MEMAHAMI TOLERAN DALAM BERAGAMA

Published by achmad dharmawan on

Oleh Ahmad Rofiq
Assalamu’alaikum wrwb.
Saudaraku yang dicintai Allah SWT. Mari bersyukur dan memuji-Nya karena kita dihidupkan lagi,  setelah “dimatikan” malam tadi. Shalawat dan salam pada Rasulullah saw, supaya hati kita tenang, karena sepuluh kebaikan sudah kita dapat.
Sahabatku, Islam, sebagai penyempurna agama sebelumnya (QS. Al-Maidah: 3),  yang artinya selamat,  damai,  dan kebahagiaan,  diajarkan melalui Nabi Muhammad saw adalah untuk kasih sayang bagi penghuni alam raya (QS. Al-Anbiya’:107). Karena itu,  tampilan orang Islam seharusnya toleran,  damai, dan tidak dendam. Toleran (تسامح او السماحة) artinya menghormati,  memaafkan, dan merelakan, merupakan sesuatu yang sangat penting dan bernilai ibadah sangat tinggi. Allah SWT menegaskan,  “barang siapa memaafkan dan berdamai,  maka pahalanya di sisi Allah,  karena Allah tidak menyukai orang yang dhalim” (QS. Al-Syura:40).
Mengapa banyak konflik fisik dan permusuhan terjadi. Tentu jawabannya,  adalah karena gagal faham oleh pemeluknya,  atau karena toleransi itu disalahgunakan oleh pihak lain.
Di negeri tercinta ini, toleransi diatur dalam kerukunan, intern umat beragama, antar umat beragama, dan antar umat beragama dengan pemerintah. Ini cukup baik. Dalam bahasa ulama,  toleransi dikristalisasikan dalam persaudaraan, seagama, antarumat beragama atau sesama warga negara,  dan sesama manusia (أخوة دينية، أخوة وطنية، أخوة بشرية).
Dalam Islam ditegaskan,  bahwa “orang Islam itu saudara orang Islam, tidak boleh saling mendhalimi,  kalau saudaranya membutuhkan bantuan,  wajib menolongnya. Barangsiapa menolong kesulitan saudaranya,  Allah akan menolongnya si hari kiamat” (Al-Bukhari dan Muslim). Antara muslim satu dengan lainnya,  laksana satu bangunan, antara dinding satu dan lainnya saling mengikat (Al-Bukhari dan Muslim). Antara orang yang beriman, ibarat satu jasad dalam cinta, kasih sayang, dan saling peduli, jika satu anggota sakit,  yangblain merasakan sakit (Al-Bukhari dan Muslim).
Antar umat beragama,  Allah memberi contoh sangat kongkrit untuk menghormati pilihan agama seseorang. Abu Thalib,  paman nabi Muhammad saw, secara lahiriyah melindungi beliau dan perjuangannya menyampaikan ajaran Islam,  terutama pasca wafatnya Sayyidatina Khadijah al-kubra, yang diharapkan bersyahadat,  hingga akhir hayat masih belum mengingkrarkannya. Beliau sedih dan ditegur oleh Allah, “sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak bisa memberi petunjuk (هداية) orang yang engkau cintai,  karena Allah (saja) yang memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Qashash: 56).
Allah tidak memaksa dalam beragama (QS. Al-Baqarah: 256). Karena Allah telah memberi kemampuan akal dan hati pada manusia untuk memilih. Di hadapan Allah,  Islam ditetapkan sebagai agama yang diakui-Nya (QS. Ali ‘Imran: 19). Orang Islam, wajib menghormati pilihan agama orang lain, “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6).
Bagaimana dengan QS. Al-Maidah: 51? Sebenarnya bagi kaum Muslim Indonesia, secara de facto,  sudah terbiasa dengan pemimpin yang tidak seagama. Toh ketika pemimpin yang non-muslim itu bisa menjaga omongannya layaknya seorang pemimpin yang ngayomi dan melindungi, bukan nggusuri dan menyengsarakan, dapat dipastikan tetap dihormati. Al-Qur’an menegaskan,  “janganlah kalian mengumpat orang-orang (musyrik) yang mengajak tidak ke jalan Allah, mereka akan mengumpat Allah dengan nada permusuhan tanpa mengetahui… “(QS. Al-An’am: 108). Haruskah orang Islam ikut menjaga gereja? Atau non-Islam menjaga masjid? Soal ini mestinya yang menjawab presiden, sebagai pemimpin tertinggi. Kalau seluruh pimpinan dan umat beragama jujur dan dapat membimbing umatnya dengan baik, toleran, saling menghormati, soal jaga gereja atau jaga masjid tidak perlu terjadi. Konon Gus Dur memerintahkan Banser melalui Anahor dan Habib Lutfi “merestui” niatnya,  adalah untuk menjaga NKRI yang harga mati.
Tetapi menolong atau menengok orang lain yang sakit,  boleh saja kepada tetangga yang beda agama. Karena memaknai toleransi tidak perlu berlebihan.
Bagaimana Fatwa MUI tentang pemaksaan terhadap orang Islam, oleh pengusaha kepada karyawannya yang muslim, memakai atribut natal? Inilah pemicunya.  Atau misalnya, pengusaha muslim memaksa karyawannya non-muslim memakai pakaian yang bisa dimaknai sebagai pemaksaan memakai atribut muslim? Jika ini terjadi,  pasti akan jadi isu internasional?
Ilustrasi di atas kiranya jelas dan gamblang. Kata kuncinya pada sikap tegas dan keteladanan pemimpin. Karena pemimpin itu adalah amanat, menyampaikannya kepada yang berhak dan menegakkan hukum secara adil (QS. Al-Nisa’: 58). Siapapun  warga negara ini jika berbuat sesuatu yang merusak dan mengganggu keberagamaan orang lain, harus dan wajib hukumnya ditindak tegas sesuai undang-undang yang berlaku. Tanpa melihat apa agamanya. Jangan dibalik-balil,  kalau kebetulan yang melakukan orang Islam,  langsung dicap teroris, bahkan ditembak mati tanpa proses pengadilan. Sementara jika yang melakukan non-Islam, itu hanya oknum saja,  dan tidak perlu dibesar-besarkan. Tetapi bahkan “dilindungi”. Ini yang pasti akan merusak bangunan toleransi yang sudah kokoh secara perlahan mengalami keropos dan hancur berkeping-keping. Terlalu mahal ongkos sosial politiknya,  jika sudah demikian. Perang saudara di depan mata. Na’udzu biLlah.
Pemimpin agama yang mayoritas memiliki toleransi, sikap tegas dan adil,  tidak sewenang-wenang dengan hanya besar dalam jumlah,  yang minoritas juga jujur dan adil, tidak memanfaatkan toleransi oleh jumlah besar dalam kuantitas,  untuk kepentingan-kepentingan ego sektoral. Jika pemimpin sudah lupa memperhatikan kepentingan rakyat dan mementingkan kelompok tertentu, maka tunggu kehancuran itu akan segera tampak nyata, lambat atau cepat. Allah a’lam bi al-shawab.
Semoga bangsa Indonesia ini dilindungi oleh Allah,  dan pemimpinnya diberi kesadaran hati dan pikirannya,  untuk lebih mementingkan kepentingan rakyat dan bangsanya, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amin.
Wassalamu’alaikum wrwb. 
Slawi Tegal, 21/1/2017.

Silahkan Hubungi Kami