“MENGGUGAT” PILKADA LANGSUNG

Published by achmad dharmawan on

Pernyataan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo bahwa 90% calon kepala daerah yang mengikuti kontestasi pilkada serentak tahun 2018 yang akan digelar 27 Juni 2018 adalah berpotensi menjadi “tersangka” korupsi (6/3/2018). Menkopolhukam pun menyarankan agar penetapan tersangka pada para calon yang mengikuti pilkada, untuk menghindari kegaduhan, supaya ditunda. Alasannya pun, agak tidak masuk akal, karena KPK biar tidak dianggap memasuki wilayah politik.
Hari ini, Kamis, 15/3/2018 KPK menetapkan AHM calon gubernur Maluku Utara menjadi tersangka pertama di luar OTT (Jawapos, 15/3/2018). Kapolri pun menyatakan akan menunda pemeriksaan calon kepala daerah (cakada) sampai selesai pelaksanaan pilkada. Tampaknya, KPK sebagai lembaga independen, yang extra ordinary body, menempatkan saran Menkopolhukam dan pernyataan Kapolri sebagai saran. Ini sekaligus sebagai “sindiran” atau bahkan “tamparan” pada Mahkamah Konstitusi (MK) yang belum lama ini memutuskan bahwa KPK adalah bagian dari eksekutif. KPK sendiri menilai putusan MK tersebut sebagai inkonsisten.
        Pada tahun 2012 Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Provinsi se-Indonesia dan Pusat di Pesantren Cipasung Tasikmalaya, sudah pernah mengusulkan supaya pilkada langsung yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditinjau kembali.
       Alasannya, praktik demokrasi satu orang satu suara atau one man one vote ini, meskipun dalam teori politik disebut sebagai fox populi fox dei atau “suara rakyat suara Tuhan”, dalam kenyataannya lebih banyak madharatnya katimbang mashlahatnya. Karena boleh jadi suara Tuhan, dibajak oleh “transaksi-transaksi” politik guna meraih kursi kepala daerah. Kalau pun akhirnya, “kursi panas” itu diraih, KPK tidak lama lagi akan menjeratnya dengan OTT.
       Karena untuk maju pilkada biayanya sangat mahal, maka begitu “walimah politik” kemenangan pilkada usai, maka ancang-ancang untuk menyiapkan “pundi-pundi” mengembalikan modal pun disiapkan. Modusnya, KPK dan publik  pun sudah “hafal”, ini bukan suudhan. Mudah-mudahan tidak. Setengah tahun, pejabat eselon diroling. Di situlah, tawar menawar “harga jabatan” dijalankan. “Loyalitas” dan “patungan iuran” guna mempercepat break event point alias BEP pun, tidak bisa dihindari.
       Pejabat yang eksisting, namun “tidak loyal” pada kepala daerah yang baru, meskipun kompeten dan kapabel, boleh jadi harus menyingkir atau distaf ahlikan. Di sinilah, tafsir loyalitas yang harusnya kepada lembaga dan negara, beralih menjadi loyalitas personal. Setengah tahun lagi, diadakan roling. Dan modus yang sama menjadi “dirutinkan” secara periodik.
       Modus berikutnya, adalah mark up  anggaran di APBD. Tentu ini hanya bisa dimainkan, apabila ada “oknum” ketemu “oknum” yang bisa secara “bergerombol” untuk tidak mengatakan berjamaah, untuk melakukan permufakatan “jahat” demi memuluskan penyimpangan anggaran demi kepentingan pengembalian “modal”.
       Berikutnya, ketika “pembagian proyek” fisik yang pasti dengan biaya besar. Banyak “oknum” kepala daerah yang bahkan memintanya dengan cara “ijon”, karena proyek belum dikerjakan, pi feenya di inta duluan, termasuk untuk tambahan pilkada serentak ini.
       Mengapa, kepala daerah dipilih secara tidak langsung? Sejak pilkada digelar secara langsung pada bulan Juni 2005, implikasinya sangat dahsyat. Biaya politik yang harus dikeluarkan oleh para  calon kepala daerah, menjadi sangat-sangat mahal, mulai dari “mahar politik”, biaya kampanye, walimah politik, nafkah politik, dan hajatan politik bagi yang maju lagi. Padahal biaya pilkada dari APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tidak sedikit.
       Data kepala daerah dan atau cakada yang berurusan dengan KPK Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, data statistik KPK menyebutkan, ada 78 kepala derah yang berurusan dengan KPK. Rinciannya, 18 orang gubernur dan 60 orang wali kota atau bupati dan wakilnya (kompas.com, 19/9/2017). Belum pejabat-pejabat eselon yang banyak juga ikut terkena OTT KPK.
