HARLAH NU DAN MUHASABAH KEBANGSAAN

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Hamdan wa syukran liLlah. Puji dan syukur hanya milik Allah Tabaraka wa Ta’ala. Mari kita syukuri anugrah dan kenikmatan yang dilimpahkan oleh Allah. Semoga dengan kesyukuran kita, Allah menjanjikan pada hamba-hamba-Nya yang bersyukur, akan menambah kenikmatan-Nya pada kita semua. Shalawat dan salam mari kita wiridkan untuk Baginda Rasulullah Muhammad saw., dan meluber juga pada keluarga, sahabat, serta pengikut yang setia meneladani beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan oleh Allah dan kelak di hari akhirat syafaat Rasulullah akan memayungi kita.
Saudaraku, hari ini warga Nahdlatul Ulama (NU) memperingati – bukan merayakan – hari kelahirannya ke-92. Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang didirikan oleh para Kyai, di antaranya KH Hasyim Asy’ary, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Raden Asnawy, KH. Bisyri Syansuri, KH Ma’shum, dan lain-lain pada tanggal 31 Januari 1926 atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H. Nahdlatu artinya kebangkitan dan al-Ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘alim artinya orang yang berilmu. Nahdlatul Ulama berarti kebangkitan para Ulama.
Dalam laman id.m.wikipedia.org (31/1/2018) disebutkan, di antara yang melatarbelakangi kebangkitan kelompok-kelompok masyarakat, adalah “akibat penjajahan yang sudah berlangsung ratusan tahun, dan juga akibat kungkungan tradisi, dan menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi”. Awalnya, gerakan yang muncul tahun 1908 dikenal dengan “Kebangkitan Nasional” – bahasa Arabnya, Nahdlah al-Sya’biyah”. Semangat kebangkitan terus menyebar – setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan akibat penjajahan yang berkepanjangan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain.
Kebangkitan nasional tersebut, memantik munculnya berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Muhammadiyah lahir 18 November 1912 M bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah, kata wikipedia.org, dibentuk sebagai refleksi kepada perintah Al Quran, di antaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, bagi Muhammadiyah, adalah isyarat agar umat bergerak menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dan makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, muncul kesadaran dan kebangkitan masyarakat yang menamakan diri Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (pergerakan kaum saudagar) guna memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Dari berbagai komite dan organisasi yang bersifat kepeloporan dan ad hoc, dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih luas dan lebih sistematis. Setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti konperensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah. Setelah itu, muncul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
NU, di usianya yang ke-92, tentu sudah sangat matang. Apalagi NU pada tahun 1955 juga pernah bermetamorfosis menjadi partai politik, dan bahkan menjadi pemenang pemilu ketiga, setelah PNI, Masyumi. Tetapi jangan lupa, pemenang keempat, adalah PKI. Pengalaman, tempaan politik, dan juga pasang surut prestasi politik di masa berfusi di era orde baru, juga ikut mematangkan sikap, yang kemudian para Ulama lebih memilih sikap kembali ke khiththah 1926. NU kembali ke jati dirinya sebagai Jam’iyyah – tidak hanya sekedar jamaah – yang musti mengambil peran besar mengawal, mengisi, dan mewarnai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Di antaranya melalui pondok pesantren menyiapkan dan mengejawantah para santri menjadi ulama-ulama yang sekaligus menjalankan ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah dan ajaran moderasi atau Islam wasathiyah.
Memperingati hari lahir ke-92, yang bersamaan dengan tahun politik, karena akan digelar pemilu kepala daerah secara serentak di 177 daerah, sudah pasti tensi politik juga cenderung “memanas”. Oleh karena itu, NU sebagai organisasinya para Ulama, para kader ulamanya, diharapkan dapat memposisikan diri mereka, untuk bisa menjadi penyeimbang dan pengawal moderasi dalam kemajemukan di Indonesia.
Bersamaan dengan menyambut Gerhana Buan Total yang di Jawa Tengah dipusatkan di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) juga sekaligus diadakan refleksi harlah NU, untuk melakukan muhasabah kebangsaan, bagaimana peran strategis NU ke depan, agar bisa lebih optimal, karena sesungguhnya memang potensi warga NU, jika bisa dimaksimalkan, akan memberi hasil yang luar biasa. Karena warga NU diperkirakan jumlahnya sangat signifikan dalam “memenangi” kontestasi menjadi kepala daerah, maka suara warga NU selalu menjadi “rebutan”.
Lebih dari itu, pilkada serentak ini, dirasakan oleh para kontestan pemilu, serasa pilpres. Implikasinya, sangat terasa “suhu panas”-nya. Ini ditambah lagi, ada sebagian warga Muslim yang tampaknya belum ikhlas dan legowo dengan sikap dan pendirian NU yang sering menyebut NKRI harga mati. Mereka ini, masih menebar mimpi untuk merubah NKRI, yang katanya adalah kesepakatan manusia biasa.
Karena itu, kebesaran dan jatidiri NU adalah di kala NU tidak merasa “besar” kala disanjung sampai membuat organisasi lain merasa tersudut atau tersinggung, kalau perlu para Kyai yang sudah ‘alim, ‘amil, ‘abid, dan bahkan ‘arif biLlah itu mengingatkan mereka yang “menyanjung” secara berlebihan. Selain itu juga tidak sakit hati, kala dicaci dan dibenci. Para Kyai NU, laksana “samudra” yang bisa menampung apa saja di dalamnya, tanpa kehilangan “kebesaran”-nya, karena merelakan dirinya dilalui oleh para pelaut yang membawa kepentingan mereka masing-masing. Karena termasuk semua barang “najis” pun, ketika sudah masuk di samudra, akan menjadi “suci” karena kebesaran air samudra.
Kebesaran NU, setidaknya dengan pesantren dan jumlah warganya, masih harus melakukan penguatan kapasitas dan potensi sangat besar yang dimilikinya. Karena warga NU yang besar, di tengah berbagai tantangan modernisasi dan digitalisasi ke depan, potensi ekonomi yang belum tergarap dengan baik, potensi ulama dan akademisinya, yang masih bisa ditingkatkan lagi secara lebih optimal, adalah bagian dari pekerjaan besar ke depan, yang menjadi lahan ibadah sosial kebangsaan para pengelola Jam’iyyah.
Di setiap even atau tahun politik, warga NU senantiasa menjadi “rebutan” para pejabat parpol, yang kalau dihitung secara kalkulasi politik, tentu akan bisa lebih berdaya manakala NU dengan desain politik dan muhasabah kebangsaanya, dapat mendistribusikan kader-kadernya pada posisi strategis. Karena di sinilah kebesaran NU adalah karena “kedewasaan” dan “kebesaran hatinya” yang harus sanggup mengayomi semua ormas yang memiliki komitmen kebangsaan Indonesia. Bravo dan selamat memperingati Hari Lahir NU yang ke-92, bangsa ini menanti dan menggantungkan pada ketulusan perjuanganmu. Ya lal wathan, hubbu l-wathan min al-iman. Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Semarang-Palu, 31/1/2018.

Silahkan Hubungi Kami