keberagamaannya baik dan berkualitas, dialah orang yang bertaqwa (muttaqin). Mereka itu yang akan mendapatkan keberuntungan (QS. Al-Baqarah: 2-5). Pendek kata orang yang keberagamaannya baik, ia beriman kepada Allah, hari akhir, Malaikat, kitab-kitab, para Nabi, menginfakkan hartanya, pada keluarga, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang kehabisan bekal di jalan, para peminta,  membebaskan budak, menjalankan shalat, membayar zakat, menepati janji,  sabar dalam berbagai keadaan, dan rajin sadaqah (QS. Al-Baqarah: 177).
     Bagaimana dengan penampilan atau busana lahiriahnya? Setahu saya banyak ayat Al-Qur’an lebih menekankan pada pesan substantifnya, yakni menutup aurat. Apakah harus mengenak jubah dan surban seperti Pangeran Diponegoro sang pahlawan kita, yang boleh jadi mencontoh Rasulullah saw,  ataukah cukup busana sarung,  baju koko, dan pecis? Atau pakai setelan jas, berdasi, berpeci hitam, yang oleh Bung Karno, dijadikan pakaian nasional Indonesia?
     Persoalan ini menjadi isu yang sering memicu kontroversi bahkan sampai saling membully antara satu dengan yang lain. Rasulullah saw menegaskan:
ان الله لا ينظر الى أجسامكم ولا الى صوركم ولكن ينظر الى قلوبكم رواه مسلم عن أبي هريرة
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada jasmani dan gambar (casing) kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati kalian” (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).
     Karena itu, kewajiban kita adalah berusaha beragama dan keberagamaan kita sesuai dengan yang ditinjukkan oleh Rasulullah saw. Beliau mengingatkan: “Akan datang suatu zaman atas manusia,  perut-perut mereka menjadi Tuhan-tuhan mereka. Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka. Dinar-dinar mereka menjadi agama mereka. Waktu itu, tidak tersisa iman sedikitpun kecuali namanya saja. Tidak tersisa Islam sedikitpun kecuali ritualnya saja. Masjid-masjid mereka makmur dan megah, akan tetapi hati mereka kosong dari petunjuk (hidayah) Allah. Ulama-ulama mereka menjadi makhluk yang paling buruk di muka bumi. Kalau terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa mereka dan menimpakan kepada mereka berbagai bencana: Kekejaman para pemimpin/penguasa, kekeringan berkepanjangan, dan kekejaman para pejabat dan kedhaliman para pengambil keputusan (Riwayat al-Baihaqi).
    Saudaraku, kita akan kehabisan energi jika kita “berantem” atau berbeda pendapat pada soal busana. Yang terpenting adalah berbagi tugas sesuai keahlian kita masing-masing. Kita perlu bersatu dalam perbedaan. Karena perbedaan adalah sunnatuLlah yang harus kita jaga dan rawat baik-baik,  demi keutuhan NKRI. Mari kita buktikan bahwa kita beragama dengan keberagamaan yang baik, berkualitas, memberi manfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa,  dan negara ini.
     Kita teladani Rasulullah saw,  seperi Allah jelaskan: “Maka dengan kasih sayang dari Allah, kamu bersikap lemah lembut kepada mereka, dan sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertawakkal kepada-nya” (QS. Ali ‘Imran: 159).
     Soal pilihan busana sehari-hari apakah mau pakai jubah/qamis, peci putih, dan surban, tetapi dia berjuang demi membela bangsanya dan NKRI, seperti Pangeran Diponegoro, atau pakai sarung, baju koko, peci hitam tetapi dia rajin juga membela agama dan bangsanya, atau pakaian adat seperti blangkon, tetapi bela mati-matian membela NKRI yang baginya adalah harga mati, itu soal selera dan kenyamanan. Sepanjang tidak menyalahi pesan syariat agama, maka itu bagian dari ekspresi hak azasi dia yang perlu dihargai.
     Negara ini sedang dirundung banyak masalah, ideologi trans-nasional yang ingin menegakkan khilafah, ada yang sangat sekuler dan ingin menghapus pendidilan agama, ada yang ingin merusak generasi muda dengan narkoba, dan terutama pihak yang ingin menguasai ekonomi dan kekayaan alam Indonesia yang kita cintai. Mari kita ciptakan harmoni melalui perbedaan, kita bersatu dan jaga baik-baik kemajemukan, kita bangun persaudaraan sejati, karena di sinilah hakikat kemanusiaan kita.
    Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamu’alaikum wrwb. 
Ngaliyan Semarang, 31/1/2017.

Silahkan Hubungi Kami