KUDUS, SANTRI, DAN POLITIK (9)

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.

       Alhamdu liLlahi Rabbi l-‘alamin, segala puji hanya milik Allah Tuhan alam raya. Mari kita memuji dan mensyukuri seluruh anugrah dan kenikmatan yang Allah berikan pada kita. Hanya atas anugrah dan pertolongan-Nya, kita sehat afiat, menghirup oksigen gratis, dan dapat menjalankan aktifitas kita.  Shalawat dan salam mari kita senandungkan untuk Baginda Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan pengikut yang setia dan berjuang untuk meneladani beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan oleh Allah, dan kelak di akhirat kita mendapatkan syafaat guna melindungi kita di hari tidak ada perlindungan.

       Saudaraku, peringatan hari santri secara resmi jatuh pada tanggal 22 Oktober 2018,  Senin, 15/10/2018, saya mendapat undangan menjadi salah satu pembicara pada Halaqah Santri yang mengusung tema “Meneguhkan Kudus Religius dan Modern”. Insyaa Allah narasumber yang diundang adalah sesepuh Kudus, KH. Ulil Albab Arwani al-Hafidh, KH. EM Najib Hasan, Ketua YM3SK, Ir. H. Muhammad Tamzil, ST, MT, Bupati Kudus, H. Nusron Wahid, Ketua PBNU, Drs. H. Abdul Hadi, M.Pd., ketua PCNU Kudus, KH. Ahmad Hamdani, Lc., MA, Ketua MUI Kudus, H. Mawahib Afkar, Inisiator Perda Diniyah DPRD Kudus, dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kudus Drs. H. Noor Badi, MM.

       Pertanyaannya adalah, apakah dengan halaqah santri, akan dengan mudah menjadikan Kudus Religius dan Modern? Sudah barang tentu jawabannya, tentu membutuhkan perencanaan yang matang, komitmen untuk menindaklanjuti, dan butuh dukungan politik, serta alokasi anggaran yang memadai. Halaqah ini boleh jadi menjadi “mimpi” awal untuk membangun sebuah komitmen bersama, antara “perwakilan” unsur masyarakat ada ulama, umara, ahlul halli wal aqdi (anggota legislatif), dan tokoh masyarakat.

       Ini mengingatkan kita pada sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Dua kelompok manusia dari ummatku, apabila keduanya baik, maka umat akan baik. Dan apabila dua kelompok manusia tersebut buruk, maka ummat akan buruk pula, yaitu Ulama’ dan Umara’. Dalam riwayat yang lain, para Ahli Fiqh (Fuqaha’) dan Umara (pejabat pemerintah)” (Ibn al-Mubarak).

       Halaqah ini meminjam bahasa “santri” Kudus, adalah “syarah” dari ditetapkannya tanggal 22 Oktober  sebagai Hari Santri Nasional, berdasarkan Keppres Nomor 22 tahun 2015. Dasarnya, peristiwa bersejarah yang membawa bangsa Indonesia meraih kemerdekaan dari para penjajah, yaitu Resolusi jihad yang dicetuskan oleh Pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 oktober tahun 1945 di Surabaya untuk mencegah kembalinya tentara kolonial belanda yang mengatasnamakan NICA. KH. Hasyim Asy’ari menyerukan jihad dengan mengatakan “Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain atau wajib bagi setiap individu“.

       Seruan Jihad yang dikobarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari itu membakar semangat para santri Arek-arek Surabaya untuk menyerang markas Brigade 49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Jenderal Mallaby pun tewas dalam pertempuran yang berlangsung 3 hari berturut-turut tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945, ia tewas bersama dengan lebih dari 2000 pasukan Inggris yang tewas saat itu. Hal tersebut membuat marah angkatan perang Inggris, hingga berujung pada peristiwa 10 November 1945, yang tanggal tersebut diperingati sebagai hari Pahlawan.

       Tentu peran santri di bawah komando KH Hasyim Asy’ari, tidak bermaksud menafikan peran komponen masyarakat lainnya. Maka awal ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional ini, banyak kontroversi yang keberatan. Karena terminologi “santri” tampaknya identik dengan pondok pesantren yang diasuh oleh para Kyai dan Ulama dari Nahdlatul Ulama (NU). Karena antara NU dan Pesantren merupakan “loro-loroning” laksana “dua sisi keping mata uang” yang tidak bisa dipisah-pisahkan. NU yang Pesantren dan Pesantren dan NU.

