KALA SESEORANG “MEMANEN KEHINAAN” DARI JABATANNYA

Published by achmad dharmawan on

http://seedlessapps.com/

Assalamualaikum wrwb.
      Mari kita ungkapkan puji dan syukur kita ke hadirat Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya atas anugrah dan pertolongan-Nya kita sehat afiat dan dapat menjalankan aktifitas kita dengan nyaman. Shalawat dan salam mari kita senandungkan pada Baginda Rasulullah saw,  keluarga, sahabat,  dan para pengikut yang mencintai beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan oleh Allah, dan di akhirat nanti kita mendapat syafaat beliau.
     Saudaraku, sebagai manusia yang dikaruniai akal fikiran, kita diberi pilihan untuk memilih jalan yang baik atau yang buruk. Ketika manusia dilahirkan dari rahim ibu ke muka bumi ini, manusia dibekali fitrah atau kesucian. Kedua orang tua yang akan merubahnya, menjadi apakah fitrah itu akan berkembang sesuai dengan dasar fitrahnya, atau akan berubah menjadi buruk yang menguasai dirinya. Karena selain fitrah yang menurut filosuf kenamaan Ibnu Sina adalah potensi baik, benar, dan indah, bisa berubah menjadi jahat dan pelaku kejahatan. Ini karena di dalam diri manusia juga disertai potensi-potensi buruk. Jika yang baik yang dominan, maka manusia akan jadi baik, akan tetapi sebaliknya, jika yang berkembang adalah nafsu lawwamahnya, maka seseorang akan berubah menjadi jahat dan bisa menjadi penjahat.
       Saudaraku, jabatan atau kekuasaan, adalah bagian dari garis atau jatah “rizqi” seseorang, meskipun ada proses yang dalam model demokrasi sekarang ini, tetap memerlukan proses dan persyaratan yang harus dipenuhi. Atau bahkan dengan cara harus “membeli” suara. Maka terminologi “mahar politik”-pun mengemuka, “walimah, nafkah, dan sedekah” politik pun. Bahkan ada yang memaksakan dengancara “korupsi berjamaah”, seperti yang sedang ditangani KPK, dalam kasus e-KTP, yang tampak sekali disiapkan secara “berjamaah” dan “sistemik”.
      Saudaraku, senyampang ini bulan Rajab, bulan mulia, mari kita gunakan untuk melakukan introspeksi diri atau muhasabah, untuk bersama memahami dan memaknai apa sesungguhnya jabatan itu. Mengapa Allah menunjukkan dengan sangat gamblang, bahwa kekuasaan (al-mulk yang bisa juga diartikan kerajaan, al-malik artinya raja) itu adalah bagian dari realisasi kuasa Allah, sebagaimana ayat berikut:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Kayakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakannorang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali ‘Imran:26).
       Hanya memang manusia itu jika ingin merubah nasibnya, ia harus berusaha atau berikhtiar untuk merubahnya. Apalagi di era demokrasi langsung seperti sekarang. Akan tetapi mari kita juga bertanya, mengapa Rasulullah saw melarang umatnya untuk meminta jabatan, sebagaimana sabda beliau:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ ، قَالَ : قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ : ” لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ أُكِلْتَ إِلَيْهَا ، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا  رواه مسلم
Menceritakan kepada kami, Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah saw bersabda kepadaku : “Wahai Abdurrahman janganlah kamu meminta jabatan, maka sesungguhnya engkau apabkla diberi jabatan dari meminta, kamu akan merasa berat dengan jabatan itu, dan apabila kamu diberinya jabatan dari tanpa memintanya, maka kamu ditolong dalam menjalankan jabatan itu” (Riwayat Muslim).
       Saudaraku, kutipan di atas sangat idealis, dan hanya ada dalam cerita masa lalu yang bersifat utopis. Bukankah dalam setiap suksesi pemimpin dulunya, cenderung berdarah-darah. Namun setidaknya, ada pesan penting dan universal, bahwa jabatan itu adalah amanah. Kepercayaan dari rakyat yang harus dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada rakyat yang memilihnya, akan tetapi juga kepada Allah Yang Maha Kuasa.