Mendagri menyatakan, “selama tiga tahun masa pemerintahan Presiden ini sudah 33 kepala daerah yang terjerat korupsi. Selama KPK ada sudah 351 kepala daerah yang tertangkap belum lagi anak dan istrinya” (26/9/2017).
       Sebagai bagian dari anak bangsa yang merindukan negeri kita ini yang dulu dikenal religius, fakta tersebut sungguh sangat memilukan. Secara diam-diam anak-anak dan generasi muda kita yang tidak lama lagi akan menjadi pemimpin masa depan, hati dan fikirannya menangis, bahkan mungkin hati mereka “beteriak-teriak” dan galau, mengapa para orang tua kami, tidak memberikan contoh dan pendidikan keteladanan yang baik bagi kami?
       Rekomendasi MUI waktu itu, sebenarnya sudah direspon oleh pemerintah. Pemerintah menyiapkan RUU Pilkada Tidak Langsung, dan sudah disetujui oleh DPR RI tanggal 26 September 2014. Anehnya, Presiden waktu itu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada), Kamis (2/10/2014). Alasannya, Perppu ini intinya mengembalikan mekanisme pelaksanaan pilkada tidak langsung melalui DPRD, yang telah disahkan DPR melalui RUU Pilkada, menimbulkan polemik karena bertentangan dengan keinginan masyarakat yang menghendaki pemilihan secara langsung.
       Apakah para pemimpin bangsa ini baik dari parpol atau pemerintahan masih menghendaki pilkada langsung? Ini diperburuk lagi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memastikan Pilkada 2018 di 19 daerah hanya akan diikuti satu pasang calon atau calon tunggal. Jumlah calon tunggal lawan kotak kosong pada Pilkada tahun ini meningkat dari Pilkada 2017. Pada tahun lalu, dari 101 daerah yang menggelar pilkada, hanya ada sembilan daerah yang diikuti satu pasangan calon.
       Rasanya seandainya kita berfikir cerdas, tidak ada manfaatnya pilkada yang menghabiskan biaya milyaran rupiah yang berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat itu, dihabiskan untuk membiayai pemilihan kotak kosong. Secara formal yuridis memilih kotak kosong adalah sah dan bagian dari sikap politik. Akan tetapi sikap dan nurani politik, mustinya KPU bisa langsung menetapkan pasangan cakada itu sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara definitif. Seperti di Kabupaten Pati tahun 2016 yang lalu, meskipun pilkada digelar dengan biaya Rp 92,5 milyar, kotak kosong ternyata mendapatkan 170.000 suara. Ini ironis demokrasi. Boleh jadi di sembilan daerah yang hanya ada satu pasangan calon, akan mengulang pengalaman yang sama.
       Sila keempat Pancasila menegaskan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Ini mengamanatkan, bahwa kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya dilakukan secara tidak langsung. Usulan MUI waktu itu, calon gubernur, bupati, walikota, dipilih tanpa pasangan wakilnya. Baru setelah terpilih gubernur, bupati, dan walikota definitif, diminta mengajukan calon wakilnya dan dipersilahkan DPRD memberikan pertimbangan, dan gubernur, bupati, atau walikota yang memilih sebagai user yang sehari-hari akan dibantu. Apalagi sudah banyak kasus wakil bupati yang dengan sangat emosional marah-marah di hadapan publik kepada bupatinya saat bupati melantik pejabat eselon.
        Seandainya, dengan pilkada langsung itu menghasilkan pemimpin yang jujur, tidak korup, dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat, kesejahteraan makin merata, tentu tidak perlu digugat soal pilkada langsung. Tampaknya, sudah dengan sangat “telanjang” fata-fakta prilaku korupsi demikian “menggurita” dan mamin mengokohkan dalil Lord Acton, “the power tend to corrupt and the absolut power tend to corrupt absolutely”. Muaranya, demokrasi langsung menjadi “jembatan” yang akan memperkokoh dan berkontribusi bagi “kerusakan” karakter generasi muda ke depan.
        Apakah untuk mengembalikan model demokrasi pilkada ke DPRD sebagai wakil rakyat di daerah sama sekali sudah tertutup rapat? Ataukah musti diajukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi? Apakah Anda tidak khawatir, jangan-jangan MK akan memutuskan bahwa “DPRD” adalah bagian dari “eksekutif” yang karena itu, musti diatur-atur oleh gubernur, bupati, atau walikota? Semoga tahun depan pilkada sudah berubah menjadi pilkada tidak langsung oleh DPRD, demi tidak bertambahnya gubernur, bupati, dan walikota yang terkena OTT oleh KPK.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Semarang, 15/3/2018.
Silahkan Hubungi Kami