Al-Kandahlawi

Published by achmad dharmawan on

Tanggal 24 Mei 2018
Al-Kandahlawi
Oleh: Ahmad Hasan Asy’ari Ulama’i

Tanggal 24 Mei 1982 merupakan wafatnya seorang ulama yang karyanya cukup monumental di bidang HAdis, yaitu Muhammad Zakarīyyā ibn Muhammad Yahyá ibn Muhammad Ismail al-Kandhlawi, beliau merupakan Ulama Sunni dari India.
Karya beliau yang cukup populer adalah Awjāzul Masālik ilá Mu’attā Imām Mālik, juga Fadha’il-e ‘Amal (telah diterjamahkan dalam bahasa Indonesia dengan Fadhilah Amal), sebagai buku penting bagi Jamaah Tabligh untuk berdakwah. (https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Zakariya_al-Kandhlawi)
Masa kecilnya terdidik disiplin untuk menghafal Al-Qur’an bahkan didukung ibunya saat menyiapkan makanan baru dihidangkan setelah al-Kandahlawi menghafal Al-Qur’an. Ia mempelajari 6 kitab hadis saat umur 18 tahun kepada Maulana Muhammad Khalil as-Saranpuri (penyusun kitab Badzlul Majhud syarh Sunan Abi Dawud), dan pada umur 20 tahun diangkat sebagai guru hadis di pesantren Madhahirul Ulum as-Saranpur, yang menghantarkannya dijuluki sebagai syaikhul hadis.
Hijrah ke Madinah dan menyusun kitab Aujaz al-Masalik dalam 15 Jilid saat ia masih berusia 29 tahun. Selain as-Saranpuri ada beberapa guru lainnya yang turut membentuk sosoknya ini. Dan karena alimnya tersebut beberapa murid al-Kandahlawi juga sukses melanjutkan keilmuannya seperti Abdul Fattah Abu Ghuddah, Muhammad bin Alawi al-Maliki, Syiraj Ahmad al-Barmawi, Mushthafa as-Siba’I dan lainnya. (https://cahtemboro.blogspot.co.id/2016/12/biografi-singkat-maulana-muhammad.html)
Belajar dari sosok al-Kandahlawi serta keluarga yang turut membentuknya, penting bagi kita untuk mengikuti jejaknya. Yang paling menarik dari pelajaran ibunya saat al-Kandahlawi dalam proses menghafal al-Qur’an, ibunya tidak menghidangkan makanan hingga al-Kandahlawi mengulang hafalannya. Cara terakhir ini telah dipraktekkan di beberapa pondok penghafal al-Qur’an yang mana ibu atau keluarganya memiliki tanggungjawab untuk ikut mengawal hafalan sang anak agar tetap kokoh dalam ingatannya.
Pelajaran penting lainnya adalah menyusun syarak hadis Muwaththa’ Malik, sekalipun kitab hadis himpunan Imam MAlik ini relative paling sedikit dibandingkan dengan kitab himpunan hadis lainnya, seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan at-Turmudzi, Aunan Abi Dawud, Sunan Ibn Majah apalagi Musnad Ahmad bin Hanbal, namun kegigihannya dan keseriusannya memberikan komentar hadis-hadisnya Muwaththa sedemikian detail hingga mencapai 15 jilid besar. Hal ini bukanlah sesuatu yang ringan, melainkan butuh ketekunan dan kedisiplinan sehingga dalam usia masih muda yaitu 29 karya itu ia susun.
Al-Kandahlawi memiliki karya tidak terlalu banyak namun cukup monumental, sekaligus fungsional, seperti kitab Fadail a’mal yang dijadikan buku dakwah bagi kelompok majelis Tabligh. Ayo jadikan kisah ini sebagai inspirasi untuk mengikuti jejaknya, insyaallah Allah akan memberikan kekuatan untuk hamba-Nya yang ingin berjuang untuk agama-Nya ini.

Silahkan Hubungi Kami