MENGUBAH MINDSET DAN PRILAKU BERZAKAT ?

Published by achmad dharmawan on

Puasa hampir berakhir, aktifitas kaum Muslimin meningkat, banyak yang menghabiskan malam-malam sepuluh hari ini dengan beriktikaf di Masjid-masjid yang dirasakan lebih menghadirkan kekhusyukan. Dalam waktu yang sama, mereka yang kurang berdisiplin mengatur waktu, ada juga yang rela mengorbankan waktunya untuk membeli kebutuhan lebaran.

Bulan Ramadhan dapat disebut bulan zakat. Karena puasa tak akan sempurna dan bahkan “pahala puasa” tidak akan dicairkan, atau digantung di antara langit dan bumi, sebelum zakat fitrah dibayarkan. Bersamaan dengan itu, di bulan Ramadhan juga kewajiban membayar zakat mal, dijalankan. Meskipun sebenarnya tidak harus di bulan Ramadhan, namun karena ada syarat haul (satu tahun) dan nishab (batas kepemilikan minimal wajib zakat, maka seakan menjadi kewajiban bayar zakat di bulan Ramadhan.

Baznas (2018) dan Menteri PPN merilis potensi zakat di Indonesia ini mencapai 217 trilyun rupiah/pertahun. Rata-rata zakat yang dihimpun, belum sampai 4 persen. Jika data ini benar, apakah harta zakat yang 90 persen, tidak dibayarkan oleh para muzakki, atau para muzakki membayar dan mendistribusikannya secara langsung kepada mustahik. Tentu ini dibutuhkan penelitian yang akurat. Menurut Bambang Sudibyo, ketua Baznas, setiap tahun, penghimpunan zakat nasional mengalami pertumbuhan rata-rata 30,55 persen. Pada 2016, zakat yang berhasil dihimpun organisasi pengelola zakat baik Baznas maupun LAZ adalah sebesar Rp 5.017,29 miliar, dan meningkat menjadi Rp 6.224,37 miliar pada 2017 dan Rp 8.100 miliar pada 2018.

Sementara data rata-rata penyaluran zakat nasional, sebesar 66,03 persen dari total zakat yang dihimpun. Pada 2016, zakat yang berhasil disalurkan ke masyarakat adalah Rp 2.931 miliar, sementara pada 2017 sebesar Rp 4.860 miliar. Dari jumlah penyaluran zakat pada 2017, sebesar 78,1 persen telah disalurkan ke delapan golongan mustahik nasional. “Kita harapkan tahun ini tingkat penyaluran terhadap penghimpunan zakat dapat mencapai angka 80 persen,” kata Ketua Baznas.

Mindset Pemahaman Fikih Zakat

Agar potensi zakat secara nasional yang sangat besar tersebut dapat dihimpun, dikelola, dan didistribusikan dengan baik, hemat saya ada beberapa hal yang urgen dilakukan, utamanya oleh Baznas, selaku pemegang otoritas perzakatan di Indonesia.   Pertama, merubah mindset pemahaman fikih zakat yang spiritnya adalah “tu’khadzu min aghniyaaihim wa turaddu ilaa fuqaraaihim” artinya “diambil dari orang kaya dan diberikan (dikembalikan) kepada para fakir miskin (dan mustahik lainnya) dengan langkah proaktif Baznas mengekuarkan Surat Pemberitahuan Wajib Zakat (SPWZ) secara tahunan.

Kedua, sosialisasikan kepada seluruh warga masyarakat Muslim, bahwa pembayaran seluruh zakat baik mal maupun fitrah, diserahkan kepada Baznas atau OPZ yang melaksanakan tugas pembantuan dalam menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan zakat. Fahamkan masyarakat bahwa pembayaran zakat itu “harus” atau bahkan “wajib” melalaui Baznas atau OPZ yang sah. Dasarnya adalah, QS. At-Taubah 60, bahwa penempatan Amil (wa l-‘aamiliina ‘alaihaa) pada urutan ketiga setelah fuqara’ dan masakin, adalah sebagai bentuk dan panduan prioritas penerima zakat. Ini sejalan dengan kaidah yang dirumuskan oleh Muhammad Abu Zahrah (1998) “al-ashlu fii z-zakaati an yajma’ahaa kullahaa waliyyu l-amri au man yanuubu ‘alaihi” artinya “pada dasarnya zakat itu semuanya dikumpulkan oleh uli l-amri (waliyyu l-amri) atau kembaga yang (ditunjuk) mewakilinya”.

Ketiga, penempatan Amil atau OPZ pada urutan ketiga ini, sebagai wujud jaminan bahwa zakat bisa dihimpun, dikelola, dan disistribusikan dengan baik. Zakat mal musti disalurkan dengan format zakat produktif, guna mengurangi atau menghapus angka kemiskinan secara terstruktur, sistemik, dan berkelanjutan. Ada empat fungsi pokok Amil, 1). Menjamin dan mengingatkan manusia yang sudah mampu membayar zakat (muzakki) agar disiplin membayar zakat melalui amil. 2). Mengontrol agar mustahiq tidak menerima zakat dari berbagai sumber, karena para mustahik ada yang tidak lagi merasa malu jika harus menengadahkan kedua tangan untuk meminta-minta, sementara masih sangat banyak mereka yang hidup dalam kekurangan, namun martabat dan harga dirinya lebih kuat untuk menghalau dirinya untuk meminta-minta. 3). Menjaga “air muka” atau “rasa malu” atau “harga diri” mustahik, agar tidak perlu meminta-minta ketika berhadapan secara langsung dengan para muzakki. Sekaligus menghindarkan sifat dan sikap muzakki dari sifat sombong, takabbur, dan sum’ah, yang dilarang oleh agama, yang menurut Syeikh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandary adalah bentuk awal kesyirikan. 4). Menyeleksi mustahiq mana yang harus diberi zakat produktif, mana yang konsumtif, karena tidak memungkinkan lagi jika harus dipaksa untuk melakukan usaha yang produktif.

Keempat, Baznas membekali surat tugas kepada petugas zakat untuk melakukan tagihan zakat. Sudah barang tentu harus dikakukan dengan metode dan tata cara yang sopan, berakhlak yang mulia. Bahwa pada awalnya, boleh jadi akan ada reaksi dari masyarakat, adalah hal yang wajar. Tentu Baznas dan OPZ harus profesional, amanah, dan transparan, sehingga masyarakat, utamanya para muzakki, percaya penuh, bahwa harta zakat yang mereka keluarkan melalui Baznas, dapat dipastikan sampai pada address atau alamat mustahik yang berhak menerimanya.

Kelima, prilaku berzakat ini perlu sosialisasi dan pengkondisian, agar tidak ada lagi zakat dibagi secara langsung oleh muzakki kepada mustahik. Ini akan menimbulkan dampak yang tidak baik, dari sisi budaya dan mental mustahik, juga sifat riya bagi para muzakki, juga dampak positif zakat untuk menghalus atau mengurangi angka kemiskinan, tidak banhak dirasakan. Selamat menghitung dan membayar zakat melalui Baznas dan OPZ.

Allah a’lam bi sh-shawab.

AR

Silahkan Hubungi Kami