ZAKAT: LEWAT AMIL ATAU DIBAGI SENDIRI?

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Segala puji hanya milik Allah Rabbu l-ardl wa s-samawat. Mari kita syukuri anugrah dan karunia Allah yang telah kita terima. Hanya karena anugrah-Nya, kita sehat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita, sebagai bagian dari pengabdian dan ibadah kita kepada Allah. Kita diciptakan dan dilahirkan di muka bumi ini, hanyalah untuk mengabdi kepada-Nya, dengan cara menyayangi dan menolong hamba-hamba-Nya yang membutuhkannya. Shalawat dan salam mari kita senandungkan pada Baginda Rasulullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan oleh Allah dan kelak d akhirat kita mendapatkan syafaat beliau.
Saudaraku, sejak Menteri Agama mewacanakan akan membuat peraturan presiden (perpres) media sosial dan diskusi tentang rencana pemerintah memotong zakat “profesi” bagi aparatur sipil negara (ASN) Muslim, kian ramai saja. Kontroversi pun mengemuka, ada yang setuju dan ada yang keberatan. Ada yang masih memahami bahwa zakat itu lebih baik dikeluarkan dan didistribusikan secara langsung kepada mustahik sehingga bisa langsung dinikmati oleh mustahik, namun ada yang memahami bahwa zakat itu sebaiknya diserahkan melalui amil.
Pada masa Rasulullah saw, menurut banyak sumber, zakat merupakan suatu lembaga negara. Dasarnya, QS. At-Taubah: 60 menempatkan bahwa pendistribusian zakat mal, diperuntukkan dengan skala prioritas pertama, fakir (fuqara’), kedua, miskin (masakin), ketiga, amil (wa l-‘amilina ‘alaiha), keempat, orang yang ke-Islamannya masih perlu perhatian (muallafatu qulubuhum), kelima, untuk memerdekakan budak (ar-riqab), keenam, orang yang utang untuk kebutuhan dasar (al-gharimin), ketujuh, para pejuang di jalan Allah (sabiliLlah), dan kedelapan, orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnu sabil). Para Ulama ahli tafsir, memahami bahwa penuturan atau penempatan redaksional dalam Al-Qur’an yang didahulukan menunjukkan urutan dan skala prioritas.
Mengapa ‘amil ditempatkan pada urutan ketiga. Ini dimaksudkan agar penghimpunan zakat, pendistribusian, dan pengelolaan zakat – baik mal atau fitrah – dapat berjalan dengan baik, amanah, akuntabel, dan tepat sasaran. Agar pelaksanaan tugas amil dapat berjalan efektif, maka Allah SWT membekali “biaya operasional” melalui bagian zakat, 12,5 %, dan dasar hukum untuk memungut zakat dari orang kaya, dalam QS. at-Taubah: 103: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Nabi SAW berpesan lagi kepada Mu’adz sebagai berikut :
اِنَّكَ سَتَأْتِى قَوْمًا مِنْ اَهْلِ اْلكِتَابِ، فَاِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ اِلَى اَنْ يَشْهَدُوْا اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ، وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، فَاِنْ هُمْ طَاعُوْا لَكَ بِذلِكَ فَاَخْبِرْهُمْ اَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ، فَاِنْ هُمْ طَاعُوْا لَكَ بِذلِكَ فَاَخْبِرْهُمْ اَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْكُمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ اَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ. فَاِنْ طَاعُوْا لَكَ بِذلِكَ فَاِيَّاكَ وَ كَرَائِمَ اَمْوَالِهِمْ. وَ اتَّقِ دَعْوَةَ اْلمَظْلُوْمِ، فَاِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اللهِ حِجَابٌ. البخارى 5: 109
(Hai Mu’adz), bahwasanya kamu akan datang kepada orang-orang ahli kitab, maka apabila kamu telah sampai kepada mereka, ajaklah mereka kepada mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah. Maka jika mereka telah mematuhi kamu dengan yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Lalu jika mereka telah mematuhi kamu dengan yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada kalian membayar zakat, yang diambil dari orang-orang kaya mereka, kemudian dikembalikan (dibagikan) kepada orang-orang miskin mereka. Lalu apabila mereka telah mematuhi kamu dengan yang demikian itu, maka jagalah kehormatan harta benda mereka. Dan takutlah kamu do’anya orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara dia dengan Allah. [HR. Bukhari juz 5, hal. 109]
Perintah Rasulullah saw kepada Muadz bin Jabal di atas, menunjukkan bahwa zakat itu dipungut oleh ulil amri. Dapat dikatakan, negara mempunyai kewajiban untuk menghitung zakat para warga negara serta mengumpulkannya. Nabi dan para khalifah Al-Rasyidun membentuk badan pengumpul zakat, untuk kemudian mengirim para petugasnya mengumpulkan zakat dari mereka yang ditetapkan sebagai wajib zakat.
