MERAWAT KEMAJEMUKAN

Published by achmad dharmawan on

Oleh Ahmad Rofiq
Assalamu’alaikum wrwb.
Saudaraku yang dirahmati Allah. Mari kita  bersyukur, Allah telah memberi semua yang kita butuhkan, meskipun kita sering tidak menyadari. Allah menjamin tambahan kenikmatan-Nya, jika kita mau bersyukur.
Shalawat dan salam kita wiridkan untuk manusia teladan,  Rasulullah saw. Syafaat beliau kita nantikan di akhirat nanti. Mari kita siapkan bekal kita,  iman dan taqwa yang berkualitas dan jaga hingga akhir hayat husnul khatimah.
Saudaraku, Allah melimpahkan karunia yang sangat besar pada kita, negeri kita Indonesia, negara kepulauan, yang kaya raya dengan sumberdaya alam,  emas, nikel, tembaga, gas, baulsit,  timah, minyak, dan lain-lain. Tidak kurang dari 17.503 pulau besar dan kecil,  5.707 telah memiliki nama, 719 bahasa daerah,  1.340 suku, tahun 2016 penduduk 258 juta lebih, diperkirakan 305 juta pada tahun 2035.
Karena kekayaan alam yang luar biasa itu, negara-negara asing berebut menjajah. Belanda 350 tahun,  mengeruk kekayaan alam, remaph,  dll. Jepang menjajah 3,5 tahun. Negara yang subur makmur dilintasi Garis Katulistiwa ini dengan kemajemukan yang seharusnya adil makmur bahagia sejahtera,  dalam kenyataannya, sekarang ini, masih memprihatinkan.
Indeks kualitas hidup di angka 71 dari 111 negara,  indeks persepsi korupsi 143 dari 179 negara, indeks pembangunan manusia 108 dari 177 negara (wikipedia.org). Sekitar 85,2% memeluk Islam, 8,9% Protestan,  3% Katolik,  1,8% Hindu, 0,8% Budha, dan 0,3% lain-lain. Pemerintah juga mengakui Konghucu sebagai agama resmi.
Kemajemukan atau pluralitas yang dimiliki Indonesia adalah kekayaan yang luar biasa. Jika ini bisa dirawat baik-baik serasa harmoni sebuah orkestra yang indah, yang menjadi modal utama untuk menggapai asa dan harapan terwujudnya baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (QS. Saba:15). “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,  tetapi meteka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96).
Allah, Tuhan Yang Maha Esa, telah menggariskan hukum kehidupan atau sunnatuLlah ini secara pasti. Seharusnya kita hidup lebih makmur karena kekayaan alam ini berlimpah. Tetapi masih banyak warga negara kita yang harus mencari rizqi di negeri orang. Bagaimana mereka akan mendapat kebahagiaan sejati, jika tempat mata pencahariannya di negeri orang. “Hujan emas di negeri orang,  masih lebih enak hujan batu di negeri sendiri”. Tentu lebih enak lagi “hujan emas di negeri sendiri”. Jangankan hujan emas,  emas sudah habis dibawa ke luar negeri, seperti di Papua, dan banyak tempat lainnya. Tambang minyak harus diekspor mentah, dan ngimpor lagi yang siap pakai. Tenaga kerja kita banyak yang pengangguran, ironisnya,  banyak tenaga kasar didatangkan dari luar. Bahkan dengan kebijakan bebas visa, sudah banyak yang harus dideportasi karena menjadi tenaga kerja illegal.
Narkoba telah memporakporandakan negeri ke darurat. 57 orang/perhari mati sia-sia karenanya. Angka kriminalitas meningkat. Dalam 1 menit 32 detik terjadi satu tindak kriminal. Indonesia di peringkat 68 dari 147 negara. Apakah itu semua bisa diatasi? Bagaimana caranya?
Kata kuncinya, mari kita cermati secara seksama. Rasulullah saw pesan “dua kelompok manusia apabila baik maka rakyatnya akan baik,  dan apabila dua kelompok itu rusak,  maka ruaak juga manusia lainnya,  yaitu ulama dan umara'” (Abu Na’im dari Ibnu Abbas).
