BELAJAR KEBERAGAMAAN DI AMERIKA SERIKAT (1) (41)

Published by achmad dharmawan on

Oleh Ahmad Rofiq

Alhamdulillah atas kehendak Allah, saya mendapat kesempatan ikut diundang Pemerintah Amerika Serikat (AS) sebagai peserta IVLP (International Visitor for Leadership Program) 8-21 Maret 2019 di Washington DC (District of Columbia) ibu kota Negara Amerika Serikat, Negara Bagian Detroit, dan Los Angeles. Kualifikasi peserta dianggap sebagai tokoh agama — meskipun saya sendiri lebih nyaman sebagai orang yang ingin dekat dan melahani melayani ulama — dalam rangka bersama-sama mempromosikan toleransi (tasamuh) dalam kehidupan beragama.
Judul di atas, boleh jadi akan menimbulkan tanggapan yang tidak pas, bagi yang memang berbeda cara pandang dan pemahamannya terhadap AS. Saya memilih diksi “keberagamaan”  bukan belajar agama.  Mengapa, kita mengetahui AS adalah negara sekuler dan tidak membiayai kegiatan apapun yang berkaitan dengan agama, apapun agamanya. Regulasinya mengatur, negara tidak boleh ikut campur tangan dalam urusan agama.

Di AS pemeluk agama Islam mengalami pertumbuhan signifikan, bahkan di Washington, Detroit, dan Los Angeles California, banyak masjid dan Muslim Center yang masjidnya cukup besar. Mayoritas menganut Kristen Protestan, ada Katholik, Yahudi, Zoroaster, dan lain-lain. Semua diberi hak dan kedudukan yang sama. Dan sepenuhnya dibiayai oleh diri mereka sendiri dan sponsor dari para aghniya’, dermawan, atau filantrophy.

Pertama yang muncul di benak saya, menggugah ingatan ungkapan seorang tokoh pembaharu Syakib Arsalan di tahun 1970-an yang mengatakan, “saya ke dunia Barat lebih menemukan Islam di sini, dan saya tidak menemukan Islam di negara yang mayoritas warganya menganut Islam” (1970). Dengan tanpa bermaksud menyinggung siapapun, malu rasanya sebagai orang Islam, namun tidak atau belum mampu menunjukkan keberagamaan Islam yang sesungguhnya telah digariskan, diajarkan, dan diteladankan oleh Rasulullah saw.

Jika ketemu yang “layak diduga muslim” mereka mengapa dengan salam. Bagi yang lain, setidaknya menyapa dengan hai, morning, atau afternoon, dan evening. Maksudnya tentu good morning, good afternoon, atau good evening. Saya sempat tanyakan kepada teman yang mendampingi selama di AS, Charles, Kae, dan Pramukti, sebagian besar warga AS begitu.

Kedua, mereka memiliki kedisiplinan yang tinggi, mulai dari soal menyebrang jalan, mengendarai mobil, dan bahkan merokok pun, dengan penuh kesadaran mereka patuhi. Tidak ada pejalan kaki yang menyebrang jalan yang tidak pada tempat penyebrangan, meskipun jalanan agak sepi.

Kata Roby, yang menjemput untuk hadir di Masjid Al-Thohir di Los Angeles, penegakan hukumnya sudah berjalan denban baik tanpa pandang bulu. Penyeberang jalan sembarangan bisa kena denda 100 $US, mobil melanggar marka pasti akan terdeteksi oleh kamera, dan dendanya sampai 500 $US.

Ketiga, budaya menjaga kebersihan yang sangat baik. Memang fasilitas tempat sampah hemat saya sudah sangat baik, kokoh, dan dipilah mana sampah yang bisa didaur ulang, dan mana yang tidak. Makan di restoran begitu selesai, dapat dipastikan seseorang akan membawa langsung ke tempat sampah, terutama yang di foodcourt dan yang menggunakan bahan plastik agau sekali pakai.

Ini juga mengingatkan ketika saya berkesempatan visiting professor di Kampus Utrecht Belanda. Budaya bersih dan kebersihan yang dalam ajaran Islam, menjadi ajaran paling pertama menjadi topik bahasan dalam segiap kitab fiqh, bab al-thaharah, dan an-Nadhafah min al-Iman, namun kebiasaan kita lebih senang sibuk perdebatan teoritiknya, katimbang urusan mengimplementasikan ajaran kesucian dan kebersihan.

Keempat, dalam budaya antri, baik di jalan, di restoran, atau di bookstore, mereka lebih tertib dari pada kebanyakan warga kita. Di jalanan yang macet sekalipun, sangat jarang terdengar suara klakson, mereka cenderung menjaga jarak, dan keamanan berkendara, mereka lebih tertib dan juga sopan. Bahkan ketika berkesempatan ke studio tour di Warner Brothers (ditulis dengan Warner Bros), diantar naik seperti mobil golf tapi penumpangnya banyak, semua penumpang diminta mengenakan sabuk pengaman. Padahal hanya berjalan di kawasan studio,yang jalannya kira 5-10 km/perjam.

Kala terjadi penembakan teroris di Masjid An-Noor di Kota Cristchurh New Zealand Jumat 15/3/2019 lalu, para pemimpin agama non Muslim, berdatangan dengan membawa bunga dan tulisan-tulisan bernada bela sungkawa. Seperti juga di New Zealand, banyak warga Non-Muslim yang menunggui dan menjaga saudara-saudara Muslim yang sedang mengerjakan shalat.

Ini mengingatkan saya dengan buku, “Limaa dzaa Taakhkhara l-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum” yang artinya “Mengapa Umat Islam Terbelakang dan Maju yang Non-Muslim”? Karena itu, kiranya tidak salah, jika mita belajar keberagamaan kepada mereka. Karena hikmah, wisdom, atau kebijaksanaan, itu di mana pun dan dari siapapun kita bisa dapat, maka harus kita ambil, karena itu datang dari Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Hakikat keberagamaan adalah kasih sayang, mewujudkan sifat Rahman dan Rahim Allah, yang setiap saat kita memulai perbuatan yang baik selalu kita baca. Agama apapun menekankan dan menempatkan ajaran kasih sayang ini menjadi fondasi dasar kehidupan manusia. Adalah sangat aneh, jika mengaku beragama akan tetapi dengan mengutip atau meneriakkan Allah Akbar, akan tetapi melakukan tindakan barbar, brutal, dan jauh dari kemanusiaan.

Allah a’lam bi sh-shawab. (Bersambung).

Los Angeles International Airport-Beijing, 22/3/2019.

Silahkan Hubungi Kami