Zakat berbeda dengan pajak. Dalam zakat badan atau lembaga yang bertugas adalah amil, berbeda dengan pajak. Ada jizyah yang biasanya disebut dengan “pajak kepala” yang dibebankan kepada warga non-Muslim waktu itu, dan kharaj (pajak) yang pada masa Umar bin al-Khaththab ra, dibebankan kepada para pemilik atau pengelola tanah Sawad yang ditaklukkannya. Kata jizyah ini berbeda dengan pajak (kharaj) yang dirintis atas inisiatif Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab ra. Maka tidak aneh, apabila Michael Hart menempatkan Umar bin al-Khathab ra sebagai tokoh urutan ke-51 yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia, dan yang pertama adalah Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Lebih dari itu, mengapa zakat musti dikelola oleh ‘amil? Karena tujuan disyariatkannya zakat, terutama zakat mal, termasuk di dalamnya zakat profesi, adalah untuk memberdayakan para mustahik agar secara bertahap bisa berubah menjadi muzakki. Berbeda dengan pentasharufan nafkah sebagaimana QS. al-Baqarah: 215, “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”.
Muhammad Abu Zahrah, guru besar hukum Islam, Universitas al-Azhar Mesir, memformulasikan kaidah “al-ashlu fii z-zakaati an yajma’ahaa kullahaa waliyyu l-amri au man yanuuba ‘alaihi” artinya “pada dasarnya dalam zakat itu, seluruhnya dikumpulkan oleh pemerintah atau lembaga yang ditugasi menggantikannya untuk itu”.
Memang ada suasana psikologis yang berbeda antara masa Rasulullah saw, masa Khulafa’ al-Rasyidun, dan era kini di Indonesia. Apabila pada tahun 1955 para Kyai dan Ulama Nahdlatul Ulama (NU) memberikan “gelar” kepada presiden Soekarno sebagai “waliyyu l-amri al-dlaruury bi sy-syaukah” artinya “pejabat pemerintah yang memiliki kewenanan darurat”. Gelar yang mengundang kontroversi, namun dalam perspektif keagamaan ini menjadi penting, dalam situasi tertentu.
Pertanyaannya adalah apakah ketika nanti Perpress tentang Zakat bagi ASN Muslim dikeluarkan, bisa memaksa mereka membayar zakat melalui Baznas. Lagi-lagi ini soal kontroversial. Bagi saya nishab – atau batasan kepemilikan minimal – itu dihitung dari penghasilan kotor. Karena bagi ASN biasa, bertambahnya waktu, kebutuhan biaya anak-anak sekolah dan kuliah bertambah, jika cara menghitung nishabnya dari penghasilan bersih, maka meskipun sudah berpangkat Pembina Utama, IV/e, dan guru besar pun, tidak pernah akan terpenuhi nishabnya.
Sementara bagi petani, setiap kali panen, diperintahkan untuk membayar zakat (QS. Al-An’am : 141). Meskipun nishab hasil pertanian adalah 5 wasaq atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma, dll, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut. Pendapat lain menyatakan 815 kg untuk beras dan 1.481 kg untuk yang masih dalam bentuk gabah. Biasanya harga hasil pertanian pasca panen, berada pada titik paling murah atau jeblok. Padahal perintah zakatnya jelas (QS. Al-An’am:141).
Apakah gaji ASN tiap bulan itu, dizakati nunggu setahun sekali, atau bisa dipotong tiap bulan? Karena ada yang mengatakan, belum haul. Kalau sudah dibelanjakan untuk kebutuhan harian, bisa-bisa tidak ada saldo, namun bahkan saldo minus? Bukankah belum termasuk haul, kata Fulan, yang tampaknya merasa “keberatan” jika gaji ASN Muslim, mudah-mudahan tidak termasuk dirinya, dipotong sebanyak 2,5 persen. Agar “diskusinya” panjang, maka akan ditulis pada edisi berikutnya.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Hotel Grand Mercure Harmoni, Jakarta, 9/2/2018.

Silahkan Hubungi Kami