Ulama idealnya jadi panutan umat (قدوة الامة). Tidak malahan jadi provokator, yang dengan keangkuhannya menghasut dan menciptakan kebencian terhadap sesama umat seagama. Provokator tidak hanya harus bersuara teriak-teriak di atas mobil menggunakan speaker, tetapi melalui tulisan atau media sosial,  juga berdampak lebih tajam dari pisau. Yang paling tajam di dunia ini adalah lisan (Al-Ghazaly). Seorang ulama dari kata alim, mestinya adalah seorang pemimpin atau imam. Ia mengayomi, membimbing, menyayangi, menasehati, dan melindungi. Apalagi jika sampai ulama yang mencemooh ulama lain, umat akan rusak, karena pasti memicu benih konflik antar pengikutnya.
Umara yang adil dan amanah adalah kunci sukses bagi terwujudnya kemakmuran. Dalam ungkapan bijak dinyatakan “pemimpin suatu bangsa adalah pelayan mereka” (امير القوم هو خادمهم). Anehnya, pemimpin di negeri ini,  berubah menjadi penguasa. Akhirnya obsesi,  niat, dan praktik kepemimpinannya,  lebih didominasi sebagai penguasa. Ketika modal untuk mendapatkan “kursi” kekuasaannya menghabiskan biasa besar,  maka hukum ekonomi yang berlaku. Minimal balik modal dan harus untung. Akhirnya mutasi jabatan di bawahnya jadi “komoditas”. Jual beli jabatan menjadi modus dan trend.
Rakyat ini terutama yang mayoritas masih hidup dalam kekurangan, membutuhkan jaminan dan kepastian bisa hidup layak saja. Kekayaan negeri ini perlu dijaga, tidak semua harus dilepas kepada asing. Nanti bisa warga negara sendiri jadi asing di negeri sendiri. Apalagi sampai mati kelaparan di lumbung padi. Na’udzu biLlah.
Saudaraku, jika Anda adalah pejabat atau umara’, berbahagialah, karena jabatan adalah kehormatan tetapi sekaligus ujian. Tetapi jika Anda mampu menjadi umara’ yang adil, maka Allah Tuhan Yang Maha Esa, akan membantu Anda dalam upaya memakmurkan hamba-hamba-Nya. Allah akan memberkahi Anda, untuk meraih dan mewujudkan negeri ini gemah ripah loh jinawi nir ing sambikolo, baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.
Jika Anda adalah rakyat biasa seperti saya,  marilah ibarat shalat berjamaah, jadi makmum yang baik. Kalau jamaah belum selesai janganlah buat jamaah sendiri. Tidak elok dan tidak indah. Ibarat musik, kok bunyi sendiri. Meski Anda musisi terkenal. Sumbang jadinya. Kalau ada imam yang keliru, ingatkan dia secara baik-baik. Jangan permalukan dia di depan banyak orang. Dan itu sesungguhnya,  Anda secara tidak sadar membuka aib sendiri. Katamu, “sesama orang yang seagama, cintanya,  kasih sayangnya,  adalah ibarat satu tubuh, jika anggota tubuh ada yang sakit,  yang lain merasakan sakit juga” (al-Bukhari dan Muslim). Jika ada pemimpin negara atau pemerintahan yang salah, sama-sama kita bacakan “tasbih” untuk mengingatkannya secara baik-baik.
Saudaraku, mari kita rawat dengan baik kemajemukan kita dengan baik, kita siram dengan air kasih sayang, kita pupuk dengan persaudaraan, kita bangun pagar dengan saling menghormati perbedaan, jangan dirusak dengan memaksa persamaan, insya Allah kita akan menempati rumah besar Indonesia ini dalam keadilan, kemakmuran,  dan kebahagiaan. Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamu’alaikum wrwb.
Ngaliyan Semarang, 26/1/2017.

Silahkan Hubungi Kami