         Ketetapan Pemerintah yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, menjadi keputusan politik pemerintah yang dicatat sejarah sebagai kekayaan khazanah perjuangan bangsa besar ini. Tentu semua itu, sejarah yang akan lebih obyektif mencatat perjalanan dan jasa para Ulama dan ormas.

       Kudus lebih dikenal sebagai kota kretek. Karena duku ada Nitisemito yang termasuk generasi awal industri rokok. Penerimaan atau pendapatan cukai Kabupaten Kudus yang diperoleh dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) pada Tahun Anggaran (TA) 2018 ini, mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Yakni dari Rp 153 miliar pada TA 2017, menjadi Rp 147 miliar atau tepatnya Rp 147.894.137.000 pada TA 2018. Penyebabnya, antara lain jumlah konsumen rokok di Kudus bekurang (isknews.com).

       Yang terkenal adalah Gusjigang yang merupakan sebuah akronim dari “bagus, ngaji, dagang”. Gus berarti bagus, ji berarti ngaji, gang berarti dagang. Dalam artian bagus akhlaknya, rajin mengaji, dan pandai berdagang. Gusjigang sendiri telah melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Kudus. Terlebih jika memusatkan perhatian ke Kudus kulon, yakni pusat peradaban agama Islam di Kota Kudus. Ini konon adalah wejangan dari Sunan Kudus, Syeikh Ja’far Shodiq.

       Bagaimana santri Kudus sekarang ini dan ke depan akan mampu menjadikan kudus religius dan moderen, sesungguhnya adalah sunnatullah. Para Ulama sudah merumuskan kaidah “al-muhafadhah ‘ala l-qadimi sh-shalih wa l-akhdu bi l-jadidi l-ashlah” artinya “memelihara aturan, tatanan, nilai lama yang baik, dan mengambil aturan, tatanan, nilai yang baru yang lebih baik”. Bagaimana menerjemahkan bagus atau “gus” sosok warga kudus yang berakhlaqul karimah, yang religius, agamis, baik dalam tataran ibadah ritual maupun dalam tataran ibadah sosial.

       Ngaji atau “ji” menjadi kewajiban dan sekaligus tantangan bagi warga Kudus, yang mutlak harus bisa ngaji. Sederhananya, bisa baca kitab kuning atau kitab gundul. Kitab yang tidak menggunakan syakal atau harakat. Bagi santri ngaji model kitab kuning atau kitab gundul ini adalah suatu keniscayaan. Maka model sekolah salafiyah baik yang di kota seperti TBS dan Qudsiyah, Banat, dan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah  di seluruh wilayah Kabupaten Kudus, musti memiliki kemahiran kitab kuning tersebut.

       Dagang atau “gang” ini sesungguhnya keterampilan dasar bagi warga Kudus. Hanya pengembangannya, tergantung dari seberapa lingkungan dan passion dari masing-masing warga Kudus. Rasulullah saw juga selain memberi contoh menjalankan misi dagang sebelum menerima wahyu dan menyamlaikannya kepada umat beliau, bersabda : “‘Alaikum bi t-tijarah fa inna fiha tis’atu a’syari r-rizqi” artinya “Berdaganglah kamu sekalian, karena sesungguhnya di dalam dagang itu sembilan persepuluh (9/10) jalan rizqi”.  Dunia dagang ini yang sekarang sudah mengalami percepatan modernisasinya. Ada bisnis online, yang sekarang sudah mensponsori persepakbolaan, fintech (financial technology), emoney, etoll, dan lain-lain produk yag serba elektronik. Persoalan fiqh yang harus menyesuaikan melalui ushul fiqh oriented, agar Islam yang shalih li kulli zaman wa makan atau Islam itu serasi dengan setiap waktu dan ruang dapat mengikuti perkembangan, tanpa harus kehilangan jati dirinya.  Allah a’lam bi sh-shawab.

Wassalamualaikum wrwb.

Oleh Ahmad Rofiq

Pascasarjana UIN Walisongo, 14/10/2018.

Silahkan Hubungi Kami