MUI DAN PEMILIHAN UMUM 2019 (20)

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Alhamdu liLlah, segala puji hanya milik Allah. Mari kita senantiasa bersyukur atas anugrah
dan karunia Allah, Tuhan Sang Penguasa yang sesungguhnya terhadap alam raya ini. Hanya atas
kekuasaan dan anugrah-Nya, kita sehat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita. Shalawat
dan salam mari kita terus lantunkan mengiringi Allah dan para Malaikat yang senantiasa
bershalawat untuk Baginda Nabi Muhammad Rasulullah saw. Semoga tercurah juga pada
keluarga, sahabat, dan pengikut yang komitmen meneladani beliau, dan kelak kita di akhirat
mendapatkan syafaat beliau.
Saudaraku, selain menghadiri acara akademik di Program Pascasarjana IAIN Sorong Papua
Barat, saya juga mendapat undangan khusus dari Ketua Panitia Pusat Rakernas Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Dr. KH. Muhammad Shodiqun, untuk menjadi peserta dan tim perumus komisi
rekomendasi. Setelah perumusan oleh tim, diamanati membacakan hasil rumusan komisi
rekomendasi, yang diketuai KH. Muhammad Cholil Nafis, MA, Ph.D.
Di antara rekomendasi yang disampaikan oleh peserta Rakernas MUI adalah hal-hal
berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum serentak, yang akan dilaksanakan 17/4/2019.
Masyarakat yang memiliki hak pilih, akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI,
anggota DPR Daerah (DPRD) Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota di masing-masing
daerah pilihan masing-masing.
Bagi warga masyarakat yang baru pertama kali dan atau warga yang sudah berusia agak
lanjut, membutuhkan sosialisasi yang cukup. Karena para pemilih akan menerima lima lembar
kertas suara, masing-masing dengan gambar partai pengusung dan gambar foto para calon.
Karena pemilu serentak ini merupakan pengalaman pertama dalam sejarah even demokrasi di
Indonesia, maka peserta Rakernas merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, semua warga diminta menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon sesuai
dengan hati nuraninya dan tidak memilih golongan putih (golput) atau tidak memilih. Memilih
pemimpin (nashbu l-imam) adalah kewajiban kolektif (wajib kifayah) demi terpilihnya
pemimpin yang berilmu, memahami hukum, kredibel (amanah), tidak korupsi dan tidak nepotis.
Meminjam bahasa fiqh, mereka adalah ‘alim, faqih, aura’, dan akbaru sinnan. Golput memang
bagian dari hak setiap warga, akan tetapi sangat disayangkan. Bahwa calon yang ada boleh jadi
belum ada yang ideal menurut penilaian para pemilih, Islam menganjurkan, memilih yang
terbaik dari yang ada.
Betapa penting adanya pemimpin, daripada terjadi kekosongan pemimpin, Ibnu Taimiyah
mengatakan “sittuna ‘aam ‘alaa imamin jaairin afdlalu min lailatin bi laa sulthaanin” artinya
“enam puluh tahun di bawah pemimpin yang brengsek atau korup, masih lebih utama dari pada
semalam tanpa pemimpin”. Tentu kita semua sangat-sangat tidak berharap mempunyai
pemimpin yang korup atau merusak. Seperti “dalil” Lord Acton “the power tends to corrupt and
the absolute power tends to corrupt absolutely” artinya “kekuasaan itu cenderung merusak
atau korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung merusap atau korup secara absolut”.
Kedua, para penyelenggara pemilu mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari pusat
hingga daerah, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) diharapkan dapat menyelenggarakan even demokrasi ini dengan amanah, jujur