       Jabatan adalah instrumen untuk melaksanakan tugas kenabian, agar hidup dan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Keberagamaannya lebih berkualitas, kesadaran beragamanya mendatangkan kesejukan, kedamaian, dan saling menghormati. Kemakmurannya meningkat. Masyarakatnya hidup bahagia dan nyaman. Persatuan bangsa makin kokoh. Kesadaran berbangsa makin dapat dibanggakan.
      Saudaraku, berulang-ulang saya nyatakan, امير القوم هو خادمهم واخرهم شربا artinya “pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka dan paling akhir giliran minumnya”. Kita bisa belajar kepada Khalifah kedua ‘Umar bin al-Khaththab ra. dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ra. Karena tugas pokok dan fungsi jabatan adalah melayani rakyat, dan memakmurkan mereka. Laksana jamaah dalam shalat, posisi dan kedudukan seorang imam sangat menentukan. Karena itu, imam musti berperan sebagai teladan agar bisa diikuti oleh rakyatnya.
      Sebagai bangsa, kita sedang dirundung duka, prihatin, dan bahkan kegalauan luar biasa, apakah bangsa ini akan menjadi baik atau sebaliknya. Betapa tidak, banyak kepala daerah ditangkap oleh KPK karena kasus korupsi. Kemarin 38 orang oknum anggota DPRD Sumatra Utara ditetapkan sebagai tersangka. Sejak 2004-2017 ada 78 kepala daerah dengan rincian 18 orang gubernur dan 60 orang bupati/walikota “disekolahkan” di lapas “university” oleh KPK. Ini belum pejabat yang lainnya yang jumlahnya pasti lebih banyak. Karena dapat dipastikan, bahwa tindakan korupsi tidak bisa dilakukan secara sendirian, tetapi secara sistematik dan sistemik dengan melibatkan banyak orang. Kalau “berhasil” kemudian “bagi-baginya” tidak merata dan tidak proporsional, maka akan menjadi “bom waktu” yang siap meledak dan KPK akan dengan mudah melakukan OTT karena boleh jadi akibat bagian yang diterimanya, dirasakan “tidak adil” dan ini akan mempercepat sampainya informasi “rencana korupsi” ini kepada KPK.
       “Sing sopo nandur bakal ngunduh” begitu kata bijak leluhur kita di Jawa. Artinya “barangsiapa menanam maka ia akan memanen” hasilnya. Dalam Al-Qur’an ditegaskan,
مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)” (QS. Al-An’am: 160).
       Ini baru di dunia saja balasannya sudah diperlihatkan secara kasat mata. Karena itu, berbahagialah kita dan anda yang menduudki jabatan apapun jabatan kita, yang dapat melaksanakannya dengan amanah, profesional, dan jujur, serta tidak mencoba-coba untuk melakukan korupsi. Yang namanya korupsi entah besar atau kecil, sama-sama harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat dan Tuhan. Kalau kita atau anda sebagai kepala daerah, tidak perlu harus mengikuti “dalilnya” Lord Acton yang menyatakan “the power tend to corrupt, and the absolute power tend to corrupt absolutely”. Artinya “kekuasaan itu cenderung merusak, dan kekuasaan yang absolut cenderung merusak secara absolut juga”.
       Semoga kita dan saudara-saudaraku yang berkesempatan menjadi kepala daerah atau pejabat lainnya apakah di legislatif, eksekutif, dan yudikatif, mumpung kita belum terkena OTT KPK, kita tidak mudah tergoda dan dapat membuang jauh-jauh niat, godaan, atau mungkin provokasi dari para pembisik atau siapapun yang menghasut kita untuk melakukan korupsi. Karena sudah banyak saudara kita yang sudah merasakan dingin dan pengapnya di balik jeruji besi “disekolahkan” oleh KPK di “lapas university” dalam waktu yang lebih lama dari pada masa jabatan yang sudah dilewatinya.
       Mengakhiri renungan ini, mari kita cermati dan resapi pesan Al-Qur’an :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا.
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” (QS. An-Nisa’: 40).
     Karena itu, mari kita berdoa memohon kepada Allah semoga kita selalu dalam petunjuk dan pertolongan-Nya, supaya senantiasa berada di jalan yang benar. Kita diberi kemampuan oleh Allah untuk bisa dan mampu melihat Allah dengan mata hati kita dalam ibadah kita, atau setidaknya kita meyakini bahwa Allah melihat kita. Itulah yang diajarkan oleh Rasulullah saw kepada malaikat Jibril.
   هدانا الله واياكم الى صراط المستقيم ووفقنا الله الى سبيل الحق
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 1/4/2018.
Silahkan Hubungi Kami