SILATURRAHIM DAN KEMANUSIAAN

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Rasulullah saw mengingatkan kita sebagai umatnya untuk terus berjuang dan berusaha sekuat
tenaga untuk mensyukuri anugerah dan karunia Allah. Beliau meskipun sudah dijamin surga oleh Allah,
dijaga dari kesalahan (ma’shum), dan sosok manusia sempurna, akan tetapi beliau mensyukuri karunia
Allah itu semua dengan memaksimalkan ibadah qiyamu l-lail — menghidupkan malam, terutama
sepertiga terakhir dengan shalat tahajjud, tasbih, hajat, dan lain-lain — hingga kaki beliau bengkak, dan
ada yang menyebut berdarah-darah. Kala isteri tercinta, ‘Aisyah ra. bertanya, beliau menjawab dengan
sangat bijak : “Apakah salah jika aku ingin menjadi hamba-Nya yang pandai bersyukur”.
Wujud syukur yang terbaik adalah menjalankan ibadah sebagaimana diperintahkan oleh Allah,
dengan memanfaatkan semua anugerah dan karunia-Nya untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Pertama, karena “kontrak” kita, ketika Allah menciptakan kita hidup di dunia ini, adalah untuk beribadah
mengabdi kepada-Nya (QS. Al-Dzariyat (51): 56).
Allah ‘Azza wa Jalla memuliakan kita manusia. “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Manusia hidup di dunia ini, tidak akan sempurna, tanpa silatrrahim. Silah artinya menyambung,
rahim artinya kasih sayang. Dengan kata lain, di antara sesama manusia yang normal, pasti ada perasaan
dan hubungan kasih sayang. Karena di dalam silaturrahim itulah, kemuliaan dan kesempurnaan hidup
manusia itu dapat dibangun dan diwujudkan.
Silaturrahim adalah wujud dan ekspresi keimanan dan ketaqwaan seseorang. Meskipun boleh jadi,
ada orang yang mengaku tidak bertuhan alias ateis, akan tetapi ia memiliki hubungan kasih sayang
dengan orang lain. Tentu ini, karena Allah Tuhan Sang Pencipta telah menyediakan fasilitas dalam diri
orang tersebut, dan dia tidak menyadari akan kemurahan Allah yang ia terima dan gunakan.
Rasulullah saw mengingatkan, “Tidak termasuk golonganku, apabila yang muda atau yang kecil, tidak
menghormati yang tua atau yang besar, sebaliknya, tidak termasuk golongan umatku manakala yang tua
atau yang besar, tidak menyayangi yang muda atau yang kecil”.
Tradisi atau “ritual” halal bi halal yang pelaksanaannya di berbagai kantor, hingga melewati bulan
Syawal, ini karena inisiatif dan kreasi (bid’ah) halal bi halal ini, sesungguhnya adalah perwujudan dan
kemasan cerdas dari ajaran silaturrahim. Karena awalnya, ada nuansa untuk menyejukkan atau
menghilangkan kepenatan hubungan politik, maka silaturrahim ini, menjadi instrumen yang ampuh,
untuk melakukan rekonsiliasi dan merukunkan kembali, akibat ada sedikit gesekan kecil. Inilah hebat
dan rahasia silaturrahim antara sesama anak manusia.
Dalam bahasa Rasulullah, “dua orang (Muslim) yang berjumpa, kemudian bersalaman (mushafahah)
maka dosa keduanya telah diampuni (oleh Allah) sebelum kedua orang itu berpisah” (Riwayat Ahmad,
Abu Dawud, dan at-Tirmidzi).
Rasulullah saw mengajarkan, silaturrahim sebagai indikasi kesalehan seseorang. Ikrar kita sebagai
muslim ketika mengakhiri salam, dengan memekarkan tangan dan menengok ke kanan dan ke kiri,
adalah ikrar untuk berbagi kesejahteraan dan kasih sayang. Dengan membayar zakat baik fitrah atau
mal, adalah perintah agama sebagai perwujudan kasih sayang kepada sesama yang hidup dalam
kekurangan. Puasa yang kita jalankan, tak akan sempurna tanpa kita harus berbagi makanan, apakah
untuk sekedar takjil berbuka dan sahur, juga zakat, infak, dan sedekah. Dengan demikian, kita diijinkan
oleh Allah kembali kepada fithrah kesucian laksana bayi yang baru lahir dari rahim ibu. Untuk
memastikan kemabruran ibadah haji, Rasulullah saw tegas menganjurkan agar, pertama, menebar
kesejahteraan, kedamaian, dan keselamatan. Kedua, memberi makan kepada orang yang

membutuhkan. Ketiga, bersilaturrahimlah untuk menyambung tali kasih sayang, dan keempat, shalatlah
kamu sekalian ketika kebanyakan orang pada tidur nyenyak”.
Untuk dapat menjalankan silaturrahim dengan baik, maka semua sifat dan sikap bendi, iri, hasud,
dengki, takabur, ujub, sumah, dan riya, dendam, jotaan, dan sifat buruk dan asosial lainnya, harus
dibuang jauh-jauh dari diri kita. Siapapun yang dalam dirinya masih menyimpan kebencian kepada orang
lain, maka akan mengancam kebahagiaan dirinya, dan akan menghambatnya masuk surga.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Ngaliyan, Semarang, 20/6/2019.

Silahkan Hubungi Kami