dan adil, serta profesional. Pemilu sebagai bagian proses berdemokrasi, harus dikawal secara
jujur dan adil, agar mampu menghasilkan pemimpin yang adil dan amanah. Tidak mudah
memang, karena biaya politik di negeri ini, konon sangat mahal, lebih lagi durasi masa
kampanye tahun politik ini sangat panjang, yakni 6,5 (enam bulan setengah) atau satu semester
lebih.
Ketiga, durasi masa kampanye yang terlalu panjang ini dirasakan berpotensi pada tingginya
eskalasi konflik dan kekerasan verbal di masyarakat. Ini sangat dirasakan di media sosial dan
juga media masa, seperti munculnya kata-kata yang semestinya tidak muncul, seperti maaf
“cebong dan kampret”, “sontoloyo dan gendruwo, dan lain-lain, yang baik secara langsung atau
tidak langsung, akan “mengedukasi” atau menjadi “tontonan” anak-anak muda kita yang kelak
akan menjadi generasi penerus bangsa ini.
Keempat, direkomendasikan UU No. 17/2017 tentang Pemilihan Umum, agar pasal-pasal
atau klausul terkait dengan durasi masa kampanye, presidential trashhold, dan lain-lain yang
tidak sejalan dengan nilai-nilai yang diatur dalam UUD 1945 supaya direvisi. Kelima, para calon
baik presiden-wakil presiden, calon anggota legislatif, diminta tidak melalukan politik uang
(money politic), kampanye negatif (black campaign), dan menebar kebohongan (hoax), karena
dampaknya akan mempengaruhi kualitas demokrasi yang sedang dibangun di negeri ini.
Meskipun peserta rakernas MUI, sadar sepenuhnya, bahwa ini sangat sulit, untuk tidak
mengatakan utopis.
Keenam, penyakit dari dampak biaya politik yang sangat mahal ini, adalah masih sangat
maraknya prilaku dan praktik korupsi oleh politisi dan pejabat politik negeri ini. Betapa banyak
kepala daerah dan anggota legislatif, dari pusat hingga daerah yang terkena Operasi Tangkap
Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akan tetapi rupanya tidak ngefek, tidak
nendang, atau tidak mampu memberikan dampak jera pada mereka.
Ketujuh, dampak ikutan lainnya adalah preferensi masyarakat pemilih yang seakan-akan
menjadikan even pemilu ini sebagai “aji mumpung” di mana, mereka seakan tidak merasakan
manfaat dari orang-orang yang mereka pilih, kecuali saat akan memberikan suara mereka. Ini
mengingatkan ungkapan yang bernada menyentil “apa bedanya pil KB dan pilpres, pileg, atau
pilkada”? Tentu jawabannya, “pil KB jika lupa, jadi (hamil), sementara dalam pilpres, pileg, dan
pilkada, kalau sudah jadi lupa”. Ingat lagi ya ketika akan pemilu lagi.
Saudaraku, karena itu, pada tahun 2012 Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Pusat dan Provinsi
seluruh Indonesia, pernah merekomendasikan supaya pemilu kepala daerah dikembalikan
kepada sistem perwakilan, semacam ahlu al-hall wa al-‘aqdi atau DPRD. Calon kepala daerah
pun diusulkan supaya diatur dengan tanpa pasangan. Wakil kepala daerah diajjan dan dipilih
oleh Kepala Daerah terpilih setelah diajukan dan mendapat pertimbangan dari DPRD Provinsi
atau Kabupaten/Kota. Waktu itu sudah direspon dengan revisi UU, akan tetapi setelah dibahas
dan diparipurnakan, kemudian parpol pengusung dan penguasa, justru melakukan walk out,
dan akhirnya dikeluarkan Perppu.
Semoga pemilu serentak 17/4/2019 masyarakat pemilih kita memberikan suara mereka
sebagai bentuk delegasi atau tauliyah pada calon yang dipilih, dengan pilihan yang benar.
Momentum beberapa menit saja di bilik TPS (Tempat Pemungutan Suara) akan sangat
menentukan masa depan bangsa dan NKRI ini. Istafti qalbaka atau “minta fatwalah pada hati
nuranimu”, agar jangan salah dalam menentukan pilihan. Karena pilihanmu itu adalah
tergantung masa depan bangsa dan negaramu. Allah a’lam bi sh-shawab.

Wassalamualaikum wrwb.
Ketinggian 36.000 kaki, Sorong-Surabaya, 25/11/2019.

Silahkan Hubungi Kami